Ikan yang tergolong jenis ikan permukaan ini memang banyak ditemukan di Selat Makassar, Laut flores dan Laut Sulawesi. Musim panen berlangsung awal bulan April hingga September. Selama waktu enam bulan inilah ikan terbang sering dijumpai dalam rombongan besar. Inilah bulan-bulan mereka kawin dan bertelur. ikan terbang.
Disebut demikian karena ikan ini memang mampu terbang beberapa meter di atas permukaan laut, sejauh seratus meter dalam waktu sepuluh detik. Siripnya panjang, memiliki selaput tipis diantara tulang-tulang yang halus, sehingga menyerupai sayap. Ikan ini dikonsumsi masyarakat sama seperti berbagai jenis ikan laut lainnya.
Ikan terbang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama tuing-tuing. Ada juga yang menyebutnya torani, dari kata tobarani atau orang-orang yang berani. Konon, yang menemukan dan memperkenalkan ikan terbang pada masyarakat Makassar adalah para pemberani, pasukan Arupalaka saat berlayar dalam perjalanan pulang dari Tanah Jawa.
Telur ikan terbang yang berwarna kuning keemasan menjadi komoditas ekspor dengan harga mencapai dua ratus lima puluh hingga tiga ratus ribu rupiah perkilo dalam kondisi kering. Jepang, Korea, Taiwan dan Singapura adalah negara-negara pengimpor telur ikan terbang. Konon, kandungan gizi satu butir telur ikan terbang, sama dengan tujuh butir telur puyuh.
Namun sayangnya mengkonsumsi telur ikan terbang tidak populer di kalangan penduduk Indonesia, bahkan di desa-desa nelayan seperti di Galesong sendiri. Padahal kandungan gizinya yang tinggi sangat bermanfaat. Harga yang tinggi merupakan alasan mengapa para nelayan ini lebih suka menjual telur ikan hasil tangkapan dari pada mengkonsumsinya di rumah.
Nelayan Galesong bisa pergi berminggu-minggu ketengah laut, untuk berburu ikan terbang yang sedang bertelur. Telur-telur ini tiba di Galesong dalam kondisi sudah kering. Di darat, telur ikan terbang yang di beli oleh sejumlah pengepul, segera diproses. Dipisahkan dari serat berwarna putih kapas dan liat, dengan cara di parut pada anyaman kawat.
Serat ini berfungsi sebagai pengikat bulir-bulir telur. Produksi telur ikan terbang yang hanya berlangsung selama enam bulan ini termasuk tinggi. Dari Takalar setiap tahunnya berhasil mengekspor rata-rata dua ratus lima puluh ton telur ikan kering.
Namun para pengepul ini juga masih mengalami sejumlah kendala. Harga perkilo telur ikan masih tergantung pada segelintir eksportir, yang menguasai pasar. Sehingga mereka hanya pasrah menerima harga yang ditetapkan para eksportir. Saat stok banyak dan permintaan sedikit, pengepul bisa dipastikan merugi. Padahal, modal yang dibutuhkan untuk usaha ini cukup besar.
Pengempul harus membiayai seluruh kebutuhan nelayan selama melaut. Dari menyediakan perahu,solar, hingga bahan makanan. Tidak hanya itu, mereka juga mencukupi kebutuhan keluarga nelayan yang melaut selama mereka tidak pulang. Sistem pembayaran dihitung dari hasil tangkapan, baru dikurangi biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing keluarga. Tak heran, hanya pengepul yang bermodal kuat, yang masih bertahan kala harga telur ikan merosot
Mungkin mencari pasar sendiri tanpa melalui perantara dapat memecahkan masalah harga. Namun belum ada tenaga yang mampu membuat promosi manfaat dan kelezatan telur ikan terbang yang baik, dan membuka jalur ekspor ke negara-negara lain, sehingga negara pengimpor semakin banyak. Namun toh sisi positif tetap dirasakan, terutama oleh para wanita dan remaja di Takalar yang mendapat peluang kerja.
Mereka bekerja memisahkan telur ikan terbang dari serat pengikatnya, membersihkan hingga mengemas untuk keperluan ekspor. Namun sayangnya serat pengikat telur ini belum dimanfaatkan. Belum ada yang meneliti serat menyerupai kapas dan sangat liat tersebut untuk dijadikan sesuatu yang lebih berguna. Akhirnya serat yang mencapai satu hingga dua truk sekali produksi, dibuang begitu saja.
Sumber : https://mirsangazali.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar