Senin, 12 Februari 2018

Penggunaan Cantrang yang Merugikan


Kapal Cantrang yang beralih alat tangkap (Foto: Arifin Asydhad/kumparan)
Cantrang adalah salah satu jenis Alat Penangkapan Ikan (API) yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).

Sejumlah nelayan khususnya yang berada di sekitar Jawa Tengah mengenal istilah cantrang atau dogol atau pukat dogol sebagai pukat kantong yang dioperasikan di dasar perairan, terutama untuk menangkap ikan-ikan demersal dan hewan-hewan dasar lainnya.
Cantrang biasanya disamakan dengan demersial danish seine yang dipakai di dunia barat. Pukat dogol atau cantrang sendiri berbeda dengan pukat harimau (trawl), karena cantrang tidak ditarik kecuali sepanjang tali utamanya saja.
Didasarkan pada pertimbangan kelangsungan ekosistem laut Indonesia, larangan penggunaan alat penangkapan ikan (API) jenis trawl atau pukat atau cantrang melalui Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) No.2 tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik mulai diberlakukan sejak 2015 silam.
Namun demikian, tak ayal pelarangan ini menuai banyak protes dari sana-sini khususnya dari pihak nelayan.

Nelayan dan cantrang ikan. (Foto: Dok. kkp.go.id)
Keputusan untuk melarang pengunaan cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentu memiliki alasan yang kuat. Pun para nelayan sebetulnya menyadari bahwa penggunaan alat tangkap cantrang tidak menguntungkan.
Selain merusak ekosistem, hasil tangkapan cantrang didominasi ikan kecil yang harganya pun murah di pasaran. Namun toh tetap saja masih banyak nelayan yang menggunakan cantrang dengan alasan hasil tangkapan yang didapat lebih banyak.
Selaras dengan larangan penggunaan cantrang oleh KKP, sebuah kajian dari WWF-Indonesia pada 2015 silam menyebutkan bahwa hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi.
Sekitar 60-82% adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard), sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati. Penggunaan trawl dengan mengeruk dasar perairan merusak habitat serta penggunaan mata jaring yang kecil juga menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis biota yang masih anakan atau belum matang gonad.
Persoalan yang sangat memprihatikan adalah pemborosan sumberdaya ini telah terjadi terus menerus sejak alat tangkap ini dipergunakan secara luas pada tahun 1960.

Untuk lebih jelasnya berikut dampak buruk dari penggunaan cantrang sebagai alat tangkap ikan:
Pertama adalah hasil tangkapan cantrang tidak selektif dengan komposisi hasil tangkapan yang menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya. Biota-biota yang belum matang gonad dan memijah yang ikut tertangkap tidak dapat berkembang biak menghasilkan individu baru. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan stok sumber daya ikan, hasil tangkapan akan semakin berkurang.
Kedua, biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan. Analisis stok sumber daya perikanan pun menjadi kurang akurat sehingga menyebabkan tidak sesuainya kebijakan pengelolaan dan kenyataan kondisi sumber daya perikanan.
Ketiga, pengoperasian cantrang yang mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota laut. Meskipun Cantrang menghindari Terumbu Karang, tetapi kelompok-kelompok kecil karang hidup yang berada di dasar perairan akan ikut tersapu.
Keempat, sumber daya ikan di perairan laut Indonesia akan mengalami degradasi dikarenakan padatnya aktivitas penangkapan dari berbagai daerah termasuk dalam penggunaan alat tangkap cantrang. Fishing ground (lokasi penangkapan) nelayan akan ikut berpindah dan menjauh, serta biaya operasional penangkapan semakin tinggi.
Dengan adanya larangan penggunaan cantrang dan beralih ke alat penangkap ikan lainnya dapat meningkatkan penghasilan para nelayan. Meskipun jumlah tangkapan ikan memang menurun karena alat tangkap yang digunakan lebih selektif, namun nilai produksinya justru melonjak.

Sumber : https://kumparan.com/@kumparannews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar