Selasa, 24 Mei 2016

Dukung Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan




Penangkapan ikan berlebihan atau “overfishing” di Indonesia sudah sampai pada tingkat yang sangat mengkuatirkan, sehingga tidak heran jika pemerintah lewat Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) dalam 3 bulan terakhir mulai mengambil langkah tegas untuk menghentikan cara-cara penangkapan yang tidak berkelanjutan. Penangkapan ikan berlebihan berdampak buruk bagi ekosistem dan kehidupan laut dan juga masa depan perekonomian kita.

Overfishing dapat diartikan sebagai penurunan sumberdaya laut dengan cepat yang disebabkan karena aktivitas penangkapan yang tinggi sehingga menimbulkan degradasi pada ekosistem laut, dan sumber daya ikan dan biota laut lainnya semakin berkurang tanpa ada kesempatan untuk bereproduksi secara berkelanjutan. Overfishing umumnya terjadi karena maraknya kapal-kapal penangkap ikan besar atau dalam jumlah yang banyak yang menggunakan alat penangkapan ikan masif dan tidak berkelanjutan. Apa sajakah alat penangkap ikan yang dikategorikan merusak dan telah dilarang penggunaannya di Indonesia?



Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.2/PERMEN-KP/2015 terdapat dua kelompok alat tangkap yang telah dilarang penggunaan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, yaitu pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets). Dua alat tangkap ikan ini memiliki banyak varian, diantaranya untuk pukat hela terdiri dari: pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela kembar berpapan (otter twins trawls) dan pukat dorong. Sementara pukat tarik memiliki dua jenis diantaranya yaitu: pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).




Pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) menangkap segala jenis biota dan spesies yang dilewatinya sehingga dapat mengancam ketersediaan stok dan sumber daya ikan, membahayakan satwa yang dilindungi (lumba-lumba, hiu, dan penyu), serta mengakibatkan degradasi ekosistem lautan yang pada akhirnya akan merugikan nelayan.

Mengingat praktik penggunaan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan dan dampaknya yang buruk, membuat lembaga pangan dunia, Food Agriculture Organization (FAO), pada tahun 1995 menetapkan kode etik penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan atau disebut Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang diantaranya menguraikan bahwa alat tangkap harus memiliki selektifitas tinggi, tidak merusak keanekaragaman hayati dan tidak membahayakan nelayan.

Dukungan pemerintah dan masyarakat luas terhadap penggunaan alat tangkap yang lebih berkelanjutan, seperti pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) akan menjadi salah satu kunci perbaikan tata-kelola perikanan di Indonesia. Pemerintah sudah seharusnya memberikan sejumlah bantuan dan pendampingan prioritas kepada nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing ulur dan huhate agar dapat berkembang dengan baik serta mendapatkan jangkauan akses pemasaran yang luas, baik di pasar lokal dan global.

Sudah saatnya pelaku perikanan di Indonesia untuk benar-benar menggunakan alat tangkap ikan yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan perlindungan ekosistem agar laut terus terjaga sehat hingga generasi yang akan datang dan seterusnya.



Dukung penggunaan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan dan tunjukan pesan cinta #OceanLovers untuk laut sehat dan terlindungi..!

Sumber : Sumardi Ariansyah; http://www.greenpeace.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar