Patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar asli Indonesia yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya khas, enak, lezat dan gurih sehingga digemari oleh masyarakat. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging hewan ternak. Selain itu ikan patin memilki beberapa kelebihan lain, yaitu ukuran per individunya besar dan di alam panjangnya bisa mencapai 120 cm. Ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek menguntungkan karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk dibudidayakan. Ikan ini cukup responsif terhadap pemberian makanan tambahan (Lina, 2010).
Ikan patin (Pangasius sp) di Indonesia terdapat 14 spesies, namum Pangasianodon hypopthalmus yang berasal dari Thailand merupakan satu-satunya yang dibudidayakan di Indonesia. Dalam rangka memanfaatkan keanekaragaman hayati ikan air tawar Indonesia, khususnya potensi spesies ikan patin lokal untuk budidaya, sejak tahun 1996 telah dilakukan penelitian kerja sama dengan Uni Eropa. Dimana spesies ikan patin Pangasius djambal bleker (1846) telah menjadi calon komoditi budidaya baru karena potensi ukurannya yang besar (bisa mencapai lebih dari 20 kg/ekor), penyebaran geografisnya yang luas serta popularitasnya diantara konsumen jenis ini di Sumatera dan pulau-pulau lain di Indonesia. Evaluasi budidaya secara teknis menunjukkan banyak keunggulan yang bernilai lebih bagi akuakultur sedangkan sosialisasi pembudidayaan jenis ini telah dilakukan pada tahun 1997 (Risna, 2011).
Dewasa ini apabila diperhatikan sudah banyak restoran yang menyajikan menu makanan utama berupa ikan patin bakar/goreng. Untuk memenuhi kebutuhan pasokan ikan tersebut tidak dapat hanya dipenuhi dari hasil tangkapan diperairan umum, sehingga perlu adanya pembudidayaan secara intensif. Apabila ditinjau dari aspek pembudidayaan, teknologi budidaya ikan patin relatif telah dikuasai. Ketersediaan benih yang semula dianggap sebagai kendala, namun sekarang telah banyak pembenih baik perorangan maupun perusahaan yang berhasil memproduksi benih ikan patin. Beberapa keunggulan komparatif budidaya ikan patin adalah bahwa ikan patin ukuran individunya cukup besar, pemakan segalanya dan dapat bertoleransi terhadap kondisi perairan yang kurang menguntungkan seperti kondisi oksigen terlarut (02) rendah serta dapat bertoleransi pada pH 3-4. Demikian juga ikan patin mau mengkonsumsi makanan buatan atau pakan yang beredar di pasaran sebagai makanannya (Sudiyono, 2010).
Perawatan budidaya ikan patin terbilang lebih mudah dibandingkan budidaya lele, bahkan pakan ikan patin dapat memanfaatkan limbah rumah tangga yg tidak mengandung minyak. Disamping itu kemampuan ikan patin untuk berproduksi juga cukup tinggi, seekor induk yg subur dapat bertelur 200.000 butir telur setiap 6 bulan sekali. Dalam menjalankan usaha budidaya ikan patin, yang sering menjadi kendala adalah munculnya jamur dan bakteri yg menyebabkan turunnya kualitas ikan. Biasanya untuk mencegahnya para petani patin menjaga sanitasi air, dan mengurangi pemberian pakan yg terlalu banyak. Selain itu suhu yg terlalu dingin juga berpengaruh buruk bagi perkembangan telur patin, oleh karena itu para petani memasang heater atau menyimpan akuarium inkubasi di dalam ruangan agar terhindar dari suhu ekstrim. Sedangkan bagi ikan patin yg sudah cukup besar, kendalanya adalah persediaan pakan cacing sutera yg masih kurang (Marganof, 2005).
Usaha kearah pembudidayaan ikan di perairan umum sangat diperlukan, hal ini disebabkan oleh lajunya pertambahan jumlah penduduk dan sempitnya areal tanah yang sebagian besar digunakan warga sebagai wilayah pemukiman perkebunan dan pertanian sehingga terjadi penyempitan lahan untuk budidaya ikan. Untuk mengatasi masalah tersebut, budidaya ikan dalam keramba jaring apung di perairan umum adalah alternatif yang sangat tepat dan lebih efektif. Selain itu, upaya budidaya ikan juga sebagai penyeimbang dan membantu pemenuhan produksi ikan yang selama ini diperoleh dari hasil penangkapan yang cenderung semakin menurun. Hal ini tidak diimbangi dengan usaha budidaya dan penebaran ikan (restocking) yang akan mengakibatkan terganggunya kelestarian sumber daya perairan. Seiring dengan berkembangnya zaman dan meningkatnya pertambahan penduduk yang diiringi dengan semakin meningkatnya kebutuhan protein hewani oleh manusia setiap tahunnya, maka perlu peningkatan produksi ikan sebagai salah satu sumber pangan dan sumber protein (Harbowo, 2011)
Keramba jaring apung adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laut, selat, sungai dan teluk. Berbagai komoditi perikanan dapat dibudi dayakan pada media ini, terutama kegiatan pembesaran dan pendederan. Sampai saat ini kegiatan pembesaran ikan patin secara komersial menggunakan keramba jaring apung pada perairan umum masih tergolong sedikit. Sedangkan potensi untuk kegiatan budidaya ikan air tawar di perairan umum peluangnya masih terbuka lebar. Tingkat permintaan konsumen akan ikan ini juga tidak pernah turun bahkan sebaliknya cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk (Lina, 2010).
Kegiatan pembesaran ikan tujuan utamanya mengaharapkan hasil produksi yang akan didapat bisa maksimal, namun berbagi faktor yang sering menjadi hambatan bagi pembudidaya sehingga usaha yang dilakukan tidak sesuai dengan keinginan atau target produksi menurun. Usaha pembesaran tidak mengalami perkembangan akibat masih kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan informasi teknis pembudidaya seperti padat penebaran, teknik pemberian pakan, perawatan dan pegontrolan keramba serta pegendalian hama penyakit. Faktor lingkungan tempat dilangsungkannya usaha pembesaran terutama parameter kualitas air juga sangat dipertimbangkan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Perlu adanya informasi teknis pembesaran ikan patin dalam keramba jaring apung sehingga produksi ikan dapat ditingkatkan (Anto, 2008).
PEMILIHAN LOKASI BUDIDAYA
Menurut Arnelli (2010), pemilihan lokasi yang tepat dan benar memegang peranan yang sangat penting dalam keberhasilan budidaya ikan patin. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam penentuan lokasi meliputi dua faktor yakni faktor teknis dan faktor sosial-ekonomi.
Faktor Teknis
Faktor teknis merupakan faktor yang mempengaruhi secara langsung keberhasilan atau kegagalan terhadap kegiatan teknis budidaya, misalnya lokasi budidaya (kedalaman KJA), sumber air, limbah, dan kualitas air.
1. Arus Air
Arus air berguna untuk mensuplai oksigen ke dalam KJA dan membuang kotoran keluar KJA. Di perairan yang bebas (tidak terlindung) arus air mungkin lebih baik, tetapi tempat ini harus dihindari karena sewaktu terjadi angin ribut, arus akan terlalu tinggi yang dapat berakibat rusaknya bangunan KJA. Arus air yang baik adalah yang memungkinkan air didalam KJA berganti selama 30-60 detik.
2. Pasang Surut dan kedalaman Perairan
Pasang surut dan kedalaman perairan perlu diperhitungkan, yakni sewaktu surut, dasar perairan tidak kurang dari 0,5 m dari dasar jaring. Kedalaman air lebih dari 6 m ideal bagi KJA (kedalaman > 3m saat surut terendah dari dasar jaring).
3. Kualitas Air
Kualitas air atau mutu air yang akan digunakan untuk memelihara ikan di KJA harus diperhatikan. Dengan kualitas air yang baik, maka ikan patin akan hidup dan tumbuh dengan baik. Kualitas air disesuaikan komoditi yang dibudidayakan.
4. Gelombang dan Arus Laut
KJA komoditi air laut lebih baik memilih lokasi pada daerah teluk untuk menghindari gelombang dan arus besar. Selain itu juga dihindari jalur pelayaran dan dijauhkan dari muara sungai (gelombang < 1m dan arus 0,2-0,5 m/dtk).
5. Bukan daerah up-welling.
6. Bebas pencemaran (industri dan rumah tangga).
7. Curah hujan yang rendah.
Aspek Sosial-Ekonomi
Dalam memilih lokasi KJA perlu diperhatikan juga aspek sosial ekonomis, karena dalam membudidayakan ikan di KJA secara komersil dibutuhkan dana investasi yang tidak sedikit.
1. Mudah memperoleh sarana dan parasarana.
2. Tersedia SDM yang memadai.
3. Lokasi mudah dijangkau.
4. Tidak terlalu jauh dari sumber pakan, benih, sarana produksi dan daerah pemasaran.
5. Selain itu lokasi KJA sebaiknya mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, seperti jalan darat, alat-alat komunikasi dan angkutan air.
6. Lokasi juga bukan merupakan lokasi perlindungan
Di beberapa perairan umum ada lokasi-lokasi tertentu yang tidak boleh diganggu karena tempat itu digunakan ikan setempat untuk berkembang biak. Karena adanya perkembangan budidaya ikan dan lingkungan sekitarnya, mungkin didapatkan keadaan yang kurang baik pada lokasi yang ada
PERSIAPAN BUDIDAYA
Penyiapan Keramba Jaring Apung
Keramba Jaring Apung
Menurut Marganof (2005), susunan utama bangunan KJA adalah jaring, pelampung rakit, kerangka atau titian serta jangkar dan pemberat jaring. Setelah KJA digunakan dengan berkali-kali maka bangunan KJA tersebut akan mengalami penurunan fungsi yang lebih lanjut dapat berakhir dengan kerusakan. Demikian pula lokasi KJA bisa mengalami penurunan kualitas air yang disebabkan penumpukan kotoran di dasar perairan. Dalam penyiapan bangunan KJA dilakukan pemeriksaan terhadap beberapa bagian KJA yang dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan bila dijumpai penurunan fungsi, seperti berikut ini:
1. Jaring atau Wadah
Didasarkan atas fungsinya jaring ada 2 macam, yaitu jaring utama dan jaring pengaman. Jaring utama digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan, sedangkan jaring pengaman, yang ditempatkan di luar jaring utama, berfungsi untuk mengamankan ikan agar tidak terlepas ke perairan bebas, ketika jaring utama mengalami kerusakan (bocor atau jebol). Bahan jaring yang umum digunakan poliethylene. Bahan lain adalah kawat yang berbungkus plastik. Satu jaring pengaman melindungi beberapa jaring utama, bergantung ukuran jaring utama. Umumnya untuk panjang dan lebar masing-masing 7 m, satu jaring pengaman dapat melindungi beberapa jaring utama, bergantung ukuran jaring utama. Umumnya untuk masing-masing jaring utama yang berukutan panjang dan lebar masing masing 7 m, satu jaring pengaman memuat 4 jaring utama.
Wadah Budidaya
Setelah digunakan berkali-kali jaring akan mengalami penurunan fungsi. Yang paling cepat terjadi adalah jaring menjadi kurang lancar dilalui air, padahal kelancaran aliran air sangat penting bagi pasokan oksigen ke dalam wadah serta pembuangan kotoran ikan. Penyebabnya adalah tumbuhnya lumut yang hidup menempel pada jaring dan memperkecil lubang (mesh size) jaring. Penurunan fungsi yang lain adalah jaring mengalami pelapukan, yang ditandai dengan terlihatnya beberapa helai benang yang terputus. Keadaan ini jika dibiarkan suatu saat akan diikuti dengan kebocoran, terutama ketika jaring mengalami tekanan berat ikan, ketika berlangsung pemanenan. Untuk memperbaiki hal di atas, maka sebelum jaring digunakan kembali dilakukan pembersihan jaring dengan sikat yang diikuti dengan penjemuran.
2. Pelampung Rakit
Pelampung rakit berfungsi sebagai pengapung kerangka rakit atau sebagai tumpuan rakit dan jaring. Oleh karena itu pelampung rakit harus memiliki daya apung yang tinggi dan tidak mudah rusak. Sedangkan pelampung yang biasanya digunakan antara lain berupa batang bambu, batang kayu, styrofoam dan drum. Kerusakan tidak serentak terjadi pada seluruh pelampung yang ada pada bangunan KJA tersebut. Pada pelampung yang rusak bagian yang mengapung lebih sedikit dibanding dengan pelampung yang normal, sehingga bangunan KJA terlihat menjadi miring. Jika diamati lebih lanjut maka dapat dilihat penyebabnya yaitu adaya kebocoran pada drum atau keretakan pada bambu atau kayu. Jika tingkat kerusakan itu masih rendah maka perbaikan bisa dilakukan dengan memutar kedudukan bagian yang bocor/retak menjadi tidak lagi terendam air.
Pelampung Rakit
3. Kerangka rakit atau titian
Kerangka rakit berfungsi sebagai tempat menggantungkan jaring dan tumpuan jalan/titian pada saat penebaran benih, pemberian pakan dan kegiatan lainnya. Kerangka ini juga yang merentangkan kantung jaring menjadi bentuk persegi atau lingkaran. Sehingga kerangka rakit harus memiliki bahan dasar yang kuat, yang mampu menahan beban berat orang dan yang lainnya. Bahan yang biasa digunakan sebagai kerangka rakit antara lain adalah batang bambu, kayu, besi siku dan pipa. Kerusakan yang terjadi umumnya karena bahannya melapuk atau pecah-pecah (pada papan, kaso atau bambu) dan berkarat (pada besi). Walaupun demikian masa pakainya bisa diperpanjang dengan perawatan, misalnya mencat ulang. Jika kerusakan terlalu parah, maka bahan tersebut harus diganti.
4. Jangkar atau pemberat
Jangkar berfungsi untuk menahan rakit agar tidak mengalami perpindahan dari lokasi budidaya yang diinginkan. Pemberat rakit yang digunakan adalah jangkar besi, beton, batu atau dapat berupa pasak besi ataupun pasak kayu. Pemberat jaring berfungsi untuk memberikan bentuk yang sempurna pada jaring sehingga daya tampung jaring menjadi maksimal. Pemberat jaring yang biasa digunakan adalah berupa beton, batu dan batang besi.
5. Penyediaan Benih Patin
Pembenihan adalah suatu kegiatan pemeliharaan ikan yang bertujuan untuk menghasilkan larva atau benih berukuran 1 inci/ekor. Benih yang dihasilkan dapat dipelihara lebih lanjut pada kegiatan pendederan atau dijual bila ada permintaan. Satuan produksi pembenihan ikan patin adalah jumlah (ekor), sedangkan ukuran benih patin dinyatakan dalam panjang (inci = 2.5 cm). Kegiatan usaha pemeliharaan induk, pemilihan/seleksi induk, teknik pemijahan patin, penetasan telur, pemeliharaan larva, hingga benih siap didederkan lebih lanjut. Benih untuk kegiatan pendederan minimal berukuran 3/4 inci/ekor. Untuk mencapai benih ukuran tersebut, dibutuhkan waktu pemeliharaan selama 21-30 hari. Namun, banyak juga petani pembenih yang khusus memproduksi larva patin umur 1 hari dari telur menetas untuk selanjutnya dijual. Pembenihan patin dilakukan dengan system kawin suntik dan pebuahannya dilakukan secara buatan,yakni dengan menyuntikkan hormon perangsang (HCG dan ovaprim) (Yuliartati, dkk., 2011).
Setelah induk patin disuntuk, telur dan sperma dikeluarkan dari induk dengan cara distreeping atau diurut. Selanjutnya, telur dan sperma ditampung dan dicampurkan dalam suatu wadah (mangkok) sampai terjadi pembuahan. Proses penetasan telur dilakukan dalam wadah khusus berupa corong tetas, akuarium dan hapa. Sedangkan pemeliharaan larva dilakukan di bak fiberglass, akuarium dan bak terpal plastik. Wadah tersebut selanjutnya ditempatkan di dalam ruangan tertutup, terlindung dan terkontrol seperti hatchery atau yang dirancang sendiri. Intinya, tempat penetasan telur dan pemeliharaan larva harus terlindung daripengaruh hujan, angin, perubahan suhu yang drastis, cuaca dan terhindar dari hama predator. Tingkat keberhasilan dalam pembenihan patin sangat tergantung dari pemahaman pelaksanaan di lapangan dalam mengoptimalkan teknologi pembenihan yang digunakan (Anto, 2008).
Pemberian pakan larva yang efektif adalah pada saat 30 jam setelah telur menetas. Pemberian pakan pada larva patin dilakukan secara bertahap, yaitu dimulai pada saat kuning telur (yolk) mulai habis, selanjutnya diberi pakan telur Artemia sp. sampai larva berumur 7 hari. Larva berumur 7-15 hari kemudian diberi pakan cacing sutera atau Tubifex sp. dan larva berumur 15-30 hari diberi pakan pellet berbentuk tepung dengan kandungan protein minimal 40%. Kegiatan usaha pembenihan mempunyai waktu perputaran modal lebih cepat dibandingkan dengan usaha pembesaran karena biaya operasional dan invetasi yang dikeluarkan dalam kegiatan pembenihan lebih murah dibandingkan biaya dalam pembesaran. Masa pemeliharaannnya juga relatif singkat. Jika dibandingkan dengan usaha pembesaran, usaha pembenihan lebih banyak membutuhkan ketekunan, kejelian dan ketrampilan dari pembudidaya (Sudiyono, 2010).
Prasarana Budidaya
Menurut Harbowo (2011), adapun prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan budidaya ikan patin adalah sebagai berikut:
1) Kolam pemeliharaan induk
Luas kolam tergantung jumlah induk dan intensitas pengelolaannya. Sebagai contoh untuk 100 kg induk memerlukan kolam seluas 500 meter persegi bila hanya mengandalkan pakan alami dan dedak. Sedangkan bila diberi pakan pelet, maka untuk 100 kg induk memerlukan luas 150-200 meter persegi saja. Bentuk kolam sebaiknya persegi panjang dengan dinding bisa ditembok atau kolam tanah dengan dilapisi anyaman bambu bagian dalamnya. Pintu pemasukan air bisa dengan paralon dan dipasang sarinya, sedangkan untuk pengeluaran air sebaiknya berbentuk monik
2) Kolam pemijahan
Tempat pemijahan dapat berupa kolam tanah atau bak tembok. Ukuran/luas kolam pemijahan tergantung jumlah induk yang dipijahkan denga n bentuk kolam empat persegi panjang. Sebagai patokan bahwa untuk 1 ekor induk dengan berat 3 kg memerlukan luas kolam sekitar 18 m2 dengan 18 buah ijuk/kakaban. Dasar kolam dibuat miring kearah pembuangan, untuk menjamin agar dasar kolam dapat dikeringkan. Pintu pemasukan bisa dengan pralon dan pengeluarannya bisa juga memakai pralon (kalau ukuran kolam kecil) atau pintu monik. Bentuk kolam penetasan pada dasarnya sama dengan kolam pemijahan dan seringkali juga untuk penetasan menggunakan kolam pemijahan.
3) Kolam pendederan
Bentuk kolam pendederan yang baik adalah segi empat. Untuk kegiatan pendederan ini biasanya ada beberapa kolam yaitu pendederan pertama dengan luas 25-500 m2 dan pendederan lanjutan 500-1000 m2 per petak. Pemasukan air bisa dengan pralon dan pengeluaran/ pembuangan dengan pintu berbentuk monik. Dasar kolam dibuatkan kemalir (saluran dasar) dan di dekat pintu pengeluaran dibuat kubangan. Fungsi kemalir adalah tempat berkumpulnya benih saat panen dan kubangan untuk memudahkan penangkapan benih. dasar kolam dibuat miring ke arah pembuangan.
Referensi :
- Arnelli. 2010. Pemberian pakan ikan Budidaya Air Tawar dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan Perairan . Jurnal Kimia Sains. Volume. XIII, nomor 2. Laborarium Kimia Fisik. Jurusan Kimia Fakultas Mipa. Universitas Diponegoro, Semarang.
- Anto, K. 2008. Agribisnis Patin. Fakultas FMIPA. Jurusan Biologi. Universitas Brawijaya, Malang.
- Harbowo, D. G. 2011. Pengaruh Limbah Cair Perawatan Candi Borobudur Terhadap Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus Caprio). Program Studi Jurusan Biologi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
- Lina, 2010. Teknik Budidaya Ikan Patin Dalam Skala terkontrol. [DISERTASI] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Studi Manajemen Suberdaya Perairan. Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
- Marganof, E. 2005. Pengaruh pembuangan limbah terhadap kualiatas Perairan Danau Maninjau. [SKRIPSI] Fakultas FMIPA. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
- Maskuro, A., Arizal, I. P., Ani, M. A., Corina, O., Nur, I. N. S dan Mega, W. 2012. Penyesuaian Hewan Poikilotermik terhadap Oksigen Lingkungan. Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan Mipa. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah, Jember.
- Risna. 2011. Budidaya Ikan Patin (Pangasius djambal) dengan memperhatikan aspek lingkungan dan Ketersediaan Pakan Alami. Fakultas Pertanian, jurusan Budidaya Universitas Setia Budi, Jakarta.
- Sudiyono, M. 2010. Sistem Pernafasan Ikan Patin. [MODUL]. Fakultas Pertanian. Program studi manajemen Sumberdya Perairan. Universitas Sriwijaya, Palembang.
- Yanto, H. 2012. Kinerja MS-222 dan Kepadatan Ikan Botia (Botia macracanthus) yang Berbeda Selama Transportasi. Jurnal Penelitian Perikanan. Volume I, nomor 1 : 43-51. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNMUH, Pontianak.
- Yuliartati, E. Tingkat Serangan Ektoparasit Pada Ikan Patin (Pangasius Djambal) Pada Beberapa Pembudidaya Ikan Di Kota Makassar. 2011. [SKRIPSI] Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Program Studi Budidaya Perairan. Jurusan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
BalasHapushanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
terimakasih ya waktunya ^.^