Beternak lele bukanlah hal yang baru dilakukan di negeri ini termasuk di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Sejak beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi dalam berbudidaya ikan lele cukup banyak dan beragam dihadirkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sebut saja, mulai dari sistem kolam terpal hingga sistem bioflok. Tujuannya tak lain untuk memberi kemudahan bagi si pembudidaya baik dari segi biaya produksi, pemeliharaan hingga produksi ikan yang dihasilkan nantinya. Namun, inovasi yang dilakukan dua pria Batak ini, yakni Andro Simaremare dan Wilmar Aritonang, cukup mengesankan. Kelihatannya tidak jauh berbeda dengan sistem budidaya pada kolam terpal. Bahkan, SuaraTani.com sempat terkecoh dan menyangka bahwa budidaya lele yang mereka lakukan adalah sistem terpal, hanya beda pada plastiknya. Kalau terpal, pakai plastik berwarna biru dengan kerangka kayu. Sedangkan yang dilakukan Andro dan Wilmar menggunakan plastik tebal transparan dengan kerangka baja ringan
Namun, apa yang disangkakan itu salah telak. Menurut kedua pria itu, budidaya lele yang mereka lakukan adalah sistem ABS, aqua bio system, yang sekilas prinsip kerjanya mirip dengan terpal tetapi sesungguhnya sangat berbeda jauh.
Menurut Wilmar, yang didaulat menangani budidaya, sistem ABS ini lebih pada kepadatan benih ikan lele yang ditabur dalam satu kolam. Kemudian, teknologi pengaturan air dan teknologi dalam pemberian pakan. Dalam satu kolam, kata dia, benih ikan yang ditebar sebanyak 4.000 ekor dengan ukuran benih berkisar 10 cm. Sementara ukuran kolam 1,5 x 3,5 x 0,5 meter kubik (lebar x panjang x tinggi).
“Awalnya banyak orang nggak menyangka dan tak percaya dengan ukuran kolam seperti itu mampu menampung ikan berkisar 4.000 ekor. Tapi, itulah kenyataannya,” kata Andro, kepada SuaraTani.com, saat berkunjung ke lokasi budidaya lelenya di Jalan Berdikari, Medan.
Di lokasi itu ada 47 kolam dengan ukuran yang sama. Dan, masing-masing kolam berisi ikan kurang lebih 4.000 ekor. Tapi ada satu kolam mereka gunakan untuk ujicoba budidaya ikan gurame. Jumlahnya berkisar 300 ekor.
Namun, menurut Andro, budidaya lele yang mereka lakukan tidak hanya di Jalan Berdikari saja, tapi ada satu lokasi lagi di Jalan Irigasi, Padang Bulan, Medan.
“Di sana ada 20 kolam dengan ukuran yang sama. Semuanya ikan lele,” kata Andro.
Menurut Andro, kegiatan budidaya lele ini baru saja mereka tekuni, sekitar tiga bulan lalu. Akan tetapi, untuk memulai budidayanya berkisar 2,5 bulan lalu.
“Jadi, dua minggu persiapan pembuatan kolam. Yang mana tiap kolam dilengkapi pipa atau selang sebagai alat pengatur air. Untuk air masuk dan air keluar,” terang Wilmar.
Teknik Budidaya
Andro (memberi makan) dan Wilmar (kiri), memberi penjelasan tentang budidaya ikan lele dengan metode ABS kepada pengunjung di lokasi budidaya lele mereka, di Jalan Berdikari Medan. suaratani.com - junita sianturi
Menurut Wilmar, beternak lele dengan sistem aqua bio system (ABS) jauh lebih hemat dan mudah dibanding sistem budidaya konvensional, terpal maupun bioflog, dengan tingkat keberhasilan berkisar antara 80 – 90 persen. Dengan kata lain, tingkat kematian ikan selama proses budidaya berlangsung berkisar 10-20 persen.
Dikatakan Wilmar, dari plastik kolam yang bening atau transparan, peternak diuntungkan dalam melakukan pengontrolan ikan. Ikan dapat dilihat dari luar kolam. Kemudian, sinar matahari lebih banyak masuk ke dalam kolam. Selain itu, kualitas air dapat dengan mudah dilihat.
“Kalau airnya sudah terlalu kotor atau kadar amoniaknya tinggi (efek pakan pellet), dapat segera terdeteksi untuk kemudian kita ganti,” jelasnya.
“Dari kondisi kolam seperti ini, kita sudah banyak diuntungkan dan dimudahkan. Kemudahan kita dalam pengontrolan ikan, membuat tingkat kematian ikan menjadi rendah,” kata Wilmar lagi.
Pemuda berusia 24 tahun ini, lebih jauh mengatakan, dengan teknologi ABS penggunaan pakan juga lebih hemat. Selain penggunaan pellet, Andro dan Wilmar juga memanfaatkan plankton yang mereka hadirkan secara alami ditambah penggunaan pakan alternatif, seperti daun pepaya maupun daun singkong.
Sistem ABS ini, kata Wilmar, dapat menghemat penggunaan air. Dimana, air yang mereka gunakan untuk satu kolam hanya berkisar 35 cm sementara bila dibandingkan dengan kolam terpal biasanya penggunaan airnya berkisar 50 cm.
“Tebar padat ini tidak membuat ikan merasa sesak atau kekurangan oksigen, tetapi hanya membatasi ruang gerak ikan tersebut. Sejauh ini, tingkat kematian relatif rendah, hanya berkisar 10 persen saja,” ujarnya.
Wilmar lebih jauh menjelaskan, dengan sistem ABS dalam budidaya lele, masa panen atau umur panen juga lebih singkat dibanding konvensional, selain itu rasa ikan juga lebih manis dengan warna kulit ikan lebih cerah.
“Minggu depan kami sudah bisa panen. Kalau sekarang umur lele ini masih 2,5 bulan, tapi ukurannya sudah ada yang 15 ekor per kilogram. Jadi, minggu depan sudah bisa 10 ekor per kg. Dengan estimasi produksi di atas 300 kg per kolam,” jelasnya.
Setiap hari kata Wilmar, mereka melakukan seleksi terhadap ikan-ikan lele ini. Karena, sama seperti makhluk hidup lainnya, lele juga memiliki pertumbuhan yang berbeda tiap ekornya. Ada yang cepat dan ada juga yang lambat pertumbuhannya.
“Inilah yang kita seleksi, masing-masing kolam memiliki ukuran ikan yang seragam. Kalau kita biarkan ikan yang pertumbuhannya lambat, bisa-bisa ikan yang kecil itu dimangsa lele yang besar. Lele inikan kanibal juga,” jelasnya tersenyum.
Permintaan Kolam Banyak
Pekerja sedang menggunting plastik untuk membuat kolam ikan lele ABS. suaratani.com – junita sianturi
Ide memelihara ikan lele ini, menurut Andro Simaremare bermula dari teman mereka yang ada di Pematangsiantar, yang telah lebih dulu melakukan budidaya lele.
Belajar dari mereka baik dalam pembuatan kolam, sampai dengan teknik budidaya. Menganggap mudah dan prospek yang menjanjikan, Andro dan sepupunya Wilmar sepakat untuk memulai usaha tersebut.
“Kami buat sendiri kolamnya dengan dibantu pekerja yang sudah ahli di bidangnya. Untuk satu kolam biaya produksi yang sudah kami investasikan berkisar Rp 4 juta. Biaya itu sudah termasuk satu unit kolam, benih ikan lele sebanyak 4.000 ekor ukuran 10 cm, pakan dan vitamin,” jelasnya.
Menurut Wilmar, kolam yang mereka buat bisa bertahan antara tiga hingga lima tahun. Lebih lama dibanding terpal biasa yang hanya bisa bertahan satu atau dua tahun.
Dengan kata lain, investasi budidaya lele dengan metode ABS jauh lebih hemat dan menguntungkan.
“Banyak yang sudah datang ke lokasi kami untuk melihat dan belajar. Karena orang tidak percaya, ukuran kolam yang hanya 1,5 x 3,5 x 0,5 meter kubik ini dapat menampung 4.000 ekor ikan,” jelasnya.
Dari hasil kunjungan mereka kemari, kata Wilmar, banyak yang tertarik dan memesan kolam.
“Meski kami belum panen ikan secara massal, tapi permintaan Kolam sudah lumayan. Kami menjualnya Rp 1,5 juta untuk satu kolam dengan ukuran yang sama dengan kolam kami,” kata Andro.
Terhadap pemasaran lele ini, Andro yang didaulat sebagai marketing, mengatakan, selain pasar tradisional, rumah makan, pihaknya juga akan menyasar ibu-ibu rumah tangga.
Namun, pihaknya juga sedang memikirkan pemasaran yang berbeda apakah dari segi kemasan atau lainnya, untuk membedakan bahwa lele yang mereka produksi tidak sama dengan budidaya lele yang lainnya.
“Jelas, lele yang kita produksi jauh lebih baik,” aku kedua pria millenial tersebut dengan yakin.*
Referensi :
Junita sianturi, 2019; https://suaratani.com/news/liputan-khusus/selain-hemat-pakan-ini-kelebihan-budidaya-lele-aqua-bio-system-ala-andro-wilmar
Ide memelihara ikan lele ini, menurut Andro Simaremare bermula dari teman mereka yang ada di Pematangsiantar, yang telah lebih dulu melakukan budidaya lele.
Belajar dari mereka baik dalam pembuatan kolam, sampai dengan teknik budidaya. Menganggap mudah dan prospek yang menjanjikan, Andro dan sepupunya Wilmar sepakat untuk memulai usaha tersebut.
“Kami buat sendiri kolamnya dengan dibantu pekerja yang sudah ahli di bidangnya. Untuk satu kolam biaya produksi yang sudah kami investasikan berkisar Rp 4 juta. Biaya itu sudah termasuk satu unit kolam, benih ikan lele sebanyak 4.000 ekor ukuran 10 cm, pakan dan vitamin,” jelasnya.
Menurut Wilmar, kolam yang mereka buat bisa bertahan antara tiga hingga lima tahun. Lebih lama dibanding terpal biasa yang hanya bisa bertahan satu atau dua tahun.
Dengan kata lain, investasi budidaya lele dengan metode ABS jauh lebih hemat dan menguntungkan.
“Banyak yang sudah datang ke lokasi kami untuk melihat dan belajar. Karena orang tidak percaya, ukuran kolam yang hanya 1,5 x 3,5 x 0,5 meter kubik ini dapat menampung 4.000 ekor ikan,” jelasnya.
Dari hasil kunjungan mereka kemari, kata Wilmar, banyak yang tertarik dan memesan kolam.
“Meski kami belum panen ikan secara massal, tapi permintaan Kolam sudah lumayan. Kami menjualnya Rp 1,5 juta untuk satu kolam dengan ukuran yang sama dengan kolam kami,” kata Andro.
Terhadap pemasaran lele ini, Andro yang didaulat sebagai marketing, mengatakan, selain pasar tradisional, rumah makan, pihaknya juga akan menyasar ibu-ibu rumah tangga.
Namun, pihaknya juga sedang memikirkan pemasaran yang berbeda apakah dari segi kemasan atau lainnya, untuk membedakan bahwa lele yang mereka produksi tidak sama dengan budidaya lele yang lainnya.
“Jelas, lele yang kita produksi jauh lebih baik,” aku kedua pria millenial tersebut dengan yakin.*
Referensi :
Junita sianturi, 2019; https://suaratani.com/news/liputan-khusus/selain-hemat-pakan-ini-kelebihan-budidaya-lele-aqua-bio-system-ala-andro-wilmar
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*deV
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.