Selama ini surimi dibuat dari berbagai jenis ikan tangkap seperti: kurisi, ikan merah/ikan mata goyang, ikan gulamah/tigawaja dan ikan kuniran/ikan biji nangka. Ketersediaan bahan baku ikan tersebut di atas sepanjang tahun sangatlah fluktuatif dan tergantung dari iklim, cuaca serta musim tangkap.
Dengan demikian kondisi industri surimi umumnya tidak dapat beroperasi secara optimal, dan beberapa perusahaan bahkan usahanya telah gulung tikar karena skala produksinya menjadi tidak layak lagi untuk diteruskan. Menurut data statistik, pada tahun 2008 kapasitas terpasang industri surimi di Indonesia telah mencapai 16,5 ribu ton, namun produksinya hanya 7,3 ribu ton, dengan demikian tingkat produksinya hanya 44%
Surimi merupakan produk olahan hasil perikanan setengah jadi berupa daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses pencucian (leaching), pengepresan, penambahan bahan tambahan (cryoprotectant), dan pengepakan. Surimi biasanya dibuat dari ikan laut berdaging putih dan digunakan sebagai bahan awal pembuatan aneka produk olahan ikan (Fish Jelly Product), seperti: sosis, otak-otak, nugget, kamaboko, suji, chikuwa, ekado, lobster/udang/kepiting imitasi dll.
Surimi merupakan produk olahan hasil perikanan setengah jadi berupa daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses pencucian (leaching), pengepresan, penambahan bahan tambahan (cryoprotectant), dan pengepakan. Surimi biasanya dibuat dari ikan laut berdaging putih dan digunakan sebagai bahan awal pembuatan aneka produk olahan ikan (Fish Jelly Product), seperti: sosis, otak-otak, nugget, kamaboko, suji, chikuwa, ekado, lobster/udang/kepiting imitasi dll.
Awalnya Surimi berasal dari Jepang dan saat ini telah menjadi produk yang mendunia, karena disamping praktis dalam pemanfaatannya, surimi juga dapat tersedia sepanjang tahun dengan kualitas terjaga. Di Indonesia surimi masih sulit didapatkan karena umumnya langsung diekspor. Belum berkembangnya industri olahan ikan, diskontinyuitas bahan baku, harga jual surimi yang cukup tinggi dan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap protein ikan masih sangat rendah, menjadi alasan mengapa produk surimi tidak berkembang di tanah air.
SURIMI IKAN NILA
Untuk mengatasi masalah di atas, BPPT telah mengembangkan teknologi proses surimi berbahan baku ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila, dikenal sebagai ikan berdaging putih dan sangat tahan terhadap perubahan lingkungan hidup, karena tubuhnya yang padat dan dagingnya tebal. Ikan nila dapat dibudidaya secara luas di Indonesia baik kolam air tawar maupun air payau, sehingga sangat potensial menjadi sumber bahan baku industri pengolahan ikan yang berkelanjutan. Hasil uji laboratorium terhadap surimi nila, menunjukkan bahwa kulaitasnya telah memenuhi standar ekspor dengan nilai kekuatan gel sebesar 457,82 gr.cm, derajat putih mencapai 59,94% dan kadar lemak 0,44%.
SURIMI IKAN NILA
Untuk mengatasi masalah di atas, BPPT telah mengembangkan teknologi proses surimi berbahan baku ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan nila, dikenal sebagai ikan berdaging putih dan sangat tahan terhadap perubahan lingkungan hidup, karena tubuhnya yang padat dan dagingnya tebal. Ikan nila dapat dibudidaya secara luas di Indonesia baik kolam air tawar maupun air payau, sehingga sangat potensial menjadi sumber bahan baku industri pengolahan ikan yang berkelanjutan. Hasil uji laboratorium terhadap surimi nila, menunjukkan bahwa kulaitasnya telah memenuhi standar ekspor dengan nilai kekuatan gel sebesar 457,82 gr.cm, derajat putih mencapai 59,94% dan kadar lemak 0,44%.
Dengan hasil analisa tersebut, maka dalam perdagangan, surimi ikan nila mempunyai grade AA atau mempunyai kualitas yang sangat sangat tinggi. Pada skala industri, PT. Global Seafood International Indonesia (GSII), sebuah perusahaan surimi di Bantaeng, Sulawesi Selatan, telah melakukan pengujian terhadap surimi ikan nila dan hasilnya accepted sebagai substitusi terhadap surimi ikan tangkap.
Dengan inovasi ini, diharapkan idle capacity perusahan surimi di Indonesia, sebagai akibat dari masalah diskontinyuitas bahan baku ikan tangkap dapat teratasi. Dengan bahan baku ikan budidaya, kuantitasnya dapat terukur dan berkesinambungan sesuai kebutuhan industri. Pola kerjasama baru antara industri surimi dengan petani budidaya ikan nila juga berpeluang meningkatkan pemberdayaan petani budidaya.
Sebagai informasi, BPPT juga telah mengembangkan ikan air tawar nila gesit yang merupakan ikan jantan dengan tingkat pertumbuhan sangat cepat dan ikan nila salin yang dapat dibudidaya pada daerah payau. Dengan pengembangan ini, maka secara ekonomi ikan nila ini akan dapat bersaing dengan ikan tangkap sebagai bahan baku surimi, mengingat rendemen surimi dari ikan nila dan ikan kurisi juga kurang lebih sama yaitu 25%.
Tumbuhnya industri surimi diharapkan tidak hanya meningkatkan ekspor, tetapi juga meningkatkan konsumsi ikan dalam negeri yang masih sangat rendah, dari 28 kg/kapita/tahun menjadi 39 kg/kapita/tahun pada tahun 2014 yang merupakan target nasional.
Sumber :
Priyo Atmaji/PTA, https://www.bppt.go.id/teknologi-agroindustri-dan-bioteknologi/811-surimi-ikan-nila-atasi-aoeidle-capacitya-industri-surimi-berbahan-baku-ikan-tangkap
Dengan inovasi ini, diharapkan idle capacity perusahan surimi di Indonesia, sebagai akibat dari masalah diskontinyuitas bahan baku ikan tangkap dapat teratasi. Dengan bahan baku ikan budidaya, kuantitasnya dapat terukur dan berkesinambungan sesuai kebutuhan industri. Pola kerjasama baru antara industri surimi dengan petani budidaya ikan nila juga berpeluang meningkatkan pemberdayaan petani budidaya.
Sebagai informasi, BPPT juga telah mengembangkan ikan air tawar nila gesit yang merupakan ikan jantan dengan tingkat pertumbuhan sangat cepat dan ikan nila salin yang dapat dibudidaya pada daerah payau. Dengan pengembangan ini, maka secara ekonomi ikan nila ini akan dapat bersaing dengan ikan tangkap sebagai bahan baku surimi, mengingat rendemen surimi dari ikan nila dan ikan kurisi juga kurang lebih sama yaitu 25%.
Tumbuhnya industri surimi diharapkan tidak hanya meningkatkan ekspor, tetapi juga meningkatkan konsumsi ikan dalam negeri yang masih sangat rendah, dari 28 kg/kapita/tahun menjadi 39 kg/kapita/tahun pada tahun 2014 yang merupakan target nasional.
Sumber :
Priyo Atmaji/PTA, https://www.bppt.go.id/teknologi-agroindustri-dan-bioteknologi/811-surimi-ikan-nila-atasi-aoeidle-capacitya-industri-surimi-berbahan-baku-ikan-tangkap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar