Ikan gabus dalam Bahasa Makassar disebut juku’balana’. Bagi orang Balang, Jeneponto dan keturunannya sepanjang tujuh turunan, ikan gabus merupakan ikan yang paling dihindari untuk dikonsumsi. Larangan untuk mengonsumsi bukanlah larangan agama, atau larangan kesehatan tetapi larangan budaya. Bila tetap nekad atau sekedar mencoba-coba memakannya, maka akan mengalami luka bisul pada kepala. Karena itu, hingga sekarang keturunan orang Balang yang telah banyak menyebar di seluruh Indonesia sangat pantang mengonsumsi ikan gabus.
Konon, pada zaman duhulu di Kampung Balang yang dikelilingi balang (sungai kecil: Bahasa Makassar) hiduplah sebuah keluarga terpandang di kampung para cerdik cendekia dalam Kerajaan Binamu itu. Kampung Balang ketika itu bila dianalogikansetingkat propinsi sekarang ini yang dipimpin oleh seorang Gallarang Balang. Sedang Kerajaan Binamu adalah setingkat negara. Kerajaan Binamu sejajar dengan Kerajaan Gowa karena dalam sejarah tidak ditemukan fakta bahwa Kerajaan Binamu adalah bawahan Kerajaan Gowa. Bahkan pada saat Kerajaan Bone dipimpin Aru Palakka menyerang markas Kerajaan Gowa, sebagian pasukannya terdiri dari pasukan Kerajaan Binamu.
Pada suatu ketika, datanglah seorang tamu kehormatan dari kerabat Kerajaan Binamu berkunjung ke kampung Balang. Keluarga yang dikunjungi ingin memberi suguhan khas orang Balang dengan menghidangkan ikan balana (ikan gabus) kepada tamu kehormatannya.
Maka kepala keluarga beserta pembantunya tersebut beranjak ke sungai yang tidak jauh dari rumahnya. Segala keperluan penangkap ikan disiapkan seperti jala (jaring) dan alat pancing. Dengan semangat yang besar, beranjaklah kepala keluarga tersebut dengan harapan dapat menangkap ikan balana (gabus) untuk dihidangkan kepada tamunya. Sang tamu pun menunggu dengan girang karena akan disuguhi ikan balana yang terkenal lezat, gurih danenak.
Sesampainya di tepi sungai, diperhatikan semua sisi sungai yang akan menjadi sasaran penangkapan ikan balana’ (gabus). Sang kepala keluarga beserta pembantunya berusaha menyisiri sungai berkali-kali, tetapi tidak satu pun ditemui ikan balana’. Padahal ikan tersebut pada hari-hari sebelumnya sangat banyak ditemukan di sungai tersebut dan menjadi ikan favorit orang-orang Balang.
Setelah berjam-jam mencari ikan gabus yang tiba-tiba menghilang bak ditelan sungai, maka dengan kesal sang kepala keluarga tersebut mengangkat sumpah: ”Saya tidak akanmakan ikan gabus sampai tujuh turunan !!!” Sejak itulah orang-orang Balang menganggap ikan gabus sebagai ikan yang paling dihindari untuk dimakan karena mempermalukan sebuah keluarga.
Dengan lesu bercampur malu,sang kepala keluarga beserta pembantunya itu bergegas pulang. Perasaan malu bercampur kesal tampak pada raut mukanya. Malu karena ikan yang dibanggakannya akan disuguhkan kepada tamunya, ternyata tidak terkabul. Ikan gabus itu mendadak hilang dari dalam sungai (balang) tersebut.
Meski menjadi pantangan, tidak sedikit orang-orang Balang sendiri menganggap sumpah tersebut tidak lagi berlaku karena silsilah mulai dari sang kepala keluarga yang mengangkat sumpah tersebut sudah melewati tujuh turunan. Jadi yang hidup sekarang ini diperkirakan generasi diatas tujuh turunan, alias delapan hingga sepuluh turunan. Karena itu, beberapa keluarga mulai dan sudah mencoba mencicipi ikan gabus sebagai lauk.
Sumber : https://www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar