Budidaya udang di tambak secara intensif telah berkembang sangat cepat dan produktifitasnyapun meningkat, sehingga udang merupakan primadona ekspor perikanan bagi Indonesia, namun akhir-akhir ini produksinya mengalami penurunan dan dilaporkan terjadinya kematian massal. Di Sulawesi Selatan penyakit udang didominasi oleh penyakit vibriosis yang menyerang udang umur rata-rata 2 bulan dengan tingkat serangan mencapai 100% (Anonim,1996).
Penyakit biasanya timbul beberapa hari setelah penebaran dan timbulnya penyakit ini diawali dengan adanya perubahan lingkungan yang mengakibatkan stres pada udang. Stres ini terjadi karena belum adanya penyesuaian dengan lingkungan yang baru. Pemilihan benur, pengangkutan, perubahan suhu, kurangnya oksigen terlarut, adanya gas dan senyawa beracun serta kurangnya makanan mengakibatkan timbulnya stres pada udang, akibatnya produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan akan menurun.
Menurut Lo et al (1996), salah satu jenis virus yang sering menyerang udang adalah Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) atau biasa dikenal dengan White spote baculo Virus (WSBV) atau White Spote Syndrome Virus (WSSV) merupakan penyebab penyakit yang menimbulkan kematian, penyebaran virus ini dapat mengkontaminasi post larva.
Pencegahan dan perluasan penyakit pada udang perlu dilakukan usaha pencegahan secara dini, untuk itu diperlukan diagnosis dan penanganan penyakit yang tepat (Chang dan Wang, 1992). Upaya pengendalian yang dilakukan dengan pemakaian bahan-bahan kimia dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan dan menyebabkan resistensi patogen. Untuk menghindari hal tersebut, usaha meningkatkan ketahanan tubuh dengan imunostimulan yang ramah lingkungan merupakan pilihan yang tepat.
Udang windu seperti halnya crustaceae lainnya hanya memiliki respon kekebalan non spesifik, sehingga diperlukan cara untuk menginduksi kekebalan udang terhadap kemungkinanan serangan patogen. Beberapa substansi diketahui mampu meningkatkan respon kekebalan seperti Lipopolisakarida dan b-Glukan (Secombes, 1994). Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan jenis imunostimulan yang lebih baik dan mampu untuk memacu dan mengoptimalkan respon kekebalan non spesifik homosit udang.
Untuk mencegah terjadinya penyakit pada kegiatan budidaya, saat ini sudah dikembangkan beberapa metode, diantaranya probiotik atau persaingan antara faktor-faktor biologis. Alternatif yang sering dilakukan adalah vaksinasi atau indikasi kekebalan. Selain vaksin juga dilakukan tindakan pemberian imunostimulan berupa vitamin C.
Vitamin C merupakan bahan yang dapat meningkatkan keragaan benih yang dapat berfungsi sebagai stimulan untuk sistem pertahanan tubuh non spesifik sehingga merupakan suatu komponen penting untuk meningkatkan kekebalan non spesifik (Secombes, 1994). Sedangkan vaksin adalah suspensi patogen hidup yang sudah dilemahkan atau dimatikan, bagian dari patogen atau substrat yang merupakan produk patogen yang bersifat antigenik, imunogenik dan protektif apabila masuk ke dalam tubuh akan merangsang timbulnya antibody (ab) yang menyebabkan udang tahan terhadap patogen tersebut (Kamiso, 1996).
Aplikasi mengenai beberapa imunostimulan pada bidang budidaya perairan masih berada dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh benih udang windu (Penaeus monodon) terhadap serangan penyakit yang disebabkan oleh WSSV.
Pembuatan Vaksin
Vaksin virus diperoleh dari hepatopankreas udang windu yang secara morfologis memepunyai bintik putih disebabkan oleh WSSV yang digerus hingga halus, kemudian dihomogenkan, disentrifugasi dan disaring dengan meggunakan filter millipore 450 nm. Filtratnya kemudian dimatikan dengan formalin 1% pada suhu 4oC kemudian disentrifugasi 5000 rpm selama 15-20 menit dan dicuci minimal 3 kali dengan laritan NaCl 0,85 % steril (larutan fisiologis).
Vaksin vibrio diperoleh dari kultur murni Vibrio harveyi dalam media cair (nutrien brouth), dimatikan dengan menambahkan formalin 1% selam 24 jam pada suhu 4oC, selanjutnya dicuci dengan NaCl 0,85% steril melalui proses sentrifugasi.
Penentuan LC50 Virus
Untuk mengetahui tingkat patogenitas virus WSSV terhadap benur windu, maka dilakukan uji LC 50 yang meliputi:
Uji Pendahuluan, Uji ini dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi ambang atas (LC 100 -24 jam) adalah konsentrasi terendah dimana semua hewan uji mati dalam waktu eksposure 24 jam dan ambang bawah (LC0 – 48 jam) adalah konsentrasi tertinggi dimana semua hewan uji hidup dalam waktu eksposure 48 jam.
Uji Lanjutan, Uji ini dilakukan dengan menggunakan 9 (sembilan) konsentrasi dianatara nilai ambang atas dan nilai ambang bawah. Deretan konsentrasi tersebut ditentukan dalam interval logaritmik. Selanjutnya nilai LC50 diperoleh dengan cara analisis probit berdasarkan tingkat kematian pada masing-masing konsentrasi
Uji Tantang
Untuk mengetahui efektivitas imunostimulan yang telah diberikan maka dilakukan uji tantang pada hari ke 12 dengan menggunakan suspensi virus WSSV konsentarsi LC50 (konsentrasi virus yang mematikan 50% udang uji) sebanyak 12 cc setiap stoples
Pengukuran Peubah
Pengamatan sintasan dilakukan dengan membandingkan antara jumlah udang pada awal penelitian dan jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian dengan menggunakan rumus (Effendi, 1979) :
SR = Nt/No x 100 %
dimana :
SR = Sintasan (tingkat kelangsungan hidup) dalam persen (%).
Nt = Jumlah udang pada akhir penelitian (ekor).
No = Jumlah udang pada awal penelitian (ekor).
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap sintasan udang uji, jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda Nyata Terkecil (Hanafiah, 1997). Data kualitas air dianalisa secara deskriptif.
1. Sintasan Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fab)
Hasil pengamatan prosentase sintasan larva udang windu (Penaeus monodon Fab) setelah dilakukan uji tantang dengan bakteri Vibrio harvey pada jam ke 48 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Sintasan Larva
Udang Windu (Panaeus monodon Fab)
Setelah
Diuji
tantang Dengan Virus WSSV pada jam ke-96
Perlakuan (Jenis
Imonostimulan)
|
Sintasan
(%)
|
A = Kontrol
(tanpa imunostimulan
|
20,00 a
|
B
= Vitamin C konsentrasi 0,05 ppm
|
38,33b
|
C =
Vaksin vibrio harveyi
|
41,66 bc
|
D = Vaksin
WSSV
|
55,33c
|
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa sintasan benur windu (Penaeus monodon Fab) dengan penambahan imonostimulan berbeda sangat nyata (P< 0,01), Idengan kontrol, ini berarti bahwa efektifitas imonostimulan memberikan pengaruh yang kuat terhadap peningkatan sistem kekebalan benur windu (Penaeus monodon Fab) untuk menekan mortalitas dari serangan vitus white spote syndrome virus (WSSV).
Hasil uji lanjut BNT diperoleh perlakuan A (Tanpa imunostimulan), berpengaruh nyata (P < 0,05) dengan perlakuan B, dan sangat nyata (P < 0,01) dengan perlakuan C dan D. Namun perlakuan B dan C serta perlakuan C dan D tidak berbeda (P >0,05). Tingginya sintasan benur windu (Penaeus monodon Fab) pada perlakuan vaksin white spote syndrome virus (WSSV), hal ini disebabkan karena vaksin yang dibuat dari kultur murni virus white spote yang mampu mengaktivasi limfosit, demikian pula pada perlakuan dengan penambahan vaksin Vibrio harveyi yang juga diperoleh dari kurtur murni Vibrio harveyi. Antigen atau lipopolisakarida diperoleh dari kultur murni Vibrio harveyi berasal dari dinding sel negatif limfosit yang teraktivasi berubah menjadi sel T dan sel B yang selanjutnya akan berkembang menjadi sel plasma yang mampu memproduksi antibodi.
Salah satu cara penanggulangan penyakit adalah dengan imunoprofilaksis yaitu meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit, kekebalan terhadap penyakit dapat dipacu dengan pemberian imunostimulan termasuk vaksinasi dan vitamin (Anderson, 1992).
Menurut Alday-Zanz (1995), bahwa udang memiliki sistem kekebalan tubuh promitif dibanding dengan vertebrata. Udang tidak memiliki imunoglobin dan limfosit T dan hanya tergantung pada respon inflamasi. Dalam hal ini, fagositosis memainkan peranan utama dan dikatakan sebagai mekanisme pertahanan seluler utama yang dilakukan oleh sel hyalin. Partikel-partikel asing difagositosis oleh haemosit dan dilumpuhkan dalam agregat-agregat nodular dari hyalin atau dienkapsulasi oleh sel.
Lebih lanjut dikatakan bahwa aktivits dari reaksi seluler ini berhubungan dengan sistem oksidasi profenol (Pro-PO). Pro-PO sistem disimpan dalam granula dari haemosit granular dan semi granulat dan dilepaskan kedalam haemolif jika bertemu dengan benda asing. Produk akhir dari reaksi enzimatis ini adalah melanin, melanin mempunyai efek biosidal, oleh karena itu prose malanisasi sering dibarengi dengan reaksi pertahanan seluler.
Pada perlakuan B (dengan penambahan vitamin C dengan konsentrasi 0,05 ppm) dengan sintasan 33,33% lebih tinggi dari perlakuan A (kontrol) dengan sintasan 20%. Akiyama (1992) menyatakan bahwa pada prinsipnya fungsi vitamin C untuk membantu menanggulangi pengaruh merugikan yang timbul akibat stress karena lingkungan, mengurangi kemungkinan keracunan karena pencemaran air, membantu pertahanan imun terhadap bekteri dan membantu pembentukan formasi kolagen.
Pada perlakuan A (kontrol) dimana tanpa pemberian imunostimulan terlihat sintasan benur windu yang rendah pada semua perlakuan (20%), karena ketidakmampuan melawan serang virus WSSV pada saat uji tantang sehingga banyak benur windu yang mati.
b. Kualitas Air
Hasil pengamatan terhadap rataan kualitas air media pemeliharaan larva udang windu yang didapatkan selama pemeliharaan, ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran Data Pengamatan Beberapa Parameter Kualitas Air Media Uji
Parameter
|
Rataan
Hasil Pengukuran
|
||||
Awal
|
Akhir
|
||||
A
|
B
|
C
|
D
|
||
Suhu (oC)
|
29,1
|
29,2
|
28,3
|
29,3
|
28,3
|
Salinitas (o/oo)
|
28
|
29
|
29
|
28
|
29
|
PH
|
8,068
|
8,06
|
8,12
|
8,25
|
8,20
|
NH4
(ppm)
|
0,806
|
0,873
|
0,889
|
0,852
|
0,905
|
Derajat kemasaman (pH) media pemeliharaan larva udang windu yang didapatkan pada semua perlakuan selama penelitian berkisar 8,06 – 8,25, dimana berada dalam batas pH yang layak untuk kehidupan udang. Menurut Darmadi dan Ismail (1993), kisaran normal pH air untuk kehidupan udang bekisar antara 7,0 – 8,6.
Untuk menjaga kestabilan kehidupan larva udang windu selama pemeliharaan dibutuhkan suhu yang stabil. Kisaran suhu media pemeliharaan larva udang windu yang diperoleh pada setiap perlakuan adalah 28,3 – 29,3 ºC, dimana suhu tersebut masih mendukung larva udang windu untuk hidup dan berkembang. Hal senada dikemukakan oleh Darmadi dan Ismail (1993), bahwa suhu perairan yang baik bagi pertumbuhan dan kehidupan udang adalah 29 – 30 ºC walupun udang masih dapat hidup pada suhu 18 ºC dan 36 ºC, namun udang sudah tidak aktif. Sedangkan Manik dan Mintardjo (1983) menyatakan bahwa larva udang windu mempunyai kisaran suhu optimal bagi pertumbuhannya yaitu 29 – 31 ºC.
Amonia dalam air terdiri dari dua bentuk, yaitu amoniak (NH3) yang bersifat racun dan amonium (NH4) yangtidak bersifat racun, dimana amonia dihasilkan dari perombakan bahan-bahan organik. Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran amonium (NH4) selama penelitian adalah 0,852 ppm – 0,905 ppm. Menurut Haryanti et al (1992), kisaran amonium (NH4) masih aman dalam media adalah lebih kecil dari 1, 5 ppm, kirasan ini masih layak dan tidak membahayakan larva udang windu.
Berdasarkan hasil pengamatan parameter kualitas air, secara umum kualitas air media masih layak dan menunjang pertumbuhan dan sintasan larva udang windu.
Kesimpulan
1. Imonostimulan dari vaksin virus WSSV memberikan sintasan tertinggi pada benur windu (Penaeus monodon Fab), menyusul vaksin Vibrio harveyi, dan vitamin C.
2. Kualitas media lingkungan sangat mendukung kehidupan banur windu (Penaeus monodon Fab)
Sumber :
Peranan Imunostimulan Dalam Meningkatkan Sintasan Benur Windu (Penaeus Monodon, Fab) Terhadap Serangan Virus Wssv
Jurnal Ilmiah Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia, Makasar ; ejournal.umm.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar