Senin, 12 Februari 2018
Tinjauan Ilmiah Pelarangan Trawl dan Cantrang
Penolakan dan dukungan penggunaan alat tangkap Trawl dan Cantrang seharusnya bisa dilihat secara lebih menyeluruh dan bijaksana, setidaknya berdasarkan pertimbangan ekonomi dan lingkungan, serta pertimbangan jangka panjangnya. Kepentingan ekonomi dan lingkungan hanya dapat dijembatani secara bijak oleh pertimbangan ilmiah, dimana fakta ilmiah adalah kebenaran yang harus diterima oleh semua pihak.Pihak-pihak yang terlibat langsung dan tidak langsung dengan keberadaan alat tangkap ini, mesti memahami semua aspeknya secara ilmiah, berdasarkan praktik-praktik yang dilakukan selama ini. Apakah Trawl dan Cantrang itu? Bagaimana cara praktik pengoperasiannya?
Alat tangkap Trawl telah digunakan sejak tahun 1960, kemudian dimodifikasi menjadi Cantrang sejak tahun 1980 oleh nelayan di Indonesia setelah Trawl dilarang. Trawl dan Cantrang dikategorikan sebagai alat tangkap aktif karena mengejar gerombolan ikan kemudian ditangkap pukat. Ukuran mata jaring (mesh size) berbeda pada satu alat tangkapkarena memiliki beberapa bagian.Pada bagian kantong tempat berkumpulnya ikan yang tertangkap, mata jaring Cantrang di Takalar Sulawesi Selatan berukuran 2 Cm (Sudirman dkk, 2005), Mini Trawl di Cirebon Jawa Barat 25 mm (A. Chaerudin, 2006), 0,5-1 Inchi (I.N. Aji dkk, 2013), Cantrang di Demak 1,5 Inchi (R.T. Cahyani, 2012). Trawl dan Cantrang umumnya dioperasikan oleh kapal berkapasitas mulai 4 GT sampai dengan 30 GT, bahkan ratusan GT.Wilayah operasi meliputi daerah perairan dangkal karena pukat harus sampai pada dasar perairan, pada jalur penangkapan IB – II (2-12 mil), dan sebagian kecil dioperasikan pada pada kolom air yang tidak menyentuh dasar perairan. Kemudian pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan (API) di Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) di Negara Republik Indonesia, Trawl masuk kategori III sebagai API Pukat Hela dan Cantrang masuk kategori II sebagai API Pukat Tarik.Kedua kategori API inilah yang dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.Dalam tulisan ini, istilah Trawl mewakili API kategori III dan istilah Cantrang mewakili API kategori II.
Atas dasar metode operasional API yang dihela dan ditarik pada dasar perairan dan ukuran mata jaring kecil, sehingga dianggap API yang merusak lingkungan karena menurunkan dan mengancam sumber daya ikan di Indonesia. API kategori II dan III ini sudah banyak diteliti di Indonesia, baik mengenai metode operasioanalnya maupun komposisi hasil tangkapannya. Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan bahwa hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan Trawl dan Cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, 60-82% adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard), sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati.
Penelitian A. Caherudin (2006) menemukan bahwa komposisi hasil tangkapan Mini Trawl di Cirebon yaitu 1:15 antara tangkapan utama dan tangkapan sampingan. Kemudian penelitian Y. Aidy (2003) di Demak menemukan bahwa hasil tangkapan Cantrang terdiri dari 62,40% ikan rucah yang tidak bernilai ekonomis, penelitian I.N. Aji (2013) menemukan hasil tangkapan cantrang di Tuban 67% bycatch, kemudian temuan Sudirman dkk (2005) lebih kecil yaitu hasil tangkapan Cantrang 2,28% bycatch dan 8,87% discard atau total hanya sebesar 11,15% di Takalar. Tingginya hasil tangkapan bycatch dan discard karena ukuran ikan dan udang yang masih kecil, serta juvenil biota lainnya atau tidak memiliki nilai ekonomis, serta dibuang dalam keadaan mati atau hampir mati, menimbulkan dua dampak penting. Ada dua dampak tersebut, yaitu perkembangbiakan biota perairan terganggu dan kacaunya data perikanan.
Hasil tangkapan Trawl dan Cantrang tidak selektif dengan komposisi hasil tangkapan yang menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya, menyebabkan biota-biota yang belum matang gonad dan memijah tidak dapat berkembang biak menghasilan individu baru. Ikan, udang, kepiting, dan biota perairan lainnya umumnya dapat menghasilkan ratusan, ribuan, sampai ratusan ribu telur dan calon individu baru.Jika biota ini sudah tertangkap pada saat berukuran kecil atau belum memijah, maka kita mengorbankan ratusan ribu sampai jutaan ikan, udang, kepiting. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan stok sumber daya ikan, hasil tangkapan akan semakin berkurang, dampak merusak pertama.Biota yang dibuang akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan. Analisis stok sumber daya perikanan menjadi kacau.Data yang kacau ini akan dijadikan pedoman penyusunan kebijakan pengelolaan perikanan pada suatu wilayah, sehingga menyebabkan tidak sesuainya kebijakan pengelolaan dan kenyataan kondisi sumber daya perikanan, dampak buruk kedua.
Dampak lain dari hasil-hasil penelitian tersebut adalah adalah mengganggu dan merusak habitat biota pada dasar perairan.Dasar perairan adalah habitat penting di laut karena terdiri dari ekosistem terumbu karang, lamun, dan substrat pasir atau lumpur.Meskipun Cantrang menghindari Terumbu Karang, tetapi kelompok-kelompok kecil karang hidup misalnya dari jenis Acropora yang terpisah dari di kawasan terumbu, akan ikut tersapu, serta pengadukan dasar laut menyebabkan kekeruhan tinggi yang menjadi ancaman kematian karang dan lamun. Kerusakan habitat ini mengancam keanekaragaman hayati di laut dan menurunkan produktivitas sumber daya perikanan, dampak buruk ketiga.Biota-biota yang tidak ikut tertangkap akan terganggu cara hidupnya sehingga regenerasi juga akan terganggu serta tidak bisa berkembang biak dengan baik untuk menghasilkan individu baru yang bisa ditangkap oleh nelayan.Kondisi ini juga menyebabkan deplesi stok sumber daya ikan. Jika biota-biota ini tidak bisa beradaptasi dengan habitat yang selalu diganggu, maka mereka akan bermigrasi dan mencari habitat baru yang jauh dari gangguan. Fishing ground (lokasi penangkapan) nelayan akan ikut berpindah dan menjauh, serta biaya operasional penangkapan semakin tinggi, dampak merusak keempat.
Melihat dampak ketiga dan keempat tersebut, pelarangan ini menjadi penting diberlakukan, karena dampak merusaknya sudah terjadi dan akan berlangsung dalam jangka panjang.Tetapi harus mempertimbangkan juga kerugian pada nelayan Trawl dan Cantrang yang tidak bisa lagi melaut. Pihak Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik, dalamSolopos.Com(4 Maret 2015), menyatakan ada sekitar 100.000 nelayan Trawl dan Cantrang yang bisa mempengaruhi anggota keluarga nelayan sebanyak 500 orang di seluruh Indonesia, jika tidak bisa lagi menangkap ikan karena peraturan ini. Ada juga pengusaha yang merugi karena sebagai suplier alat dan bahan tangkap Trawl dan Cantrang, seperti tali dan jaring, mengalami permintaan produk yang menurun. Sementara pengusaha penangkapan lainnya mengungkapkan telah kekurangan umpan karena tidak ada lagi Trawl dan Cantrang beroperasi yang biasa menyuplai umpan. Bagaimana menimbang kerugian ekonomi dan keuntungan ekologis dari peraturan pelarangan ini?
Penggunaan Trawl dan Cantrang akan merugikan nelayan kecil secara langsung dan tidak langsung.Nelayan kecil yang menggunakan pancing rawai dasar tidak bisa menangkap ikan selama 3 hari sampai 1 minggu jika suatu lokasi sudah disapu oleh tarikan Trawl dan Cantrang (Hasil Survey pada Nelayan Jaring-Nusantara di Takalar, November 2013).Jika Trawl dan Cantrang terus menerus beroperasi pada suatu lokasi, maka nelayan kecil lainnya tidak bisa menangkap ikan karena konflik wilayah penangkapan serta menurunnya sumber daya ikan di wilayah tersebut dan sekitarnya.Data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyebut jumlah alat tangkap Trawl dan Cantrang sekitar 91.931 unit pada tahun 2011. Kemudian nelayan kecil tanpa perahu, perahu tanpa mesin, dan perahu mesin tempel berjumlah 396.724 nelayan, yang beroperasi di jalur 0-12 mil sama dengan wilayah penangkapan Trawl dan Cantrang. Jika dihitung dengan anggota keluarga nelayan kecil ini seperti asumsi KNTI, maka ada sekitar2 juta keluarga nelayan kecil di seluruh Indonesia merasakan dampak kerugian tersebut. Kerugian nelayan kecil ini jumlahnya lebih banyak daripada nelayan Trawl dan Cantrang, ini dampak buruk kelima. Kemudian lebih jauh, nelayan kecil akan semakin terdesak dan terjadi konflik sosial antara nelayan Trawl/Cantrang dan nelayan kecil lainnya, yang biasanya terjadi antar daerah atau dalam satu daerah domisili nelayan, dampak buruk keenam.
Melihat dampak kerusakan sumber daya perikanan dan kerugian sebagian besar nelayan kecil di Indonesia, seharusnya peraturan pelarangan Trawl dan Cantrang ini sudah diterapkan sejak dulu. Karena sejak 25 tahun yang lalu pada tahun 1980, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl.Konsideran peraturan Kepres ini adalah “bahwa dalam pelaksanaan pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar dan dalam rangka mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh para nelayan tradisional serta untuk menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial maka perlu dilakukan penghapusan kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl”.Meskipun dalam Kepres ini tidak menyebut Cantrang, tetapi setelah tahun 1980, trawl dimodifikasi menjadi Cantrang agar tidak terjerat dengan peraturan ini (Badrudin dkk, 2010).Kemudian pada tahun 2009, peraturan pelarangan Trawl dan Cantrang dipertegas kemabali dan dilarang beroperasi pada semua jalur penangkapan di seluruh WPP, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/Permen-KP/2014 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Jumlah Trawl pada tahun 1980 sudah dianggap oleh pemerintah telah mengganggu kelestarian sumber daya perikanan serta memicu terjadinya ketegangan sosial. Tetapi karena tidak efektifnya kedua peraturan ini, jumlah Trawl dan Cantrang semakin bertambah jumlahnya.Dampak buruknya berlanjut dan semakin meluas. Stok sumber daya perikanan di Indonesia benar-benar telah menurun drastis. Penelitian-penelitian mengenai stok sumber daya perikanan yang dilakukan di Indonesia pada wilayah barat dan tengah,menunjukkan penurunan stok ikan demersal dan kerusakan habitat akibat penangkapan merusak. Hanya sebagian kecil di bagian timur Indonesia yang masih memiliki kondisi stok ikan bagus karena penangkapan belum masif dan menggunakan pancing dan alat tangkap tradisional lainnya. Secara umum, dampak kerusakan ini telah merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan mungkin hanya menguntungkan sebagian kecil pengusaha dan nelayan Trawl atau Cantrang.Hal ini jelas-jelas sangat tidak adil bagi bangsa Indonesia yang besar ini.Pengusaha dan nelayan armada perikanan Trawl dan Cantrang di atas 5 GT, harus bijak dan adil terhadap nelayan kecil lainnya agar tidak melanjutkan lagi aktivitas penangkapanya.Sumber daya perikanan yang telah dieksploitasi selama ini, seharusnya menjadi kompensasi untuk mengganti sendiri alat tangkapnya secara rela dan sadar dengan alat tangkap ramah lingkungan sesuai peraturan. Sementara itu, nelayan kecil pengguna Trawl dan Cantrang dengan armada di bawah 5 GT atau investasi alat tangkap kurang dari 15 juta, harus dibantu oleh pemerintah untuk mengganti alat tangkapnya, serta ditambah dengan pelatihan dan atau kredit lunak untuk permodalan.
Peraturan pelarangan Trawl dan Cantrang ini sudah harus benar-benar ditegakkan, demi kepentingan bangsa Indonesia tanpa kecuali. Lemahnya penegakan aturan selama ini harus dibayar mahal oleh pemerintah sekarang, karena banyaknya dampak buruk yang harus diperbaiki. Kerugian pengguna Trawl dan Cantrang, sama sekali tidak seimbang dengan kerugian yang telah dialami oleh bangsa selama ini. Kelestarian sumber daya perikanan dan pemanfaatan berkelanjutan untuk kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia yang harus menjadi pertimbangan pertama dan utama.
Sumber :
Muhammad Yusuf ; https://www.kompasiana.com/ucumksr/tinjauan-ilmiah-pelarangan-trawl-dan-cantrang-siapa-yang-diuntungkan-dan-dirugikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar