Rabu, 14 Oktober 2015

Penangkapan Ikan yang Merusak dan Tidak Ramah Lingkungan

Degradasi ekosistem terumbu karang secara umum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alami (autogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas manusia (antrophogeniccauses) baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia di darat sepertipertanian yang menggunakan pupuk organik, anorganik dan pestisida dapat mempengaruhikehidupan organisme yang hidup dalam ekosistem ini karena sebagian dari bahan-bahan tersebuthanyut ke laut melalui aktivitas run-off.
Selain itu, penebangan hutan yang tidak terkontrol jugamengakibatkan erosi dimana akan berdampak pada tingginya laju sedimentasi yang masuk kedalam perairan laut sehingga menutupi polip-polip karang. Aktivitas manusia lainnya yang jugamerusak ekosistem terumbu karang secara langsung adalah penangkapan ikan tidak ramahlingkungan dengan menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti sianida dan bahan peledak yangdapat menyebabkan kematian hewan-hewan karang dan kerusakan secara fisik terumbu karang.Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu yang ada di sekitar lokasi peledakan, jugadapat menyebabkan kematian organisme lain yang bukan merupakan target. Sementara praktek pembiusan dapat mematikan zooxanthella hewan penyusun karang sehingga karang menjadiberubah warna yang akhirnya mati serta ikan-ikan lainnya ikut mati yang tidak menjadi target.Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potas) berpotensimenimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
PENANGKAPAN IKAN YANG MERUSAK
1. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak
a. Awalnya, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak diperkenalkan di Indonesia pada masa perang dunia ke dua. Penangkapan ikan dengan cara ini sangat banyak digunakan, sehingga sering dianggap sebagai cara penangkapan ikan “tradisional” (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18,http://www.spc.int/coastfish/news/LRF/4/erdmann.htm).


Penangkapan Ikan Menggunakan Bahan Peledak

b. Meskipun peledak yang digunakan berubah dari waktu ke waktu hingga yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan minyak tanah dan pupuk kimia dalam botol, cara penangkapan yang merusak ini pada dasarnya sama saja. Para penangkap ikan mencari gerombol ikan yang terlihat dan didekati dengan perahunya. Dengan jarak sekitar 5 meter, peledak yang umumnya memiliki berat sekitar satu kilogram ini dilemparkan ke tengah tengah gerombol ikan tersebut. Setelah meledak, para nelayan tersebut memasuki wilayah perairan untuk mengumpulkan ikan yang mati atau terkejut karena gelombang yang dihasilkan ledakan dengan menyelam langsung atau dengan menggunakan kompresor.
Ledakan tersebut dapat mematikan ikan yang berada dalam 10 hingga 20 m radius peledak dan dapat menciptakan lubang sekitar satu hingga dua meter pada terumbu karang tempat ikan tersebut tinggal dan berkembang biak.
c. Para penangkap ikan yang menggunakan cara peledakan biasanya mencari ikan yang hidupnya bergerombol. Ikan-ikan karang yang berukuran besar seperti bibir tebal dan kerapu yang biasa hidup di bawah terumbu karang menjadi sasaran utamanya. Ikan ekor kuning hidup di sepanjang tubir, atau ikan kakaktua dan kelompok ikan surgeonfish, juga menjadi sasaran peledakan. Karena besarnya gelombang ledakan, terkadang ikan yang ada di tepi perairan terbuka pun sering menjadi sasaran. Ikan-ikan tersebut antara lain ikanmackerel dan ikan sarden.
d. Terumbu karang yang terkena peledakkan secara terus menerus, seringkali tinggal puing-puing belaka. Terumbu karang dalam yang rusak ini sulit sekali untuk dipulihkan, karena kondisinya yang berupa puing dan tidak stabil, di atas substrat seperti ini larva karang sulit untuk tumbuh dan berkembang biak (lihat Buku Panduan Mengenai Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Lainnya). Selain itu, terumbu karang mati ini tidak lagi menarik bagi ikan dewasa yang berpindah dan mencari tempat tinggal untuk membesarkan anakan ikannya, sehingga menurunkan potensi perikanan di masa datang. Selain itu, peledakan terumbu karang juga menyebabkan banyaknya ikan dan organisme yang hidup dalam komunitas terumbu karang tersebut, yang bukan merupakan sasaran penangkap ikan, turut mati.
d. Penangkapan ikan dengan peledak seperti ini merupakan tindakan yang melanggar hukum dan lebih banyak dijumpai di wilayah Indonesia timur. Hal ini karena populasi manusia yang lebih rendah menyebabkan berkurangnya peluang untuk tertangkap oleh patroli polisi lebih kecil. Selain itu, di perairan wilayah barat Indonesia menunjukkan ketersediaan ikan yang telah sangat berkurang, sehingga menangkap ikan dengan menggunakan peledak tidak lagi menguntungkan (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18,http://www.spc.int/ coastfish/news/LRF/4/erdmann.htm).

2. Menggunakan Racun Sianida

a. Penggunaan racun sianida ini (sodium sianida) yang dilarutkan dalam air laut banyak digunakan untuk menangkap ikan atau organisme yang hidup di terumbu karang dalam keadaan hidup. Racun sianida yang sering disebut sebagai “bius” biasanya merupakan cara favorit untuk menangkap ikan hias, ikan karang yang dimakan (seperti keluarga kerapu dan Napoleon wrasse), dan udang karang (Panulirus spp.).

Racun Sianida

b. Pada dasarnya, penangkapan ikan seperti ini melibatkan penyelam langsung atau menggunakan kompresor yang membawa botol berisi cairan sianida dan kemudian disemprotkan ke ikan sasaran untuk mengejutkannya. Dalam jumlah yang memadai, racun ini membuat ikan atau organisme lain yang menjadi sasaran “terbius” sehingga para penangkap ikan dengan mudah mengumpulkan ikan yang pingsan tersebut. Seringkali, ikan dan udang karang yang menjadi target lalu bersembunyi di dalam terumbu, dan para penangkap ikan ini membongkar terumbu karang untuk menangkap ikan tersebut.

c. Cairan sianida yang digunakan untuk menangkap ikan berukuran besar, biasanya berupa larutan pekat yang dapat mematikan sejumlah organisme yang hidup di terumbu karang, termasuk ikan-ikan kecil, invertebrata yang bergerak, dan yang paling parah, racun sianida juga mematikan karang keras.

d. Racun sianida, bukan saja mencemari ekosistem terumbu karang yang dapat mematikan organisme yang tidak menjadi sasaran. Terumbu karang dapat rusak karena dibongkar oleh para penangkap ikan untuk mengambil ikan yang terbius tersebut di rongga-rongga di dalam terumbu. Selain itu, dalam jangka waktu yang lama, ekosistem yang terkena racun sianida yang terus menerus dapat memberikan dampak buruk bagi ikan dan organisme lain dalam komunitas terumbu karang, juga bagi manusia.

3. Bubu

a. Alat tangkap Bubu adalah jerat yang terbuat dari anyaman bambu yang banyak digunakan di seluruh Indonesia. Belakangan ini, Bubu kembali popular karena digunakan untuk penangkapan ikan perdagangan ikan karang hidup.


Alat Tangkap Bubu

b. Meskipun pada dasarnya alat ini tidak merusak, namun pemasangan dan pengambilannya sering kali merusak terumbu karang. Bubu biasanya dipasang dan diambil oleh para penangkap ikan dengan cara menyelam dengan menggunakan kompresor. Dibandingkan dengan penangkapan yang merusak lainnya, Bubu tidak terlalu merusak karena biasanya diletakkan di dasar lereng terumbu. Seringkali, perangkap tersebut disamarkan oleh pecahan-pecahan karang hidup.

c. Ada pula perangkap yang dipasang dari perahu dan diikat dengan tali yang dipancangkan. Bubu seperti inilah yang sering merusak terumbu karang. Hal ini karena Bubu dipasangi pemberat yang saat ditenggelamkan dari perahu menabrak percabangan terumbu karang. Bubu seperti ini terutama merusak terumbu karang pada saat Bubu ditarik oleh tali pemancang untuk mengangkatnya. Bila penggunaan Bubu seperti ini terus meningkat, terutama untuk menangkap Ikan Kerapu, kegiatan penangkapan dengan alat Bubu akan menjadi sumber kerusakan terumbu karang di Indonesia.

4. Pukat Harimau

a. Pukat Harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya. Pukat Harimau merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar (substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Pukat Harimau dilarang digunakan di Indonesia karena jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan (by-catch). Namun demikian, meskipun kini penangkap ikan dengan Pukat Harimau jarang dijumpai, kegiatan ini masih ditemukan, terutama di wilayah perbatasan.

b. Berdasarkan definisinya, Pukat Harimau tidak termasuk dalam jenis alat tangkap ikan yang merusak. Namun demikian alat tangkap ini memberikan pengaruh yang luar biasa buruk terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu karang, karena kemampuannya mengeruk sumberdaya perikanan tersebut. Sebagai contoh, pukat harimau dengan model yang baru, yang dioperasikan di Selat Lembeh pada tahun 1996 hingga 1997 selama 11 bulan. Pukat ini menggunakan jerat-jaring yang sangat besar dan menangkap 1,400 Ikan Pari (Manta), 750 Marlin, 550 Paus, 300 Ikan Hiu (termasuk Hiu Paus), dan 250 Lumba-lumba (Pet-Soede dan Erdmann, downloaded 30 October 2006, 09.18, http://www.spc.int/coastfis/news/LRF/4/erdmann.htm). Dampak penangkapan ikan dengan menggunakan pukat tersebut terhadap kegiatan ekowisata mulai terasa, karena berkurangnya kelimpahan organisme laut yang menjadi modal utama industri ekowisata ini.

5. Pukat Dasar
a. Pukat Dasar/Lampara Dasar dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini karena Pukat Dasar yang sering digunakan untuk menangkap udang, juga “menangkap” ikan dan organisme lain serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang parah.

b. Pukat Dasar berinteraksi secara langsung dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Pukat Dasar, dengan kemampuan pengerukkannya, dapat pula membongkar terumbu karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur, Pukat ini dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup terumbu karang.

c. Terhadap jenis (spesies), kerugian utama yang ditimbulkan Pukat Dasar adalah tertangkapnya organisme kecil dan jenis-jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya dibuang begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi denan menggunakan jaringdengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi peluang tertangkapnya organisme yang berukuran kecil.
PENANGGULANGAN PENANGKAPAN IKAN TIDAK RAMAH LINGKUNGAN

Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di berbagai wilayah perairan di Indonesia. Praktek semacam ini selain menimbulkan kerugian ekologis, juga menimbulkan dampak socia lekonomi yang sangat besar terhadap negara dan daerah, serta dapat memicu berbagai perselisihan sosial yang memprihatinkan terutama akibat menurunnya produktivitas ekosistem terumbukarang. Jika hal ini berlangsung terus, maka diperikirakan dalam waktu yang singkat terumbukarang akan berkurang serta biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang terutama yang benilai ekonomis dan terlebih yang langka dapat menjadi punah. Kegiatan penangkapan ikan tidak ramah lingkungan tidak hanya mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut, tetapi juga memacu peningkatan jumlah masyarakat miskin di wilayah tersebut. Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu karang mestinya diminimalisasi. Salahsatunya adalah penanggulangan penangkapan yang yang menggunakan bahan peledak.

Dalam upaya meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dengan menggunakan bahan peldak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah :
1. Pengembangan Mata Pencaharian
Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin dan memiliki tingkat pendidikan yan sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung destruktif sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan) dalam memenuhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan ekosistem terumbu karang saja tetapi juga memutus rantai mata pencaharian anak cucu. Bukan hanya itu, faktor rendahnya tingkat pendidikan juga mempengarhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan alternatif mata pencaharian (tambahan) diharapkan dapat memberikan nilai tambah sehingga masyarakat pesisir (nelayan) destruktif akan berkurang.

2. Penegakan Hukum

Secara umum maraknya kegiatan penangkapan ikan dengan merusak di beberapa daerah adalah lemahnya penegakan hukum. Beberapa kasus yang tidak diselesaikan secara baik dan tuntas dan transparan memicu perilaku masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat akibat penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki mulai dari aparat penegakan hukum yang terkait.

3. Pendidikan dan Penyadaran tentang Lingkungan

Sebagaimana yang dipaparkan dipoint pertama di atas, dimana secara umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yangdiindikasikan sebagi pelaku penangkapan ikan dengan merusak tersebut memiiki pendidikan rendah sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas. Denganpendidikan dan penyadaran tentang lingkungan dapat melalui seminar, lokakarya, workshop,studi banding dapat ditingkatkan.

4. Pengaturan Waktu, Jumlah, Ukuran dan Wilayah Tangkap
Di beberapa lokasi pengaturan waktu, jumlah, ukuran dan wilayah tangkap sudah dikembangkan. Namun kendalanya dibeberapa lokasi di Indonesia merupakan sesuatu hal yang masih sulit. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya penelitan/kajian aspek-aspek dari terumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta sumberdaya manusia pelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih terbatas.

Implementasi dari empat point penanggulangan penangkapan ikan tidak ramah lingkunga ndengan cara merusak (destructive fishing) dapat dipastikan meminimalisasi dampak dari kegiatan tersebut tentunya jika diimplementasikan dengan baik (focus dan terintegrasi).

Sumber : 
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Penyuluhan KP,
https://mirsangazali.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar