Rabu, 26 Mei 2021

Vaksinasi Ikan - Imunostimulasi pada Hewan Akuatik

Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia berlangsung demikian pesatnya melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Kondisi ini tentunya akan memperbesar peluang berjangkitnya wabah penyakit ikan yang menimbulkan kerugian ekonomis. Rijkers (1981) menyebutkan, bahwa patogen selalu ada dalam media hidup ikan. Karenanya masalah penyakit infeksi sewaktu-waktu dapat timbul dalam kegiatan perikanan budidaya dan bahkan pada ikan-ikan di perairan umum.
Di Indonesia, pernah terjadi beberapa wabah penyakit yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi; misalnya pada tahun 1980-an terjadi wabah penyakit bercak merah pada ikan budidaya air tawar, pada awal 1990-an penyakit MBV (monodon baculovirus) mewabah di pertambakan udang windu. Bahkan, hingga saat ini penyakit white spote masih merupakan kendala yang belum dapat diatasi dalam proses produksi udang windu (Penaeus monodon) baik di pembenihan maupun di tambak pembesaran.

Pengendalian perluasan penyakit harus dilakukan sedini mungkin, agar tidak terjadi wabah penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan pemakaian bahan kimia, namun pemakaiannya untuk jangka panjang dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak ini bukan saja terhadap lingkungan perairan dan patogen-patogen yang menjadi resistensi, bahkan terhadap kesehatan konsumen dan antara lain berupa adanya residu antibiotik.

Untuk menghindari hal itu, pengembangan ketahanan tubuh perlu dilakukan dengan imunosti- mulasi (imunisasi—vaksinasi) dan pemakaian imunosti-mulan yang ramah lingkungan. Secara laboratoris dan pada aplikasi lapangan terbatas, imunostimulasi dapat meningkatkan sintasan hidup ikan budidaya (Gina1997; Alifuddin 1999; Alifuddin et al. 2001a, 2001b).

Dasar Imunostimulasi
Mori (1990) mengemukakan, bahwa respon imunitas pada hewan merupakan upaya proteksi terhadap infeksi maupun preservasi fisiologik homeostasi. Respon imunitas hewan akuatik terdiri dari respon non spesifik dan spesifik baik pada ikan (Corbel,1975) maupun pada udang (Itami 1994; Bechère 2000). Karenanya, memori, spesifitas dan pengenalan zat asing merupakan dasar mekanisme respon imunitas baik pada ikan maupun udang.

Udang
Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada udang, jaringan limfoid menyatu dengan jaringan mieloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid (Corbel 1975; Itami 1994).

Produk jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun humoral. Pada udang, organ limfoidnya disebut sebagai organ oka, yang mirip dengan sel dentritik retikulumpada folikel mamalia (Itami 1994). Organ oka ini terdiri dari 2 lobus, terletak di dorso-anterior hepatopankreas dan ventro-lateral lambung anterior dan posterior; secara histologis, anastomosa tubul organ limfoid mengandung massa basofilik (Bell dan Lightner1988).

Maynard (1960) menyatakan, bahwa sel hemosit yang identik dengan leukosit vertebrata adalah granulosit dan hialosit. Granula sekretori pada hemositmengandung phenoloksidase (PO), prophenoloksidase (proPO) dan serin protease yang berperan dalam respon humoral.

Struktur eksoskeleton dan hambatan kimiawi merupakan bagian dari sistem ketahanan non spesifik udang. Respon non spesifik yang merupakan ketahanan seluler udang dilakukan oleh sel-sel hemosit bergranula (Johansson dan Soederhall Mori 1990; Itami,1994), yang dilakukan melalui fagositosis. Fagositosis merupakan aktivitas primer respon imun udang terhadap benda asing (Alvarez dan Friedl 1990; Hinsch dan Hunte 1990).

Albores et al. (1998) mengemukakan, bahwa komponen mikrobial dapat mengaktivasi respon pertahanan seluler, dalam hal ini mengaktivasi fagositosis, melanisasi, enkapsulasi, nodulasi dan koagulasi. Opsonin akan meningkatkan kemampuan fagosit sel hemosit (McKay dan Jenkin 1970; Johansson dan Soederhall 1985; Itami 1994). Aktivitas ini dapat distimulir oleh 1,3-glukan dan lipopolisakarida (LPS)88 (Johansson dan Soederhall 1989; Itami 1994; Johansson dan Soederhall 1985).

Respon humoral pada udang dimungkinkan oleh adanya multivalen sugar binding agglutinin, disebut sebagai lektin atau hemagglutinin dan monovalen sugar binding residue, disebut beta glukan binding protein (BGBP). Selain itu, monomerik glikoprotein merupakan faktor humoral yang berperan dalam respon humoral. Molekul ini dengan berat molekul 76 kDA dan titik isoelektriknya sebesar 7,2 berperan sebagai faktor pelekat sel hemosit pada permukaan benda asing dan berkaitan dengan sistem proPO, enkapsulasi. Secara in vitro sistem memacu proses degranulasi dengan menghambat sintesis protein dan aggregasi sel hemosit.

Ikan
Seperti halnya dengan udang, jaringan limfoid ikan menyatu dengan jaringan mieloid disebut sebagai jaringan limfomieloid (Corbel 1975; Walczak 1985). Pada ikan teleost jaringan limfomieloidnya adalah limfa, timus dan ginjal depan (Rijkers 1981; Anderson 1974; Fänge 1982). Berbeda dengan udang, pada ikan terdapat populasi sel B dan sel T. Sel-sel ini sangat berperan dalam respon imunitas baik seluler maupun humoral.

Respon dan faktor humoral antara lain antibodi, transferin, interferon, protein C-reaktif; respon dan faktor seluler seperti sel makrofag, sel killer (Kaige et al. 1990), neutrofil (Fletcher 1986), reaksi penolakan allograft dan hipersensitivitas (Rijkers 1982). Selain itu, barir mekanik dan kimiawi permukaan seperti kulit, sisik dan mukus pada permukaan tubuh dan insang juga merupakan alat pertahanan tubuh ikan yang bersifat non spesifik (Anderson 1974).

Respon humoral merupakan respon yang bersifat spesifik dilakukan oleh suatu substansi yang dikenal sebagai antibodi atau imunoglobulin, sedangkan respon seluler ikan bersifat non spesifik dilakukan oleh "cell mediated imunity" (Anderson 1974; Walczak 1985). Komunikator dan amplikator dalam fungsi dan mekanisme pertahanan humoral dan seluler ikan dilakukan oleh limfokin (Anderson et al. 1984), interferon dan sitokin (Anderson 1992).

Imunostimulasi

a. Vaksinasi
Vaksinasi merupakan suatu upaya untuk menimbulkan ketahanan tubuh yang bersifat spesifik melalui pemberian vaksin. Secara umum aktivitas ini dikenal sebagai imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi pasif diperoleh dengan pemberian serum kebal maupun dengan cara diturunkan oleh induk ikan yang dikenal sebagai imunitas maternal; sedangkan imunisasi aktifdilakukan melalui tindak vaksinasi. Induk-induk ikan yang divaksini dapat menurunkan respon imunitas tersebut pada turunannya. Ellis (1988) telah menguraikan tentang vaksinasi terutama untuk ikan.Ikan akan merespon imunostimulasi—vaksinasi dengan mensintesis antibodi, dikenal sebagai imunoglobulin (Corbel 1975). Karena itu, antibodi hanya akan bereaksi terhadap agen penginduksinya dan berfungsi sebagai aglutinin, presipitin, opsonin dan antitoksin. Imunoglobulin ikan dapat ditemukan dalam plasma darah, mukus dan cairan tubuh.

Tujuan dan Manfaat Vaksinasi
Tujuan spesifik vaksinasi adalah untuk memperoleh ketahanan terhadap suatu infeksi tertentu, sehingga diperoleh sintasan hidup yang tinggi akibat proteksi imunologik tersebut. Secara umum, manfaat vaksinasi antara lain dalam hal: peningkatan daya tahan ikan, pencegahan efek samping kemoterapeutika, proteksi terhadap serangan penyakit infeksi tertentu, keamanan lingkungan budidaya dari pencemaran bahan kemoterapeutik dan keamanan konsumen dari residu antibiotik.

Jenis dan Sifat Vaksin
Secara umum terdapat 2 jenis vaksin yakni vaksin konvensional dan vaksin moderen. Penjenisan ini semata-mata didasarkan atas teknologi produksi vaksin yang digunakan. Produk vaksin dengan teknologi tinggi (hi-tech) dikenal sebagai vaksin moderen; sedangkan vaksin konvensional diproduksi dengan teknologi sederhana.

Vaksin konvensional dibedakan atas vaksin mati dan vaksin hidup. Vaksin mati berasal dari patogen yang dimatikan, ekstrak atau bagian-bagian tertentu dari patogen; sedang vaksin hidup berasal dari patogen yang dilemahkan atau diatenuasi.

Vaksin yang termasuk kelompok vaksin moderen atau vaksin biotek adalah vaksin rekombinan, vaksin monoklonal, protein engineering vaccine dan genetic attenuation vaccine.

Untuk mencapai sasaran vaksinasi yakni sintasan hidup yang tinggi, maka vaksin harus bersifat antara lain antigenik, imunogenik dan protektif. Sifat-sifat ini menunjukkan, bahwa vaksin yang diberikan harus memacu terbentuknya antibodi yang menyebabkan ikan tahan (imun) terhadap patogen tersebut. Disamping itu, vaksin harus aman dan tidak boleh menimbulkan tanda-tanda sakit yang secara spesifik diakibatkan oleh patogen tersebut.

Dosis dan Cara Imunisasi (Vaksinasi)
Sebagai suatu upaya pencegahan penyakit, maka imunisasi biota budidaya harus dilakukan dan merupakan tahap dalam proses produksi. Imunisasi dengan vaksin dapat diaplikasikan melalui perendaman, per oral (bersama dengan pakan) dan injeksi. cara aplikasi ini terutama didasarkan atas ukuran ikan.

Sangat dianjurkan untuk melakukan vaksinasi pada fase larva, 1-2 minggu setelah menetas. Umumnya dosis vaksin yang diberikan sebesar 105-106 sel/ml. Vaksinasi ini sebaiknya diulangi setelah 2-3 minggu dari pemberian pertama; dan dapat diulangi pada saat ikan berumur 2 bulan.

Beberapa kendala membatasi pengembangan dan penggunaan vaksin secara meluas pada perikanan budidaya. Kendala tersebut diantaranya adalah keragaman jenis dan saluran patogen ikan, kemampuan imunogenik patogen dan keterbatasan informasi tentang patogenesis dan epizootiologik penyakit ikan.

Preparasi Vaksin Konvensional
Sejauh ini, vaksin konvensional yang paling aman digunakan adalah vaksin mati; baik berasal dari patogen yang dimatikan, ekstrak maupun bagian dari patogen tersebut. Secara umum, preparasi vaksin bakteri dilakukan dengan perlakuan fisik dan kimiawi. Perlakuan fisik yang umum dipakai adalah pemanasan kultur patogen, sehingga dikenal heat killed vaccine; sedangkan perlakuan kimiawi adalah dengan formalin, sehingga dikenal "formlin killed vaccine" (Ellis 1985). 

Preparasi vaksin bakterial dengan pemanasan dapat dilakukan sebagai berikut;
  1. biakan murni bakteri dalam media cair umur 24 jam dipanaskan dalam penangas 100 C selama 15-20 menit atau 60 C selama 30-60 menit,
  2. biakan dipanen, kemudian dipusingkan dengan sentrifus 3500-5000 rpm, selama 15-20 menit; selanjutnya pisahkan pelet dan supernatannya;
  3. pelet vaksin dicuci dengan phosphat buffer soline (PBS) 3 kali, sehingga diperoleh pelet vaksin murni sebagai vaksin utuh (whole cell vaccine); supernatan sebagai hasil pemusingan pertama juga dapat digunakan sebagai vaksin yang dikenal sebagai vaksin supernatan.
Sebagai tindakan pengamanan sebelum digunakanperlu dilakukan uji viabilitas vaksin. Dalam hal ini, dilakukan dengan membiakkan vaksin yang telah dibuat tersebut dalam media kultur padat. Vaksin aman digunakan apabila pada media kultur tersebut tidak terjadi pertumbuhan bakteri. Sifat protektif vaksin diketahui dengan melalukan uji tantang pada biota yang diberi vaksin.

Preparasi vaksin bakterial dengan perlakuan kimiawi (biasanya dengan formalin) dilakukan sebagai berikut; 1) biakan murni bakteri dalam media cair umur 24 jam dimatikan dengan formalin 0,5% selama 24 jam; 2) biakan dipanen, kemudian dipusingkan dengan sentrifus 3500-5000 rpm, selama 15 menit; selanjutnya pelet dan supernatannya dipisahkan; 3) pelet vaksin dicuci dengan PBS 3 kali, sehingga diperoleh pelet vaksin murni sebagai vaksin utuh (whole cell vaccine).

Uji viabilitas dan keamanan vaksin perlu dilakukan. Pada prosedur pengujian ini seperti pada heat killed vaccine, dan disamping itu vaksin tidak boleh mengandung formalin.

Pengukuran Efekivitas Vaksin
Efektivitas vaksin dapat diketahui setelah vaksinasi dilakukan. Secara laboratoris, proteksi imunologis suatu vaksin diketahui dengan uji tantang. Efektivitas suatu vaksin dapat ditentukan antara lain berdasarkan sintasan hidup yang diperoleh dan titer antibodi sebagai berikut;

1. Tingkat Kelulusan Hidup Relatif (Relative Percent Survival, RPS).
RPS ini didasarkan atas kematian ikan yang terjadi setelah uji tantang. Uji tantang diberikan 1-2 minggu setelah vaksinasi; uji tantang ini diberikan secara perendaman dengan dosis LC50. Kematian diamati setiap hari selama 15 hari. RPS ini ditentukan berdasarkan formula, RPS = 1 – (v/k) x 100%, dengan v adalah mortalitas ikan yang divaksin (%) dan k adalah mortalitas ikan kontol (%). Secara umum, efektivitas vaksin dianggap baik, apabila nilai RPS 50 %.

2. Tingkat Titer Antibodi
Pengukuran efektivitas vaksin juga dapat dilakukan dengan pengukuran titer antibodi. Dalam hal ini, dilihat besarnya titer antibodi yang terbentuk, dan biasanya dilakukan melalui uji aglutinasi secara in vitro. Uji ini dilakukan melalui pengenceran seri serum atau plasma darah pada sumur-sumur mikroplat, kemudian direaksikan dengan antigen dalam jumlah sama banyak. Titer antibodi dinyatakan pada pengenceran tertinggi yang setelah pengenceran itu tidak terjadi aglutinasi.

Dengan titer antibodi yang tinggi diharapkan dapat memberikan proteksi yang tinggi pula. Selain itu dengan pegukuran titer ini juga dapat diketahui lama proteksi imunologik yang terjadi.

Peningkatan Efikasi Vaksin
Peningkatan efikasi vaksin dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi ulang (booster). Hal ini dilaksanakan selang 1-2 minggu dari vaksinasi pertama. Aplikasi vaksinasi kedua dapat dilakukan dengan cara yang sama atau berbeda dengan cara pada vaksinasi pertama.

Disamping dengan pengulangan vaksinasi, juga dapat dilakukan dengan menggunakan adjuvant seperti Freud compleks adjuvant (FCA), kalium alumium sulfat, dimetil sulfoxida (DMSO), muramil peptida (MDP), levamisol, ete (ekstrak ectainas-cidia turbinata). Vaksin ini dikenal sebagai vaksin beradjuvant. Selain dengan adjuvant, efikasi vaksin dapat ditingkatkan dengan pemakaian vitamin C, vitamin E dan imunostimulan. Hal ini dapat dilakukan sebelum, bersama atau sesudah vaksinasi dilakukan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Vaksinasi
Vaksinasi yang merupakan tindakan memasukkan antigen ke dalam tubuh akan memacu terbentuknya ketahanan spesifik. Proses pembentukan respon ini dipengaruhi oleh faktor kualitas vaksin, ikan dan lingkungan media budidaya. Kualitas vaksin dipengaruhi oleh keasingan struktur molekuler vaksin, mudah dikenali oleh limfosit dan kekuatannya berikatan dengan antibodi. 

Faktor ikan meliputi antara lain, umur, jenis dan kondisi fisiologis. Salah satu faktor lingkungan budidaya yang sangat berpengaruh terhadap vaksinasi adalah suhu. Suhu media budidaya harus optimal bagi proses pembentukan respon imunitas spesifik. Respon spesifik yang terbentuk yakni ini respon yang sangat bergantung kepada suhu (temperature dependent). Karena itu, suhu media budidaya harus diatur sedemikian rupa berkisar 20-25 C, agar respon spesifik dapat terbentuk optimum dalam waktu 1-2 minggu.

Faktor lainnya yang harus diperhatikan dalam vaksinasi adalah jenis adjuvant.
Penggunaan adjuvantyang tidak sesuai dapat menimbulkan efek samping seperti timbulnya abses, granulomata lokal, dan autoimun. Selain hal tersebut, kualitas pakan yang diberi- kan dan padat penebaran tinggi juga akan berpengaruh terhadap vaksinasi. Kesemuanya ini dapat menghambat pembentukan respon imunitas.

Imunostimulasi dengan Imunostimulan
Imunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lainnya yang mampu meningkatkan mekanisme respon imunitas ikan (Anderson 1992), baik seluler maupun humoral (Alifuddin 1999). Galleotti (1998) dan Anderson (1992) telah mengungkap jenis, berbagai aspek dan aplikasi imunostimulan berkaitan dengan budidaya perikanan.

Lipopolisakarida (LPS) merupakan salah satu imunostimulan yang digunakan untuk stimulasi sel B. Kajita et al. (1990) telah mengevaluasi efek levamisole terhadap peningkatan aktivitas fagositik ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Anderson & Rumsey (1995) mengemukakan, bahwa Candida utilis dan Saccharomyces cerevisiae dapat meningkatkan produksi radikal oksidatif, aktivitas fagositik, produksi mieloperoksidase dan imunoglobulin plasma ikan rainbow trout.

Berbeda dengan vaksin, imunostimulan tidak direspon ikan dengan mensintesis antibodi, melainkan peningkatan aktivitas dan reaktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral. Secara in vitro peningkatan respon seluler ditujukkan oleh aktivitas fagositik yang diukur melalui uji nitro blue tetrazolium (NBT) (Anderson dan Siwicki 1993). Peningkatan ini didasarkan atas kemampuan imunostimulan menginduksi berlangsungnya transformasi limfoblastik yang ditunjukkan dengan memakai isotop tritium (H3) (Alifuddin 1989). Aktivitas fagositik ini merupakan manifestasi peningkatan respon seluler dan pada akhirnya akan meningkatkan respon humoral.

Imunotimulan yang sering dipakai untuk imunostimulasi adalah LPS (lipopolisakarida), dan1,3 glukan yang diperoleh dari Saccharaomyces cerevisiae, dan Levamisol. Beberapa vitamin seperti vitamin A, B dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai imunostimulan (Sohne et al. 2000; 1998). Seperti halnya dengan vaksin, imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per oral) dan perendaman (Anderson 1992). Dosis imunostimulan yang digunakan sebesar 100-200 ppm. Imunostimulan ini dapat diberikan secara terus menerus selama 1 minggu kepada larva ikan ketika masih dalam hapa pendederan; kemudian dihentikan pemberiannya, diberikan kembali pada minggu ke 3 selama satu minggu. Karena itu, pada tahap awal, imunostimulan diberikan melalui perendaman, dan pada pemberian selanjutnya dapat diberikan bersama pakan. 

Pemilihan cara aplikasi imunostimulan didasarkan atas kepraktisan dan efisiensi dalam kegiatan budidaya.

Mengingat keragaman patogen yang ada dalam media budidaya ikan, imunostimulan merupakan alternatif upaya pengendalian penyakit infeksi yang harus dilakukan bersama dengan vaksinansi. Pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya dapat mengoptimalkan produksi budidaya melalui ketahanan tubuh ikan atau udang windu terhadap penyakit infeksi (Pujiharto 1998;
Alifuddin 1999; Bagni et al. 2000; Sohne et al. 2000).

Referensi:
  1. Mulia. 2006. Keefektifan Vaksin Aero- monas hydrophilla untuk Mengen- dalikan Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada Gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Pembangunan Pedesaan. 7 (1):43-52.
  2. Mulia, D. S., dan C. Purbomartono. 2007. Perbandingan Efikasi Vaksin Pro- duk Intra dan Ekstraseluler Aero- monas hydrophila untuk Menang- gulangi Penyakit Motile Aero- monas Septicemia (MAS) pada Lele Dumbo (Clarias sp.). Jurnal of Fisheries Sciences. 9(2): 173-181.
  3. Reed, L. J., and H. Muench. 1938. A Simple Method of Estimating Fifty Per Cent Endopoints. The American Journal of Hygiene. 27 (3): 493-497.
  4. Sari, R. H., Agus. H, dan Suparmono. 2011.Peningkatan Imunogenisitas Vak- sin Inaktif Aeromonas salmonicida dengan Penambahan Adjuvant pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 1 (2) : 87-94.
  5. M. Alifuddin Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680, Indonesia http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar