Minggu, 03 November 2013

Menghasilkan Udang Windu Berkualitas


Hasil gambar untuk udang windu

Udang windu (penaeus monodon) merupakan salah satu hasil perikanan yang masih memiliki nilai jual tinggi.

Wajar jika masyarakat petani tambak tetap antusias melakukan usaha budi daya, meski penyakit terkadang tidak bersahabat dalam melakukan budi daya di tambak. Padahal, tak jarang petambak mengalami kerugian jutaan rupiah.


Kini, daya beli masyarakat memang sedikit menurun. Tapi, itu bukanlah suatu alasan untuk tidak mengembangkan budi daya udang ini. Pasalnya, pangsa pasar luar negeri tetap terbuka kerannya, sehingga berapapun jumlah produksi udang windu yang dihasilkan petambak, akan tetap terserap. Belum lagi pangsa pasar dalam negeri yang juga masih tetap terbuka, sehingga wajar saja jika petambak tetap gigih dan tanpa menyerah dalam budi daya udang windu.

Salah satu contoh di pasar tradisional seperti di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rajawali dan Paotere, Makassar Sulsel, di mana udang windu masih tetap banyak dijual dan pembelinya pun cukup lumayan, sehingga pedagang tidak terlalu repot dalam memasarkannya. Hal itu dilihat sendiri oleh penulis dalam setiap kunjungan rutin sekali seminggu ke TPI yang ada di daearah ini.

Belum lagi di pasar swalayan dan restoran-restoran atau hotel-hotel berbintang juga menu udang windu tetap menjadi primadona. Bahkan rumah-rumah makan pun tidak luput dari sajian ini, sehingga masih sangat bagus dalam pemasarannya.

Dampak Krisis Global

Krisis keuangan global yang dimulai dari negara adidaya Amerika Serikat (AS) itu membuktikan bahwa kapitalisme tidak terkendali sehingga menyebabkan kerawanan ekonomi, bahkan menyebar ke negara lain yang merupakan pasar tujuan ekspor produk Indonesia.

Namun, dengan adanya krisis yang berdampak pada melemahnya daya beli masyarakat, gaya hidup berubah, berkurangnya permintaan, harga turun, perebutan pasar, persaingan sempurna dan pembayaran sulit.

Khusus di bidang perikanan juga tidak kalah pentingnya sebab selain daya beli konsumen turun juga beberapa bank kredit dilikuidasi, bahkan importir melakukan stop buying/pembatalan kontrak atau melakukan negosiasi kontrak. Padahal sektor perikanan sebagai salah satu andalan ekspor Indonesia akan terkena dampak. Dan diperkirakan akan terjadi penurunan ekspor hasil perikanan antara 15-20 persen.

Padahal, jika dilihat dari catatan ekspor udang Indonesia di mana volume tahun 2005 mencapai 153.906 ton dan nilai USD 948.130, tahun 2006 volume 169.329 ton dengan nilai USD 1.115.963, tahun 2007 volume 157.545 ton, nilai USD 1.029.935, sedangkan pada tahun 2008 per Agustus volume ekspor sudah mencapai 115.198 ton dengan nilai USD 782.721. Sedangkan tujuan ekspor udang Indonesia tahun 2007 yaitu Amerika Serikat sebesar 37 persen, Jepang 31 persen dan Uni Eropa sebanyak 18 persen.

Berdasarkan data pada tahun 2005 berada pada urutan kedua setelah Thailand sebagai ekspor utama udang ke Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Indonesia hanya menduduki peringkat ke empat setelah Thailand, China, dan Equador. Namun pada tahun tahun 2007 kembali naik ke posisi di mana peringkat pertama diduduki oleh negara Thailand, Equador, Indonesia, China dan Mexico.

Melihat kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dari beberapa negara di Asia, padahal jika dilihat dari jumlah lahan dan luas wilayahnya, maka wajar kalau Indonesia menduduki peringkat pertama dalam memasok udang dunia.

Tapi fakta berkata lain sehingga sektor ini perlu lebih ditingkatkan lagi di masa akan datang, karena peluang masih terbuka lebar untuk meraih peringkat pertama dalam memasok udang ke luar negeri, sisa bagaimana menggenjot produksi sehingga apa yang akan diinginkan itu dapat tercapai.

Pesaing Sedikit

Bila kita memiliki kepekaan dalam memberikan motivasi kepada petani tambak, baik pemerintah maupun swasta untuk selalu memberikan dorongan dan perbaikan ke arah yang lebih baik guna mempertahankan mutu dari produk yang dihasilkannya itu, maka udang asal Indonesia tetap akan dicari kemana pun dia pergi.

Oleh karena itu, budi daya udang windu yang selama ini digeluti masyarakat petani tambak dalam budi daya udang perlu bersyukur lantaran selain harganya yang masih tergolong tinggi dan disukai banyak orang, juga pesaing dalam artian bahwa negara yang melakukan budi daya udang windu tergolong sedikit, sehingga peluang untuk tetap mengembangkan usaha ini tetap menjadi modal utama.

Nah, negara penghasil udang windu di dunia adalah Thailand, Vietnam dan Malaysia. Jadi, ketiga negara ini yang merupakan saingan berat Indonesia dalam memasok udang dunia, sehingga ini berarti bahwa peluang untuk budi daya "Si bongkok" tetap menjanjikan masa depan karena memang ukurannya tergolong besar-besar.

Apalagi "si Black Tiger" memang hidupnya di negara-negara Asia Tenggara, sehingga yang dekat-dekat saja dengan Indonesia menjadi pesaing. Berbeda dengan udang putih (Vannamei) yang nyata-nyata induknya diekspor dari Amerika Latin, bahkan dapat dikatakan hampir seluruh dunia dapat mengembangkannya sehingga pesaingnya juga sangat banyak.

Jadi untuk mengembangkannya sangat sulit atau paling tidak mengalami sedikit kendala. Sebab selain induknya didatangkan dari luar negeri, juga ukurannya kecil-kecil dan kebiasan petani tambak khususnya di daerah ini masih dipertanyakan, sehingga wajar jika udang windu tetap menjadi perhatian semua petambak khususnya di Sulawesi Selatan.

Olehnya itu, yang menjadi perhatian adalah pengadaan induk untuk menghasilkan bibit (benur). Pasalnya, induk ini sangat menentukan kualitas benur sebab kapan induknya "sakit" berarti sudah pasti juga bahwa benur yang dihasilkannya itu juga ikut terkena penyakit. Jangankan induknya sakit, sehat pun jika benurnya sudah dipindahtangankan, terkadang mengalami sedikit gangguan.

Dengan demikian maka Hatchery (tempat pembenihan udang) yang merupakan salah satu penghasil benur dapat diandalkan oleh masyarakat, karena dalam pemikiran petambak bahwa hatchery masih lebih baik dari yang lain untuk menghasilkan benur atau benih udang.

Penggelondong

Dengan adanya penggelondong, maka dalam hal ini bukan hanya satu-satunya hatchery yang mesti perhatikan benurnya. Tapi juga setelah pindah tangan atau yang lebih dikenal masyarakat dengan "penggelondongan" atau pembesaran benur sebelum ditebar ke tambak.

Penggelondong (orang/pengusaha) ini biasanya membeli dengan porsi banyak kepada hatchery lalu menyimpannya di dalam bak atau tambak yang ukuran kecil. Selama penyimpanan benur tersebut, maka sudah pasti bahwa jaminan untuk kesehatan udang terkadang disangsikan lagi.

Sebab kebanyakan para penggelondong ini kurang memperhatikan aspek kesehatan benurnya. Yang penting "ada uang, ada udang", sehingga masyarakat yang ingin beli benur ke hatchery yang jumlahnya hanya 1.000-2.000 ekor merasa berat, karena selain tempatnya jauh juga membutuhkan biaya yang agak besar. Bahkan juga pihak hatchery terkadang tidak melayani pembeli jika permintaannya sedikit.

Oleh karena itu, kebanyakan petambak biasanya membeli benur ke penggelondong. Pasalnya, selain tempatnya dekat juga jumlah yang akan dibelinya itu relatif sedikit, sehingga sasarannya ke penggelondongan.

Melihat animo masyarakat kecil yang ingin budi daya udang di tambak, maka segala upaya dilakukan mulai dari persiapan lahannya hingga persiapan penebaran, tapi toh terkadang udang yang dibudidayakan itu tetap terserang penyakit.

Meski juga pihak hatchery berusaha menghasilkan benur yang baik (berkualitas) dan bebas dari penyakit, tapi kalau pihak penggelondong kurang memperhatian tentang kesehatan benurnya, maka tetap petani tambak yang merasakan dampaknya. Sebaliknya, pihak penggelondong hanya meraup keuntungan semata.

Jadi yang harus mendapat perhatian dalam kesehatan udang adalah pihak penggelondong, karena air yang ada di bak atau tambak (tempat penggelondongan) rentan terhadap penyakit. Betapa tidak, jika sedikit saja air dalam bak penggelondongan terkena penyakit, lalu benur dari hatchery disimpan sekejap maka sudah pasti bahwa benur yang akan dibeli petani dan akan ditebar ke tambak juga sudah jelas terinfeksi atau terkontaminasi oleh penyakit tersebut, meski secara kasak mata masih kelihatan sehat dan tidak ada masalah karena pergerakannya tetap lincah.

Nah, jangan heran jika hanya dalam waktu sebulan lebih atau masuk dua bulan pemeliharaan di tambak, maka benur yang ditebar tadinya sudah mengalami gangguan alias sudah sakit. Ini menandakan bahwa selain pengusaha hatchery yang mempertahankan mutunya juga para penggelondong harus menjaga kesehatan udang tersebut, sehingga kesinambungan hasil budi daya udang windu di Sulawesi Selatan tetap berlanjut.

Jika ini semua bisa dipertahankan maka sudah pasti bahwa petambak yang telah melakukan persiapan lahan dengan matang, juga hatchery dan penggelondong tetap manjaga kesehatan udangnya, maka hasil yang akan didapatkan para petambak tersebut akan sesuai dengan harapan banyak orang. Oleh karena itu, penggelondong juga harus benar-benar selalu memperhatikan semua hal-hal yang dapat merusak atau merugikan petambak yang sudah lama bergelut di dunia pertambakan.

Mudah-mudahan semua pihak tetap mematuhi semua unsur-unsur yang dapat merugikan orang lain, sehingga sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama maka pihak-pihak yang terkait dalam usaha budi daya udang windu agar tetap mempertahankan mutu dan kualitas yang akan dujualnya. Semoga!

Disadur dari tulisan : 
Sulkaf S Latief dan Andi Baso Tancung, 
Staf DKP Prov. Sulawesi Selatan, 
dimuat di Harian Fajar Selasa, 17-02-09
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar