Minggu, 24 Juli 2022

Ikan Mujair - Asal-Usul


Mujair merupakan ikan asli perairan air tawar dan air payau di wilayah tenggara Afrika, mulai dari Mozambik, Malawi, Zambia, Zimbabwe, hingga Sungai Bushman di Provinsi Eastern Cape di Afrika Selatan. Ikan ini merupakan ikan yang mudah beradaptasi dalam berbagai kondisi lingkungan. Mujair dapat hidup di semua jenis ekosistem perairan tawar, serta daerah pesisir laut. Ikan mujair atau jaer (Sunda) sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Indonesia. Namun saat ditanyakan siapa penemunya? Banyak orang membisu tidak tahu.
Penasaran? Penemunya adalah, ya Pak Moedjair. Ia lahir tahun 1890 di Desa Kuningan, 3 km arah timur pusat Kota Blitar, Jawa Timur. Nama aslinya Iwan Dalauk tapi orang sekitar memanggilnya Mbah Moedjair. Ihwal penemuan jenis ikan yang kemudian dinamai sesuai namanya itu, berawal ketika anak keempat dari sembilan bersaudara dari pasangan Bayan Isman dan Rubiyah, pada tahun 1936, pergi ke Teluk Serang yang terletak di laut selatan daerah Blitar, Jawa Timur.

Di sana dia menemukan berbagai jenis ikan yang belum diketahui sebelumnya. Lalu dia membawa pulang lima jenis ikan dan memeliharanya di kolam pekarangan rumah. Karena berbeda jenis air, awalnya menemui kendala. Namun berkat kegigihannya, akhirnya berhasil juga. Ikan itu berkembang cepat. Bisa bertelur banyak dengan cara menyimpannya di dalam mulut hingga masa menetas jadi anak ikan. Seiring waktu, ikan ini mendapat perhatian warga desa.

Kabar itu sampai ke telinga Schuster, warga Belanda yang menjadi Kepala Penyuluhan Perikanan di Jawa Timur. Dia berkunjung ke desa pak Moedjair untuk melihat ikan itu. Ternyata ikan tersebut diidentifikasi sebagai "Tilapia mossambica" yang berasal dari Afrika. Dengan cepat ikan temuan Moedjair dibudidayakan karena cepat bertelur, pertumbuhannya pesat dan mudah beradaptasi dengan segala lingkungan air mulai kolam hingga rawa-rawa. "Tilapia mossambica" lalu mendapat nama lokal: ikan mujair (ngambil dari nama Moedjair penemunya).

Ikan dengan nama ilmiah Oreochromis mossambicus ini persebaran alaminya adalah Afrika, meliputi dataran rendah Zambezi, Shire hingga dataran pesisir Delta Zambezi dan beberapa wilayah Afrika lainnya. Mujair berkerabat dekat dengan ikan nila [Oreochromis niloticus], jenis yang begitu digemari di Indonesia. Dalam buku “Jenis Ikan Introduksi dan Invasif Asing di Indonesia, 2016” terbitan LIPI [2016], secara biologi ikan mujair memiliki tubuh memipih sedang sampai besar dengan panjang maksimal 40 cm. Bentuk mulut relatif besar dengan moncong yang dapat disembulkan. Sirip punggung panjang dengan bagian depan mengeras tajam menyerupai duri. Umumnya mujair berwarna kehijauan kusam, kekuningan, atau abu-abu.

Pada sisi tubuh terdapat sembilan garis vertikal gelap, mulai dari tutup insang hingga pangkal batang ekor. Ikan mujair dapat dijumpai hampir di seluruh perairan tawar sampai muara-muara sungai dan menyukai substrat lumpur dengan banyak tumbuhan air pada kisaran suhu 21-37 derajat Celcius. “Mujair termasuk bersifat omnivora dengan zooplankton, larva serangga, ikan, udang, cacing tanah, tumbuhan air bahkan detritus sebagai makanannya,” ungkap Gema Wahyu Dewantoro dan Ike Rachmatika, penulis buku tersebut.

Ikan mujair merupakan ancaman bagi ikan asli yang ada di Indonesia. Dalam buku itu disebutkan bahwa mujair diintroduksi ke Indonesia tahun 1939. Selanjutnya, dibawa ke danau di Sulawesi pada 1951 dan menjadi invasif yang mengakibatkan kepunahan ikan lokal, misalnya ikan moncong bebek yang merupakan jenis endemik di Danau Poso, Sulawesi Tengah.


Ikan mujair atau dikenal juga dengan nama Mozambique Tilapia di Cincinnati Zoo. Foto: Wikimedia Commons/Greg Hume/CC BY-SA 3.0

Ikan introduksi
Kasus serupa juga terjadi di Danau Sentani, danau terbesar di Papua. Menurut Hari Suroto, arkeolog Papua dari BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], saat ini jenis ikan yang dominan di Danau Sentani adalah mujair. Kehadiran mujair telah membuat ikan asli menyusut bahkan sulit ditemui lagi. Misalnya, ikan asli atau endemik berupa gabus hitam atau dalam bahasa Sentani disebut kayou [Eleotrididae Oxyeleotris heterodon] dan gabus merah atau kahe [Eleotrididae Giuris margaritacea], ikan pelangi Sentani [Chilatherina sentaniensis], serta ikan pelangi merah [Glossolepis incisus].

Hari menuturkan, pertama kali ikan mujair diintroduksi di Danau Sentani tahun 1973. Masyarakat di sekitar danau menyebutnya ikan mujair Acub. Nama ini merujuk Gubernur Irian Jaya periode 1973-1975, Acub Zaenal, yang pertama kali mengenalkan benih ikan mujair dan menyebarkannya di Danau Sentani. Benih didatangkan dari Sukabumi, Jawa Barat. Mulai saat itu, masyarakat Sentani menyebut mujair yang mereka tangkap dan konsumsi dengan nama mujair Acub. Ikan ini mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan cepat berkembang biak. Sejak itu, mujair pelan dan pasti mulai menggeser ikan gabus Sentani sebagai menu ikan berkuah kuning dalam sajian makan papeda.

Jumlah ikan gabus asli di danau yang semakin berkurang beserta hasil tangkapan terbatas, membuat kuliner ikan mujair lebih banyak disajikan dalam tradisi makan bersama atau festival budaya, sejak tahun 2000-an, “Mujair merupakan ikan konsumsi, ikan komersial dan banyak dibudidaya di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Selain dipelihara dalam keramba, ikan ini juga hidup bebas di danau dan menjadi tangkapan nelayan. Untuk satu ikat tali berisi empat ekor mujair dihargai seratus ribu Rupiah. Mujair dijual dalam bentuk ikan segar atau ikan asap. Tentu saja, mujair asap berharga lebih mahal,” ungkap Hari, Sabtu [12/03/2022].

Dia menjelaskan, terdapat dua macam mujair di Danau Sentani berdasarkan cara memperolehnya. Pertama, ikan hasil tangkapan jaring atau pancing merupakan jenis bebas yang hidup di sela tanaman air atau akar pohon sagu, di rawa-rawa tepi danau. Jenis ini memakan lumut dan plankton. Kedua, hasil budidaya di keramba dengan pakan pelet. Ikan mujair keramba berukuran 200 gram, sudah dipanen dan dipasarkan di rumah makan atau restoran di seputaran Jayapura. Sementara, mujair tangkapan nelayan, berukuran beragam dan dijual oleh mama-mama Papua pada sore hari, secara lesehan di trotoar Pasar Lama Sentani. Tekstur daging mujair dari keramba berasa manis dan lebih lembut daripada mujair liar.

“Dokumentasi foto tahun 1990-an menunjukan, ikan gabus endemik Danau Sentani masih banyak diperjualbelikan di pasar tradisional Sentani. Namun, sejak tahun 2000-an, ikan mujair dan louhan yang lebih banyak dijual di pasar tradisional Sentani,” ungkap Hari.

Ikan mujair albino yang ditemukan di penangkaran di Barcelona Zoo. Foto: Wikimedia Commons/Panellet/Public Domain

Sebuah penelitian berjudul “Ikan Asing Invasif Tantangan Keberlanjutan Biodiversitas Perairan,” yang diterbitkan Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan [2018], menjelaskan bahwa kehadiran ikan asing invasif pada suatu ekosistem perairan, akan merugikan ekosistem perairan dalam dua hal. Pertama, sebagai pesaing relung makanan dan habitat terhadap ikan asli, bahkan sering terjadi merupakan predator bagi ikan asli. Karena, ikan asing invasif ini menjadi pemangsa ikan asli dan ikan endemik. Kedua, sebagai inang pembawa berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terdapat dalam ekosistem perairan, habitatnya ikan asli bahkan endemik. “Kedua hal ini seringkali mengubah komposisi spesies dan struktur komunitas ikan, mendominasi, hingga menyingkirkan ikan asli dan endemik,” tulis Lenny Syafei dan Dinno Sudino, dalam penelitiannya.

Perbedaan Ikan Mujair dan Ikan Nila

Mujair dan Nila (commons.wikimedia.org)

Bagi penggemar olahan masakan dari ikan air payau pasti sudah tidak asing lagi dengan ikan mujair dan ikan nila. Kedua jenis ikan payau ini dikenal memiliki rasa yang enak dan laris di pasaran. Oleh karena itu, banyak sekali orang yang mulai tertarik membudidayakannya. Banyak orang yang menganggap ikan mujair dan ikan nila adalah sama. Pasalnya secara fisik, keduanya memiliki tampilan visual yang serupa. Namun ternyata, ikan mujair dan ikan nila merupakan dua jenis ikan yang berbeda. Agar tidak salah lagi saat membedakan antara ikan mujair dan ikan nila. Simak penjelasan perbedaan ikan mujair dan ikan nila berikut.

Ikan Mujair
Ikan mujair dan ikan nila tergolong dalam genus yang sama, tetapi beda spesies. Ikan ini ditemukan oleh seseorang dari Blitar, Jawa Timur yang memiliki nama sama, yakni Pak Mujair pada tahun 1939. Ikan mujair memiliki nama latin Oreochromis mossambicus dan disebut sebagai Java Tilapia.

Ikan mujair memiliki ukuran tubuh cenderung lebih pendek dan lebih kecil dibandingkan ikan nila. Pada tubuhnya terdapat corak lingkaran kehitaman yang tersebar. Kepalanya lebih besar dengan mulut lebih lebar. Sirip dadanya berwarna coklat kemerahan. Pada bagian sirip punggung ikan mujair nampak polos dan tidak ada garis. Tetapi terdapat garis kemerahan pada ujung sirip punggung dan ekor.

Dari segi harga, mujair dan nila tidak memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu berkisar antara Rp 30.000 – Rp 35.000 per kilogram. Dalam satu kilogram ikan mujair, biasanya berisi 3-4 ekor. Karena hal inilah, beberapa konsumen tidak menyadari membeli ikan yang salah. Untuk gizinya, setiap 100 gram ikan mujair mengandung 46,9 gram protein dan 23,9 gram lemak.

Ikan Nila
Ikan nila (Oreochromis niloticus) dalam Bahasa Inggris disebut Nile Tilapia. Tubuhnya berwarna abu-abu kehitaman dengan garis melintang vertikal (belang) yang terlihat jelas saat masih tahap ikan muda. Bentuk kepala dan mulutnya lebih kecil, tetapi ukuran tubuh dan matanya lebih besar. Berat ikan nila bisa tumbuh mencapai 1 kg per ekor. Sirip punggung ikan nila terlihat lebih lancip dan tajam. Pada sirip belakang dan ekornya terdapat garis memotong.

Dalam 100 gram daging ikan nila mengandung 26 gram protein dan 3 gram lemak. Walaupun kandungan gizinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ikan mujair, ikan nila memiliki nutrisi berupa asam lemak omega 3. Asam lemak omega 3 bermanfaat untuk kecerdasan otak, kesehatan jantung, dan kestabilan kolesterol dalam darah.

Itulah perbedaan fisik serta gizi ikan mujair dan ikan nila. Sudah tahu kan perbedaannya? Jangan sampai salah lagi, ya. Semoga bermanfaat bagi para ibu yang ingin membeli ikan payau di pasar. Ikan mujair ini dapat di budidaya dengan mudah, budidaya ikan mujair ini tidaklah lama karena pertumbuhan ikan mujair ini sangat cepat dan mudah beradaptasi. Namun, untuk klasifikasi dan morfologi ikan mujair ini antara lainnya.

Klasifikasi Ikan MujairKingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis mossambicus

Morfologi Ikan Mujair
Ikan mujair ini dapat hidup di air tawar, bentuk ikan mujair ini memanjang dan pipih. Memiliki sisik yang memiliki warna kecoklatan, abu-abu dan juga kehitaman. Namun bagian kepala ikan mujair ini memiliki bentuk seperti ikan nila yaitu berbentuk kerucut dan oval pada bagian depan.

Mata ikan mujair ini memiliki warna kemerahan, kehitaman dan juga ada yang berwarna kecoklatan. Mata ikan mujair sama dengan ikan lainnya yaitu memiliki bentuk bulat, dan bagian tengah terdapat bundaran hitam. Selain itu, mata ikan akan terdapat lingkaran berwarna kekuningan, dan keputihan tergantung dengan umurnya.

Ikan mujair ini memiliki sirip memiliki bentuk seperti sisir dan berduri di bagian atasnya. Sirip ikan mujair ini terdiri dari beberapa warna yaitu abu-abu, kehitaman dan juga transparan. Sirip ikan mujair ini memiliki tulang yang terdiri dari 10-11 tulang yang menyokong sirip. Sirip ikan mujair ini mencapai 0,5-1 cm bahkan lebih tergantung dengan pertumbuhannya.

Ekor pada ikan mujair in terbentuk tumbul di bagian ujungnya dan persegi, ekor ikan mujair memiliki warna yang sama dengan siripnya. Ekor ini memiliki tulang juga yang terdiri dari beberapa saja yang menyokong ekornya. Selain itu, memiliki sirip juga di bagian perutnya dengan warna yang sama dengan ekor, tetapi lebih pendek dari ekor ikan mujair.

Reproduksi ikan mujair ini berumur 5-6 bulan, atau sudah matang gonad yang di tandai dengan bagian organ reproduksi organ betina dan jantan di tandai dengan adanya cairan berwarna putih dan kekuningan. Reproduksi ikan mujair ini sekitar 100-150 benih perekornya bahkan lebih tergantung indukan betina berkualitas atau tidaknya.



Referensi
  1. Amri, K dan Khairuman. 2002. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Jakarta: Agromedia
  2. Effendi, I. dan Mulyadi. 2012. Budidaya Perikanan. P. 1-40. Jakarta. Universitas Terbuka. http://repository.ut.ac.id/. [25 Maret 2019]
  3. Prahasta, Arief. 2009. Budidaya Usaha Pengolahan Agribisnis Ikan Mujair. Bandung: Pustaka Grafika.
  4. Pratiwi, K.D. 2015. Perbandingan Prevalensi Parasit pada Insang dan Usus Ikan Mujair (Oreochromis mossambicius) di Rawa dan Tambak Paluh Merbau Percut Sei Tuan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
  5. Said, A. 2000. Budidaya Mujair dan Nila. Jawa Barat: Ganeca Exact.
  6. Soeseno, S. 1984. Perkenalkan: Ikan (Pak) Mujair. dalam Dari Kutu sampai ke Gajah. PT Gramedia, Jakarta.
  7. Sugiarti, Ir. 1988. Teknik Pembenihan Ikan Mujair dan Nila Penerbitan CV Simpleks (Anggota IKAPI) Jakarta
  8. Suryani, A dan Aunurohim. 2013. Paparan Sub Lethal Insektisida Diazinon 600 EC terhadap Pertumbuhan Ikan Mujair (Oreocrhomis mossambicus). Jurnal Sains dan Seni Pomits vol. 2, No.2. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya
  9. Whitten, A.J; M. Mustafa. 1984. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar