Jumat, 03 Juni 2016

Pengelolaan Air Tambak Udang Vannamei Secara Intesif

Image result for kualitas air tambak udang

Taksonomi Udang Vannamei
Udang vannamei merupakan udang yang digolongkan ke dalam genus Panaeid pada filum Arthropoda. Berikut ini merupakan tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi (Haliman dan Adijaya, 2005):

Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

Morfologi Udang Vannamei
Tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan beraktivitas berganti kulit atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut:
Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
Organ sensor, seperti antena dan antenula.

Sifat dan Tingkah Laku
Sifat-sifat penting udang vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut Haliman dan Adijaya (2005), adalah sebagai berikut :
A. Aktif pada kondisi gelap (nocturnal).
B. Suka memangsa sesama jenis (kanibal)
C. Tipe pemakan lambat, tetapi terus menerus ( continous feeder).
D. Menyukai hidup di dasar (bentik).
E. Mencari makan lewat sensor (hemoreceptor).
F. Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhalyne).

Manajemen Dasar Tambak
Pada dasarnya manajemen dasar tambak dilakukan dalam upaya melakukan sanitasi dasar tambak untuk memperluas live zone bagi udang, mengurangi senyawa-senyawa kimia yang bersifat racun bagi udang (H2S dan NH3), dan memberikan perlakuan-perlakuan untuk mendukung proses biologi di dasar tambak, sehingga dalam proses tersebut senyawa-senyawa beracun dapat dikurangi (Pribadi dkk, 2003).
Limbah tambak sebagian besar berupa bahan organik yang mudah terdegradasi diantaranya berasal dari:
Akumulasi sisa pakan
Pupuk dan bahan fermentasi
Kotoran udang dan oranisme mati seperti plankton, lumut, udang dll.
Diantara bahan organik trsebut persentase limbah yang paling besar adalah dari sisa pakan ± 90% (Pribadi dkk, 2003).
Penanganan limbah dasar tambak dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut:
Pengaturan Konstruksi Tambak
Konstruksi tambak dibuat dengan mengatur kemiringan dasar tambak yang diharapkan bisa membantu mengumpulkan kotoran / lumpur disekitar central drain dengan cara membuat selokan.
Pengaturan Tata Letak Kincir
Pengaturan ini bertujuan agar membersihkan daerah penebaran pakan (feeding area) dan mengumpulkan limbah di central drain. Adapun pengaturan tata letak kincir seperti.

Penyiponan Dasar Tambak
Penerapan Probiotik
Jika manajemen dasar tambak tidak dilaksanakan maka akan timbul kondisi tambak yang kurang baik antara lain, PT. CPB (2005), memaparkan bahwa akibat yang ditimbulkan jika dasar tambak tidak baik maka akan timbul permasalahan antara lain:
Limbah dapat menciptakan kondisi anaerob di dasar tambak yang dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah gas-gas beracun seperti NH3 dan H2S sehingga menyebabkan kematian massal udang. Limbah di dasar tambak akan meningkatkan populasi bakteri pathogen yang dapat menurunkan DO sehingga mengakibatkan kematian udang. Bakteri pathogen dapat mengakibatkan tail rot, berlumut dan insang hitam. Hal ini menyebabkan kualitas udang turun.
Limbah tambak dapat mengganggu proses panen sehingga udang banyak tertinggal di dasar tambak dan udang berbau lumpur (muddy smell).

Metode budidaya udang vannamei secara intensif
Dalam budidaya udang vannamei dikenal beberapa jenis sistem budidaya udang yaitu sistem budidaya ekstensif, semi intensif, dan intensif. Menurut Mujiman dan Suyanto (2002), dari sistem budidaya udang ketiganya memiliki beberapa perbedaan. Adapun perbedaan dari beberapa sistem budidaya seperti pada Tabel 1.

Sistem Budidaya Udang di Tambak
Perbedaan
Ekstensif
Semi intensif
Intensif
Pakan
Alami
Alami + Buatan
Pakan buatan
Pengelolaan air
Pasang surut
Pasang surut + pompa
Pompa + aerasi
Padat tebar
1.000-10.000/ha
10.000-50.000/ha
100.000-600.000/ha
Ukurantambak
3 – 20 ha
1,5 ha
0,1 – 1 ha
Produksi
100-500 kg/ha/th
500-1.000kg/ha/th
2.000 – 20.000kg/ha/th
Sumber : Mujiman dan Suyanto (2002)

Pada budidaya dengan kepadatan yang tinggi diperlukan oksigen yang lebih tinggi (di atas 3,5 mg/l). Selain cara itu, dalam budidaya udang secara intensif juga diterapkan bioteknologi semi bioflok (penebaran plankton dan bakteri pengurai). Langkah ini dilakukan untuk membantu menguraikan sisa pakan yang berlebihan di tambak (Herman, 2010).

Pengelolaan Pakan
Menurut Ghufran dan Kordi (2010), agar penggunaan pakan lebih efisien serta menjaga lingkungan hidup udang tetap optimal, maka teknik pemberian pakan terbaik perlu diterapkan. Pada prinsipnya tujuan penerapan teknik pemberian pakan adalah untuk menekan sesedikit mungkin pakan terbuang percuma, sehingga pembudidaya udang memetik keuntungan yang besar. Pakan yang digunakan dalam budidaya udang berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami seperti plankton yang dapat diproduksi di bak-bak terkontrol dan langsung didalam tambak/kolam melalui pengelolaan tambak secara tepat. Produksi plankton di bak-bak terkontrol dimaksudkan untuk menyediakan pakan dalam pembenihan, sedangkan produksi langsung di tambak/kolam adalah penyediaan pakan pada tahap pembesaran. Pakan alami juga dapat berupa pakan berukuran besar seperti ikan rucah, kerang dan sebagainya. Sedangkan pakan buatan adalah pakan yang diproduksi dengan formula tertentu, biasanya tersedia dalam bentuk tepung, serpihan, remahan dan pelet.
Jumlah dan kualitas pakan yang diberikan berkaitan dengan tingkat sistem budidaya yang diterapkan. Dalam budidaya sistem intensif yang padat penebarannya antara 20 - 40 ekor/m2 dibutuhkan pakan yang sangat banyak dengan frekuensi pemberian pakan 4 - 6 kali sehari. Sedangkan pada sistem semi intensif dengan padat penebaran 15 ekor/m2, pemberian pakan cukup 2 - 4 kali sehari.

Pengelolaan Kualitas Air
Sumber Air
Kualitas air di dalam kolam dan tambak juga sangat tergantung pada kualitas air sumber, berupa air sungai, danau, waduk, kawasan pesisir dan sebagainya. Bila tambak mendapat air sumber yang bermutu rendah, maka semakin cepat mengalami penurunan, kecuali air tersebut di treatment lebih dahulu sebelum dialirkan ke kolam maupun tambak.
Dalam budidaya udang vannamei di tambak, air sumber (air yang digunakan untuk usaha budidaya) adalah air laut di kawasan pesisir dan estuarin. Di saping itu, karena budidaya udang membutuhkan air tawar, maka air sumber yang ain adalah sungai maupun air dari sumur.(saenong, 1992)

Pengisian Air Tambak
Tambak udang intensif memerlukan kolam air yang cukup dalam. Hal ini dimaksudkan agar lingkungan air tempat hidup udang tersebut kondisinya stabil, dalam arti suhu air tidak mengalami fluktuasi yang besar dari waktu ke waktu. Suhu yang stabil hanya dapat diperoleh dengan menciptakan kolam air yang cukup dalam di dalam tambak, yaitu sekitar 120 – 150 cm. Selain itu tambak udang intensif memerlukan penggantian air dalam jumlah besar dan sesering mungkin untuk mengantisipasi tingginya sekresi serta ekskresi dari penebaran udang yang cukup tinggi. (khairul Amri dan Kanna 2008).

Penggantian Air Tambak
Pergantian air, sedapat mungkin dilakukan di sela-sela waktu antara dua pemberian pakan kepada udang, pada waktu malam. Penggantian air ini perlu menunggu dulu sampai air pasang laut sudah cukup tinggi. Kapan saat itu tiba, dapat diperkirakan berdasarkan data dalam pasang surut, terbitan Hidro Oceanografi. Penggantian air ini harus diawasi dengan ketat, agar tinggi air di tiap petakan dapat tetap.
Karena jumlah air yang dikeluarkan melalui pintu pengeluaran selalu diusahakan sama dengan yang dimasukkan melalui pintu pemasukan. Kadar garam di petakan pencampuran air dijaga agar tetap di sekitar 20 0/00. Pintu-pintu air pun dijaga jangan sampai penyaringan rusak atau kebobolan. Penggantian air diusahakan setiap malam, kalau cuaca memang mendukung. Penggantian ditunda, kalau udara sedang mendung, atau pasang air laut kebetulan tidak begitu sampai diperkirakan debit air tidak akan cukup (Soeseno, 1983).

Aplikasi Probiotik
Menurut Amri dan Kanna (2008), probiotik yang umum digunakan di tambak-tambak udang yaitu : Super PS, Biobacter, dan Super Media. Pembuatan fermentasi probiotik Super PS dan Biobacter dapat dilakukan dengan cara menyiapkan air tawar mendidih (matang) sebanyak 40 liter dicampur dengan dedak halus sebanyak 4 kg dan diaduk selama 0,5 jam kemudian didinginkan dengan aerasi kuat.
Setelah dingin, masukkan probiotik Super PS atau Biobacter type 1 sebanyak 1 liter dan biarkan selama 2 - 3 hari dengan kondisi diaerasi tetap hidup. Hasil fermentasi dapat diaplikasikan dengan diadaptasikan terlebih dahulu dengan air tambak yang digunakan (dosis 1 - 3 ppm), kemudian sebar merata ke seluruh permukaan air tambak. Sementara pembuatan fermentasi probiotik Super Media dapat dilakukan dengan cara mencampurkan 1 liter Super Media, 20 kg dedak, 10 kg saponin, 250 gram ragi tape ke dalam 50 liter air dengan kondisi tidak diaerasi. Biarkan selama 24 - 36 jam, kemudian siap diaplikasikan ke dalam tambak.

Monitoring Kualitas Air
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), kualitas air tambak terkait erat dengan kondisi kesehatan udang. Beberapa kualitas air primer yang harus selalu dipantau yaitu suhu air, salinitas air, pH air, kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen), dan amonia. Parameter-parameter tersebut akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh udang, seperti keaktifan mencari pakan, proses pencernaan, dan pertumbuhan udang seperti yang tercantum pada Tabel 1.

Tabel 2. Parameter Kualitas Air
Parameter
Metode atau Alat Uji
Waktu Uji
Angka Referensi
1
2
3
4
Fisika
1.Suhu
Termometer
Pagi dan sore hari
26 - 30 0C
2.Ph
pH meter, kertas pH
Pagi dan sore hari
7,5 - 8,5
3.Salinitas
Refraktometer
Pagi dan sore hari
15 - 30 ppt
4.Oksigen terlarut
DO meter
02.00 - 05.00
≥ 3 ppm
5.Kecerahan
Seicchi disk
Siang atau sore
≤ 30 cm
Lanjutan tabel 1.



1
2
3
4
Kimia
1.Nitrit
Test kit
Siang atau sore, 2- 3 hari sekali
≤ 0,1 ppm
2.Fosfat
Test kit
Siang atau sore, seminggu sekali
1 – 3 ppm
3.Alkalinitas
Titrasi asam-basa
Siang atau sore
≥150 ppm
4.Besi (Fe)
Test kit
2 - 3 hari sekali
≤ 1 ppm
5.H2S
Spektrofotometer
Berkala seminggu sekali
≤ 7 ppb
Biologi
Jumlah vibrio pathogen
Hitungan cawan
2 - 3 hari sekali
≤ 1.000 cfu/ml
sumber : Haliman dan Adijaya (2005)

A. Salinitas
Menurut Amri dan kanna (2008), dalam bahasa sederhana salinitas disebut sebagai kadar garam atau tingkat keasinan air. Secara ilmiah salinitas didefenisikan sebagai total padatan dalam air setelah semua karbonat dan semua nyawa organi dioksidasi, bromida dan iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya salinitas dinyatakan dalam permil (0/00) dan ada juga yang menyebutkan dalam gram per kilogram (ppt).
Untuk mengukur salinitas air tambak secara praktis dapat digunakan refraktometer atau pun salinometer. Dibanding udang jenis lain, udang vannamei menyukai air media budidaya dengan salinitas atau kadar garam lebih rendah, yaitu berkisar antara 10 – 35 0/00. Pertumbuhan yang baik (optimal) diperoleh pada kisaran salinitas 15 – 200/00.

B. Oksigen terlarut
Ketersediaan oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan udang, baik untuk kelangsungan hidup maupun untuk pertumbuhannya. Oksigen yang bisa dimanfaatkan udang adalah oksigen terlarut (dalam air). Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan udang vannamei adalah > 3 ppm dan sebaiknya diusahakan berada pada kisaran 4 - 8 ppm (mg/liter). Rendahnya kandungan oksigen terlarut didalam tambak sering terjadi pada periode musim kemarau yang tidak berangin.
Disamping itu, pada malam hari suhu menjadi rendah yang diikuti dengan meningkatnya aktivitas fitoplankton, sering mengakibatkan turunnya kandungan oksigen. Keadaan ini ditandai dengan mengambangnya udang (udang naik ke permukaan air). Untuk menanggulanginya diperlukan upaya menaikkan kandungan oksigen terlarut di dalam tambak yang dapat dilakukan dengan menggunakan aerator.
Ada dua metode penentuan oksigen terlarut yang dapat diandalkan, yaitu metode elektrometris dan metode winkler yang disebut juga metode titrasi atau metode iodometri. Metode elektrometris lebih banyak digunakan dan lebih mudah diaplikasikan di lapangan dengan menggunakan DO meter (Amri dan Kanna, 2008).
C. Suhu
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), suhu optimal pertumbuhan udang antara 26 – 32 0C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat. Imbasnya kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Itu berarti penambahan kincir air perlu dilakukan yang berarti menambah biaya produksi. Pada suhu air di bawah 25 0C, umunya terjadi saat masa-masa peralihan musim antara Juni - Agustus, udang sudah kurang aktif mencari pakan.
Langkah pertama yang harus segera dilakukan yaitu mengurangi jumlah pakan ynag diberikan untuk mencegah terjadinya overfeeding. Pada suhu di bawah 25 0C, nafsu makan udang berkurang sehingga perlu diambil solusi supaya nafsu makannya kembali membaik dan ketahanan tubuhnya meningkat. Beberapa cara yang dapat diaplikasikan yaitu penambahan atraktan (minyak ikan dan minyak cumi), imunostimulan (vitamin C dan peptidoglikan), serta pakan segar (cumi, kepeting, dan rebon). Pemberian pakan segar perlu dicermati agar tidak merusak kualitas air tambak. Pemberian pakan tidak boleh berlebiahan karena pakan yang tidak terdekomposisi akan menimbulkan senyawa berbahaya bagi kehidupan udang, seperti nitrit dan amoniak.


D. Derajat Keasamaan (pH)
Derajat keasamaan biasa disebut sebagai pH. Nilai pH yang normal untuk tambak udang berkisar antara 6 -9. Nilai pH di atas 10 dapat mematikan udang. Sedangkan pH di bawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat. Khusus untuk udang vannamei, kisaran pH yang optimum adalah 7,5 - 8,5. Untungnya, dalam budidaya udang di tambak, guncangan pH air tidak begitu mengkhawatirkan karena air laut mempunyai daya penyangga atau buffer yang cukup kuat.
Terlepas dari itu semua, karena adanya proses pembusukan dan kadar karbon dioksida yang tinggi, maka untuk mengatasi terjadinya guncangan pH perlu diusahakan penggantian air sesering mungkin dan pengoperasian aerator terutama pada pagi hari. Adapun guncangan pH yang bisa ditoleransi adalah tidak lebih dari 0,5. Pengukuran pH umumnya dilakukan dengan kertas lakmus (kertas pH) dan pH Water Tester.
Namun alat pH meter ini sulit diaplikasikan di lapangan, selain itu juga harganya relatif mahal. Meskipun demikian, kalau tersedia dana dan tenaga terlatih, penggunaan pH meter baik untuk dilakukan (Amri dan Kanna, 2008).
E. Amonia, Nitrit, dan Hydrogen Sulfida
Amonia adalah sisa buangan hasil katabolisme protein dari udang. Udang atau jenis crustacea lainya mengeluarkan amonia 40 % - 90 % dari nitrit yang diekskresi. Dalam air, amonia juga dikeluarkan oleh hasil metabolisme mikroba dari senyawa nitrogen yang dalam kadar oksigen terlalu rendah. Amonia dalam air dapat berbentuk ion (NH4+) maupun bukan ion (NH3).
Nitrit dan nitrat adalah hasil oksidasi amonia oleh proses nitritifikasi amonia dalam air. Nitrit ini sangat toksik terhadap ikan, tetapi kurang toksik terhadap udang, karena nitrit yang mengoksidasi haemoglobin menjadi bentuk met haemoglobin iini tidak dapat mengangkut oksigen. Sedangkan pada udang pigmen darahnya berbentuk haemocyanin, yang masih dapat mengangkut oksigen, sehingga dia dapat mengikat oksigen walaupun ada nitrit sebagai agen pengoksidasi.
Walaupun begitu kadar 170 mg/l nitrit dalam air dapat membunuh 50 % udang dalam tempo 24 jam.Hydrogen sulfida dalam air diproduksi oleh bakteri dari bahan-bahan organik pada kondisi tanpa oksigen (anaerobik). Hydrogen sulfida bersifat sangat toksik terhadap udang pada waktu udang mencari makanan di dasar air. Di dalam air hydrogen sulfida berbentuk ion (HS-) ataupun berbentuk molekul (H2S). Bentuk molekul tersebutlah yang toksik. Konsentrasi H2S ini sangat bergantung pada keadaan pH, suhu dan kadar garam (Darmono, 1991).
F. Kekeruhan
Menurut Amri dan Kanna (2008), tingkat kekeruhan air di tambak sangat berpengaruh pada pertumbuhan udang. Kekeruhan disebabkan oleh zat-zat atau material terlarut (tersuspensi) seperti lumpur, senyawa organik dan anorgani, serta plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan menyebabkan sinar yang datang ke air lebih banyak di hamburkan dan diserap daripada ditransmisikan. Padahal sinar yang ditransmisikan ini sangat diperlukan oleh udang dan plankton yang terdapat di dalam air.
Oleh karena itu, perlu diusahakan agar kondisi air tambak tidak terlalu keruh. Dalam praktiknya, pengukuran kekeruhan dilakukan dengan melihat tingkat kecerahan air. Di lapangan sering kali pengukuran dilakukan dengansecchi dish (keping) yang sekaligus mengukur kecerahan air. Pengukuran umumnya dilakukan siang dan sore hari. Tingkat kecerahan yang diharapkan untuk pembudidayaan udang vannamei adalah ≤ 30 cm, yang berarti tercukupinya persediaan makanan alami (plankton).
Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut Moriarty (1999), hama yang bisa ditemukan di tambak udang vanname terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu: pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), dan pengganggu. Hama merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu dan bahkan dapat mengancam kehidupan udang. Untuk itu, hama tersebut harus diantisipasi sedini mungkin agar tingginya mortalitas udang vannamei yang disebabkan oleh hama dapat ditekan serendah mungkin. Pencegahan dan penanggulangan hama dapat dilakukan dengan cara pembersihan lokasi tambak dan perbaikan konstruksi tambak termasuk memasang saringan pada pintu air. Sedangkan untuk memberantas bisa digunakan pestisida organik, misalnya saponin.
Jenis penyakit yang sering ditemukan menyerang udang Vanname di tambak akhir – akhir ini adalah Bacterial White Spot Syndrome (BWSS), Taura Syndrome Virus (TSV), Fouling Disease (FD), Black Gill Disease (BGD), dan Infectious Hypodermal Hematopoeitic Necrosis Virus (IHHNV). Beberapa kasus membuktikan bahwa penyakit tersebut belum dapat ditanggulangi secara efektif sehingga tindakan yang tepat dapat dilakukan adalah preventif (pencegahan) diantaranya manajemen kualitas air secara teratur dan kontinyu, monitoring dan pengelolaan tanah dasar tambak secara intensif, ketepatan dalam pemberian pakan, baik jumlah, waktu, frekuensi jenis, ukuran, maupun kualitas pakan, kepadatan penebaran benur dibatasi berdasarkan spesifikasi teknologi yang diterapkan, mendeteksi adanya gejala serangan pathogen baik secara fisik (manual) maupun dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) di laboratorium secara teratur (Moriarty, 1999).

Monitoring Pertumbuhan
Monitoring pertumbuhan dan populasi udang pada suatu petakan tambak dapat dilakukan dengan sampling. Biasanya alat yang dipakai adalah jala tebar. Pengambilan contoh sampel udang melalui sampling penjalaan diutamakan untuk mengetahui kesehatan dan kondisi udang, pertambahan berat harian, tingkat kelangsungan hidup, serta biomass.
Menurut Baliao dan Tookwinas (2002), bahwa kegiatan monitoring pertumbuhan dimulai saat bulan kedua pemeliharaan. Kegiatan monitoring ini dapat dilakukan menggunakan metode jaring tebar atau jala dengan interval waktu satu minggu.

Panen dan Pasca Panen
A. Panen
Panen adalah tahap akhir pemeliharaan udang di tambak. Udang biasanya dipanen setelah cukup dewasa dan berukuran maksimum untuk tidak tumbuh lagi. Ukuran udang pada waktu pemanenan ini tergantung pada pemeliharaannya. Pada pemeliharaan intensif udang dapat mencapai ukuran 350 mm pada udang windu dan 250 mm pada udang putih. Cara pemanenan itu sendiri biasanya tergantung pada sistem tambaknya. Pada tambak sitem ekstensif biasanya pemanenan dilakukan 2,5 bulan setelah penebaran benih dan dilakukan setiap hari sampai bulan ke-4 dilakukan panen besar-besaran. Pemanenan pada sistem tambak seperti ini dilakukan setiap malam tergantung jumlah yang ada di dalam tambak tradisional tersebut. Alat yang dipakai adalah bubu udang (prayang) yang dipasang berdiri di saluran keliling (mudjiman 1988).
B. Pascapanen
Menurut Darmono (1991), dalam upaya meningkatkan mutu udang untuk ekspor, harus dilakukan pula peningkatan pengetahuan teknologi pasca panen. Peningkatan mutu ini sangat penting untuk menghindari penolakan pembeli, dalam hal ini negara pengimpor. Hal tersebut pernah terjadi pada tahun 1981, ketika sekitar 86 % udang beku yang diekspor ke Jepang ditolak , kemudian pada tahun 1983, sekitar 25 ton dari 40 ton udang asal Kalimantan Timur dimusnahkan. Keadaan ini sangat memprihatinkan pengusaha udang di Indonesia, sehingga upaya peningkatan mutu perlu terus dilakukan melalui sarana penelitian yang tersedia dan terarah.
Irianto (1987), melaporkan mengenai cara-cara pengawetan udang setelah dipanen/ditangkap yaitu dengan cara :
a. Pendinginan langsung (didalam kapal pada penagkapan udang di laut).
b. Pendinginan dengan es, yaitu disimpan dalam es yang mampu bertahan sekitar 4 - 6 hari.
c. Pendinginan dengan air dingin, dapat bertahan sekitar 4 - 6 hari.Cara penyimpanan tersebut akan dapat menjamin kualitas udang sampai di tempat pengemasan atau cold storage.Selain pendinginan, cara lain untuk memperlama waktu simpan, yaitu dengan pencelupan pada larutan bahan kimia untuk membunuh bahan bakteri pembusuk (Salmonella, Vibrio, Staphylococcus).
Sumber : ridho ilfiansyah ; http://pemudasukaberbagi.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar