Menurut Dahuri (2005), salah satu faktor penyebab deplesi sumberdaya perikanan laut adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sifatnya destruktif. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini pada dasarnya merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal. Penggunaan bom, racun, pukat harimau, dan alat tangkap lainnya yang tidak selektif, menyebabkan terancamnya kelestarian sumberdaya hayati laut, akibat kerusakan habitat biota laut dan kematian sumberdaya ikan.
Penyebab dan Dampak Destructive Fishing
Ada beberapa faktor “Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan destructive fishing di salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba), antara lain:
Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Ø Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk .
Ø Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan).
Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum.
Ø Merupakan Tradisi.
Dampak yang ditimbulkan dari destructive fishing adalah sebagai berikut:
Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan.
Merusak terumbu karang/ habitat lain.
Mengancam jiwa/merusak badan manusia itu sendiri.
Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain).
Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut.
Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh.
Penanggulangan Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan
Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di berbagai wilayah perairan di Kabupaten Biak.Praktek semacam ini selain menimbulkan kerugian ekologis, juga menimbulkan dampak socialekonomi yang sangat besar terhadap negara dan daerah, serta dapat memicu berbagai perselisihansocial yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktivitas ekosistem terumbukarang. Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia(antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpotensimerusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi, salahsatunya adalah penanggulangan penangkapan yang yang menggunakan bahan peledak.Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, denganmenggunakan bahan peldak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah :
1) Pengembangan Mata Pencaharian
Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masihmiskin dan memiliki tingkat pendidikan yan sangat rendah. Perilaku masyarakat yangcenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi (kemiskinan) dalam memenhikebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yangmaksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan ekosistem terumbu karang saja tetapi juga memutus rantai mata pencaharian anak cucu. Bukan hanya itu, factor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengarhi perilakumasyarakat tersebut. Dengan alternative mata pencaharian (tambahan) diharapkan dapatmemberikan nilai tambah sehingga masyarakat pesisir (nelayan) destruktif akan berkurang.
2) Penegakan Hukum
Secara umum maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan merusak dibeberapa daerah termasuk di Kepulauan Padaido Kabupaten Biak adalah penegakan hukum. Beberapa kasus yang tidak diselesaikan secara baik dan tuntas dan transparan memicuperilaku masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat akibat penanganan pelanggaran tersebutsemestinya diperbaiki mulai dari aparat penegakan hukum yang terkait.
3) Pendidikan dan Penyadaran tentang Lingkungan
Sebagaimana yang dipaparkan dipointpertama di atas, dimana secara umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yangdiindikasikan sebagi pelaku penangkapan ikan dengan merusak tersebut memiiki pendidikanrendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Denganpendidikan dan penyadaran tentang lingkungan dapat melalui seminar, lokakarya, workshop,studi banding dapat ditingkatkan.
4) Pengaturan Waktu, Jumlah, Ukuran dan Wilayah Tangkap
Di beberapa lokasi pengaturanwaktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap sudah dikembangkan. Namun kendalanya dibeberapa lokasi di Indonesia khususnya di Kepulauan Padaido merupakan sesuatu hal angmasih sulit. Hal inidisebabkan oleh masih terbatasnya penelitan/kajian aspek-aspek dariterumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta sumberdaya manusiapelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih terbatas.
Implementasi dari empat point penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungandengan cara merusak (destructive fishing) dapat dipastikan meminimalisasi dampak dari kegiatantersebut tentunya jika diimplementasikan dengan baik (focus dan terintegrasi).
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
“Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagai destructive fishing yaitu penggunaan bahan peledak seperti bom, penggunaan bahan kimia seperti kalium cianida, dan juga penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti Trawl dan bubu.
Dampak yang ditimbulkan dari destructive fishing adalah sebagai berikut yaitu Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan, Merusak terumbu karang/ habitat lain, Mengancam jiwa/merusak badan manusia itu sendiri, Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain), Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut, dan Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh.
Penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yaitu: pengaturan waktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap, pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan, penegakan hukum, dan pengembangan mata pencaharian.
DAFTAR PUSTAKA
http://coastalunhas.com/incres/data/fa2420db2f9ca24683105e6287b86fa8.pdf
http://www.scribd.com/doc/12065540/Penangkapan-Ikan-Tidak-Ramah-Lingkungan-Dampak-Dan-Penanggulangannya
http://www.scribd.com/doc/14685001/DAMPAK-SOSEK-DESTRUCTIVE-FISHING
http://mukhtar-api.blogspot.com/2008/09/destructive-fishing-di-perairan.html
http://why-theocean.blogspot.com/2013/02/destructive-fishing.html
Sumber ; Isma Riskiani ; http://ismariskiani.blogspot.co.id
Dewasa ini, sumberdaya terumbu karang yang ada di Kabupaten Nias Selatan telah mengalami kerusakan. Menurut CRITC (2006) terdapat 3.728 hektar terumbu karang di Kabupaten Nias Selatan dan sebagian besar berada di kawasan Pulau- Pulau Batu. Kerusakan terumbu karang ini telah mencapai 72 %, dan hanya sekitar 5 % yang masih dalam kondisi sangat baik. Penyebab utama kerusakan terumbu karang di Nias Selatan adalah akibat kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan peledak, racun dan pukat harimau untuk penangkapan ikan (illegal fisihing). Selain itu, penambangan karang sebagai bahan bangunan, pengambilan bunga karang sebagai souvenir, dan tektonik bumi merupakan faktor yang mempercepat degradasi terumbu karang.
Degradasi ekosistem terumbu karang secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitufaktor alami (autogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogeniccauses) baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia di darat sepertipertanian yang menggunakan pupuk organik, anorganik dan pestisida dapat mempengaruhikehidupan organisme yang hidup dalam ekosistem ini karena sebagian dari bahan-bahan tersebuthanyut ke laut melalui aktivitas run-off
. Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol jugamengakibatkan erosi dimana akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang jugamerusak ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramahlingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan peledak yangdapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan secara fisik terumbu karang.Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensimenimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Degradasi ekosistem terumbu karang secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitufaktor alami (autogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogeniccauses) baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia di darat sepertipertanian yang menggunakan pupuk organik, anorganik dan pestisida dapat mempengaruhikehidupan organisme yang hidup dalam ekosistem ini karena sebagian dari bahan-bahan tersebuthanyut ke laut melalui aktivitas run-off
. Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol jugamengakibatkan erosi dimana akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang jugamerusak ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramahlingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan peledak yangdapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan secara fisik terumbu karang.Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensimenimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Pengertian Destructive Fishing
“Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya ingin meraup keutungan yang besar dengan cara cepat/instan akan tetapi memberikan dampak yang tidak baik bagi ekosistem perairan khususnya terumbu karang.
Destructive fihsing merupakan kegiatan illegal fishing yaitu dengan tujuan menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak namun dengan etika penangkapan yang salah. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan yang di kategorikan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang
Bentuk-Bentuk Destructive Fishing
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum (kejahatan). Secara umum,maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali danluasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yangada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnyakemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hokum, serta (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagaidestructive fishing, beberapa diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penggunaan Bahan Peledak (Bom)
Penggunaan bahan peledak bom (dengan bahan berupa pupuk; cap matahari, beruang, obor). Tropical Research and Conservation Centre (TRACC) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnyakurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15hingga 25 meter, atau sekitar 500 meter persegi, dan menyisakan kawah sedalamsekitar 3 hingga 4 meter diameter terumbu karang. Sementara IMA Indonesia(2001) mencatat penggunaan bahan peledak berukuran botol minuman yang paling banyak dilakukan oleh nelayan diperkirakan merusak setidaknya 10 meter persegi. Kadang-kadang bom berukuran kecil dilempar lebih dulu untuk mematikan ikan-ikan kecil, lalu disusul dengan bom yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Penangkapan ikan dengan caramenggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.
Penggunaan Bahan Kimia
Penggunaan bahan kimia seperti :, bius (kalium cianida – KCn) dan tuba (akar tuba). Kegiatan penangkapan dengan bius dan tuba dilakukan pada daerah karangyang diduga masih memiliki ikan yang banyak. Pelaku menyemprotkan bius atautuba kesela-sela karang agar ikan stress, pingsang sehingga mudahmengambilnya. Bahkan tidak jarang pelaku membongkar karang dengan linggisuntuk mendapatkan ikan yang masih ada dalam liang karang. Dampak ekologisnya, penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis- jenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu dan sebagainya. Disamping itu,dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampumematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3hingga 6 bulan.
Secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang. Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam lubang dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati, sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
3. Penggunaan Alat Tangkap
Pukat harimau (trawl)
Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yangsangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampaidengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaringtersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu kedasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerusmenyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan.
Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.
Penggunaan Bubu (Trap)
Saat ini bubu (trap) adalah sejenis alat yang paling banyak digunakan untuk menangkap ikan karang (Alcala dan Russ 2002) dan telah banyak dioperasikan di Indonesia dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi kedua alat ini memiliki banyak keterbatasan. Hasil tangkapan per unit bubu relatif sangat terbatas dan pada pengoperasiannya umumnya menggunakan terumbu karang untuk alat kamuflase. Oleh karena hasil tangkapan per unit bubu erbatas akibat sifat kejenuhan alat (Jennings et al. 2001), maka dioperasikan sekaligus cukup banyak bubu yang diikatkan pada satu untaian tali. Dengan cara ini pada saat penurunan dan penarikan alat sering terjadi benturan antara bubu dengan dasar perairan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada dasar perairan terutama apabila terdapat terumbu karang (Valdemarsen and Suuronen 2003). Sehingga dapat dikakatakan bahwa bubu termasuk dalam kategori alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
“Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya ingin meraup keutungan yang besar dengan cara cepat/instan akan tetapi memberikan dampak yang tidak baik bagi ekosistem perairan khususnya terumbu karang.
Destructive fihsing merupakan kegiatan illegal fishing yaitu dengan tujuan menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak namun dengan etika penangkapan yang salah. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan yang di kategorikan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang
Bentuk-Bentuk Destructive Fishing
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum (kejahatan). Secara umum,maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor ; (1) Rentang kendali danluasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yangada saat ini (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnyakemampuan SDM Nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi (4) Masih lemahnya penegakan hokum, serta (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagaidestructive fishing, beberapa diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penggunaan Bahan Peledak (Bom)
Penggunaan bahan peledak bom (dengan bahan berupa pupuk; cap matahari, beruang, obor). Tropical Research and Conservation Centre (TRACC) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap bahan peledak yang beratnyakurang lebih 1 kilogram diledakkan, dapat membunuh ikan dalam radius 15hingga 25 meter, atau sekitar 500 meter persegi, dan menyisakan kawah sedalamsekitar 3 hingga 4 meter diameter terumbu karang. Sementara IMA Indonesia(2001) mencatat penggunaan bahan peledak berukuran botol minuman yang paling banyak dilakukan oleh nelayan diperkirakan merusak setidaknya 10 meter persegi. Kadang-kadang bom berukuran kecil dilempar lebih dulu untuk mematikan ikan-ikan kecil, lalu disusul dengan bom yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Penangkapan ikan dengan caramenggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.
Penggunaan Bahan Kimia
Penggunaan bahan kimia seperti :, bius (kalium cianida – KCn) dan tuba (akar tuba). Kegiatan penangkapan dengan bius dan tuba dilakukan pada daerah karangyang diduga masih memiliki ikan yang banyak. Pelaku menyemprotkan bius atautuba kesela-sela karang agar ikan stress, pingsang sehingga mudahmengambilnya. Bahkan tidak jarang pelaku membongkar karang dengan linggisuntuk mendapatkan ikan yang masih ada dalam liang karang. Dampak ekologisnya, penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis- jenis ikan karang, misalnya ikan hias, kerapu dan sebagainya. Disamping itu,dalam satu kali semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampumematikan terumbu karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3hingga 6 bulan.
Secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah terumbu karang yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang. Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat kedalam lubang dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan dan mati, sehingga mereka dengan muda mengambil ikan.
3. Penggunaan Alat Tangkap
Pukat harimau (trawl)
Pukat harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan. Alat ini berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yangsangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampaidengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaringtersebut. Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu kedasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerusmenyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan.
Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.
Penggunaan Bubu (Trap)
Saat ini bubu (trap) adalah sejenis alat yang paling banyak digunakan untuk menangkap ikan karang (Alcala dan Russ 2002) dan telah banyak dioperasikan di Indonesia dengan hasil yang memuaskan. Akan tetapi kedua alat ini memiliki banyak keterbatasan. Hasil tangkapan per unit bubu relatif sangat terbatas dan pada pengoperasiannya umumnya menggunakan terumbu karang untuk alat kamuflase. Oleh karena hasil tangkapan per unit bubu erbatas akibat sifat kejenuhan alat (Jennings et al. 2001), maka dioperasikan sekaligus cukup banyak bubu yang diikatkan pada satu untaian tali. Dengan cara ini pada saat penurunan dan penarikan alat sering terjadi benturan antara bubu dengan dasar perairan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada dasar perairan terutama apabila terdapat terumbu karang (Valdemarsen and Suuronen 2003). Sehingga dapat dikakatakan bahwa bubu termasuk dalam kategori alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Penyebab dan Dampak Destructive Fishing
Ada beberapa faktor “Penyebab utama/alasan" atas pelaku terhadap kegiatan destructive fishing di salah satu daerah di pesisir perairan Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu didaerah Pulau Wawonii dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun (bius dan tuba), antara lain:
Ø Adanya Pelaku Bom dari Pihak Luar.
Ø Adanya Pengedaran Bahan Baku yang masuk .
Ø Mereka dianggap sebagai Golongan Monoritas (Terabaikan).
Ø Kurangnya ketegasan sanksi hukum.
Ø Merupakan Tradisi.
Dampak yang ditimbulkan dari destructive fishing adalah sebagai berikut:
Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan.
Merusak terumbu karang/ habitat lain.
Mengancam jiwa/merusak badan manusia itu sendiri.
Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain).
Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut.
Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh.
Penanggulangan Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan
Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di berbagai wilayah perairan di Kabupaten Biak.Praktek semacam ini selain menimbulkan kerugian ekologis, juga menimbulkan dampak socialekonomi yang sangat besar terhadap negara dan daerah, serta dapat memicu berbagai perselisihansocial yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktivitas ekosistem terumbukarang. Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia(antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpotensimerusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi, salahsatunya adalah penanggulangan penangkapan yang yang menggunakan bahan peledak.Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, denganmenggunakan bahan peldak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah :
1) Pengembangan Mata Pencaharian
Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masihmiskin dan memiliki tingkat pendidikan yan sangat rendah. Perilaku masyarakat yangcenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi (kemiskinan) dalam memenhikebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yangmaksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan ekosistem terumbu karang saja tetapi juga memutus rantai mata pencaharian anak cucu. Bukan hanya itu, factor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengarhi perilakumasyarakat tersebut. Dengan alternative mata pencaharian (tambahan) diharapkan dapatmemberikan nilai tambah sehingga masyarakat pesisir (nelayan) destruktif akan berkurang.
2) Penegakan Hukum
Secara umum maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan merusak dibeberapa daerah termasuk di Kepulauan Padaido Kabupaten Biak adalah penegakan hukum. Beberapa kasus yang tidak diselesaikan secara baik dan tuntas dan transparan memicuperilaku masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat akibat penanganan pelanggaran tersebutsemestinya diperbaiki mulai dari aparat penegakan hukum yang terkait.
3) Pendidikan dan Penyadaran tentang Lingkungan
Sebagaimana yang dipaparkan dipointpertama di atas, dimana secara umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yangdiindikasikan sebagi pelaku penangkapan ikan dengan merusak tersebut memiiki pendidikanrendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Denganpendidikan dan penyadaran tentang lingkungan dapat melalui seminar, lokakarya, workshop,studi banding dapat ditingkatkan.
4) Pengaturan Waktu, Jumlah, Ukuran dan Wilayah Tangkap
Di beberapa lokasi pengaturanwaktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap sudah dikembangkan. Namun kendalanya dibeberapa lokasi di Indonesia khususnya di Kepulauan Padaido merupakan sesuatu hal angmasih sulit. Hal inidisebabkan oleh masih terbatasnya penelitan/kajian aspek-aspek dariterumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta sumberdaya manusiapelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih terbatas.
Implementasi dari empat point penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungandengan cara merusak (destructive fishing) dapat dipastikan meminimalisasi dampak dari kegiatantersebut tentunya jika diimplementasikan dengan baik (focus dan terintegrasi).
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
“Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan.
Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dikatakan sebagai destructive fishing yaitu penggunaan bahan peledak seperti bom, penggunaan bahan kimia seperti kalium cianida, dan juga penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti Trawl dan bubu.
Dampak yang ditimbulkan dari destructive fishing adalah sebagai berikut yaitu Memusnahkan/merusak/mematikan ikan/bibit ikan, Merusak terumbu karang/ habitat lain, Mengancam jiwa/merusak badan manusia itu sendiri, Sulit mencari ikan (mengurangi mata pencaharian nelayan lain), Mengganggu usaha nelayan lain/merusak rumput laut, dan Lebih banyak ikan terbuang dari pada hasil yang diperoleh.
Penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yaitu: pengaturan waktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap, pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan, penegakan hukum, dan pengembangan mata pencaharian.
DAFTAR PUSTAKA
http://coastalunhas.com/incres/data/fa2420db2f9ca24683105e6287b86fa8.pdf
http://www.scribd.com/doc/12065540/Penangkapan-Ikan-Tidak-Ramah-Lingkungan-Dampak-Dan-Penanggulangannya
http://www.scribd.com/doc/14685001/DAMPAK-SOSEK-DESTRUCTIVE-FISHING
http://mukhtar-api.blogspot.com/2008/09/destructive-fishing-di-perairan.html
http://why-theocean.blogspot.com/2013/02/destructive-fishing.html
Sumber ; Isma Riskiani ; http://ismariskiani.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar