Ikan patin (Pangasius spp.) merupakan salah satu komoditi perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Permintaan lokal dan ekspor ikan Patin semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu primadona perikanan air tawar, masyarakat mulai melakukan budidaya pembesaran patin karena produksinya dari alam semakin menurun. Wilayah produsen ikan patin di Indonesia meliputi Sumatera, seluruh wilayah provinsi di Kalimantan dan Jawa.
Beberapa alasan dari para pengusaha dalam menjalankan usaha pembenihan ikan patin, antara lain karena 1) harga benih patin relatif baik dan stabil; 2) secara ekonomis menguntungkan; 3) permintaan pasar akan benih patin tergolong tinggi; 4) teknologi pembenihan ikan patin sudah dikuasai; dan 5) kondisi alam/potensi sumber daya dan ekologi wilayah mendukung.
Pemilihan pola usaha digunakan kriteria minimal bahwa usaha tersebut bersifat ekonomis dan bankable, baik dari segi jumlah dan ukuran benih yang dijual serta harganya sesuai dengan harga pasar yang berlaku saat ini.
Pola usaha yang dipilih dalam pembenihan ikan patin adalah :
1. Produksi benih kategori PIIA (ukuran 1-2 inchi) minimal adalah 110.000 ekor per-siklus dengan 8 siklus per-tahun atau produksi dan penjualan benih >880.000 ekor per-tahun. Benih tersebut adalah benih patin kelas sebar hasil pemeliharaan di dalam bak larva dan atau kolam pendederan. Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi benih ukuran 1-2 inchi tersebut sekitar
25-35 hari per-siklus, sedangkan produksi 8 siklus per-tahun disebabkan karena induk patin betina mempunyai frekuensi tingkat kematangan gonad yang rendah pada musim kemarau.
2. Induk yang diperlukan untuk memproduksi benih yang demikian adalah sekitar 1-2 ekor induk betina dengan berat 3-5 kg per-ekor dan 2-5 ekor induk jantan dengan berat 2-4 kg per-ekor. Dengan menggunakan pakan buatan berprotein tinggi (28-35%), satu induk betina ukuran tersebut dapat menghasilkan telur (fekunditas) sekitar 150-500 ribu butir setiap pemijahan dan dapat dipijahkan sekitar 2-3 kali dalam setahun dengan umur produktif 2-3 tahun.
3. Dalam menjaga kontinuitas produksi maka jumlah indukan secara keseluruhan berkisar antara 1:1,5-2. Disamping itu, minimal tersedia 6-10 pasang induk dalam kondisi usia produktif untuk memulai usaha.
4. Penetasan telur hasil pemijahan dapat menggunakan tali atau corong, dengan rata-rata tingkat keberhasilan penetasan (hatching rate) dan sintasan/kelangsungan
hidup (survival rate) masing-masing adalah 70%.
Sumber: KKP DJPB ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar