Ketika kehidupan di pulau tak lagi menjanjikan seperti dulu, sejumlah istri nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, mengambil inisiatif. Mereka mengorganisir diri dalam kelompok usaha, yang mengembangkan beragam produk berbasis hasil laut. Salah satu kelompok yang cukup sukses adalah Kelompok Mawar 02.
Ketika ditemui Mongabay pada pertengahan September 2016 lalu, Hayati, Bendahara Kelompok Mawar 2 bercerita bagaimana keberadaan usaha kelompok tersebut telah sangat membantu perekonomian mereka sebagai keluarga nelayan, khususnya ketika musim paceklik atau cuaca tidak bersahabat.“Sekarang nelayan bisa mati andai kami perempuan tidak kerja bantu-bantu. Karena turun melaut juga kadang tidak ada hasil. Bahkan untuk sekedar mancing, pernah tak dapat ikan sama sekali. Sekarang kita harus berhitung jika ingin turun ke laut. Biayanya bisa lebih mahal karena harus beli bensin dan pancing. Belum lagi ongkos makanan selama melaut. Di sisi lain jika tak melaut maka tak ada penghasilan sama sekali,” katanya. Produk-produk yang dihasilkan Kelompok Mawar 02 di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dikemas dalam kemasan modern yang telah memiliki izin kesehatan atau PIRT sehingga bisa dijual secara luas di toko oleh-oleh di Makassar. Foto: Wahyu Chandra.
Kelompok Mawar 02 sendiri dibentuk sejak tahun 2012. Hanya saja ketika itu kelompok mereka tak seaktif dan seproduktif sekarang. Mereka ketika itu hanya memproduksi kue-kue tradisional saja. “Tahun 2014 kami mendapat bantuan berupa modal dan pelatihan usaha dari IFAD. Kami dilatih bagaimana berwirausaha yang baik dan bagaimana mengembangkan produk, makanya sekarang produknya lebih banyak dan lebih berkualitas,” ungkap Hartini, Ketua kelompok Mawar 2.
Bantuan yang dimaksudkannya adalah Coastal Community Development Program International Fund for Agricultural Development (CCDP – IFAD), sebuah program pemberdayaan masyarakat pesisir yang didanai oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang bergulir sejak 2014 lalu.
Berkat dukungan program ini Kelompok Mawar 2 mengembangkan lebih banyak produk, seperti abon ikan, tumpi-tumpi, otak-otak, kerupuk ikan, dan beragam makanan olahan lainnya.
Menurut Hartini, untuk membuat abon ikan, sebagian anggota kelompok sebenarnya telah memiliki kemampuan membuatnya, hasil dari program pendampingan Bank Indonesia di tahun 2012.
“Dulu juga ada pelatihan dari BI. Kami juga dikasih buku-buku. Kami sempat produksi meski masih terbatas. Paling dibuat kalau ada kunjungan pejabat BI atau pejabat lain ke pulau. Itupun jumlahnya tak banyak,” jelas Hartini.
Hanya saja, karena keterbatasan peralatan, kualitas dan daya tahan, produk mereka masih terbatas. Ini berdampak pada pemasaran yang hanya bisa dilakukan pada skala kecil. Mereka juga terkendala pada perizinan. Ada dua izin yang mereka harus miliki, yaitu izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) dari Dinas Kesehatan dan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Setiap ada yang mau beli mereka selalu tanya izinnya, karena belum ada izin akhirnya jarang yang mau beli. Susah dipasarkan juga di toko oleh-oleh. Paling banyak kita produksi 10 kg. Itupun hanya dijual di orang-orang BI yang datang sekali sebulan.”
Dana bantuan dari CCDP IFAD kepada Kelompok Mawar 02 di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, digunakan untuk membeli peralatan usaha yang dikelola secara kelompok. Salah satunya adalah parut kelapa yang disewakan kepada warga sekitar memberi keuntungan Rp20 ribu perhari. Foto: Wahyu Chandra.
Bantuan dari CCDP – IFAD mereka gunakan untuk membeli beragam peralatan usaha seperti mesin genset, freezer, mixer, kompor, wajan, dan lain-lain. Peralatan yang dibeli saat itu hanya untuk fokus pembuatan abon ikan saja.
Total dana yang diperoleh dari program ini sebanyak Rp40 juta, yang diberikan secara bertahap. Pada tahap pertama sebesar Rp34 juta, yang diterima pada bulan September 2014. Sementara tahap kedua sebanyak Rp6 juta, yang cair setahun kemudian. Karena sukses mengelola usaha, mereka mendapatkan dana tambahan sebesar Rp20 juta pada Mei 2016.
Tanpa Formalin
Untuk produksi abon ikan, jenis ikan yang mereka gunakan adalah tenggiri dan layang, tergantung pada musim ikan. Produksi ikan tenggiri biasanya baru bisa dilakukan di sekitar bulan 9 -10, ketika harga ikan murah karena tangkapan yang melimpah, sementara di bulan lain mereka hanya bisa menggunakan ikan layang dan sori.
Ikan-ikan ini biasanya langsung dibeli dari nelayan atau pengumpul. Mereka menghindari membeli di pasar karena takut ikannya berformalin. Mereka ternyata punya pengalaman membuat ikan yang sudah diberi formalin, yang kemudian ketahuan setelah diuji di laboratorium.
“Seorang teman dari kelompok lain pernah membuat abon ikan yang kemudian dicampur penjualannya dengan produksi kami. Lalu ada yang protes kalau abon kami pakai formalin padahal tak satu pun dari kami yang tahu apa itu formalin.”
Ketika ditemui Mongabay pada pertengahan September 2016 lalu, Hayati, Bendahara Kelompok Mawar 2 bercerita bagaimana keberadaan usaha kelompok tersebut telah sangat membantu perekonomian mereka sebagai keluarga nelayan, khususnya ketika musim paceklik atau cuaca tidak bersahabat.“Sekarang nelayan bisa mati andai kami perempuan tidak kerja bantu-bantu. Karena turun melaut juga kadang tidak ada hasil. Bahkan untuk sekedar mancing, pernah tak dapat ikan sama sekali. Sekarang kita harus berhitung jika ingin turun ke laut. Biayanya bisa lebih mahal karena harus beli bensin dan pancing. Belum lagi ongkos makanan selama melaut. Di sisi lain jika tak melaut maka tak ada penghasilan sama sekali,” katanya. Produk-produk yang dihasilkan Kelompok Mawar 02 di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dikemas dalam kemasan modern yang telah memiliki izin kesehatan atau PIRT sehingga bisa dijual secara luas di toko oleh-oleh di Makassar. Foto: Wahyu Chandra.
Kelompok Mawar 02 sendiri dibentuk sejak tahun 2012. Hanya saja ketika itu kelompok mereka tak seaktif dan seproduktif sekarang. Mereka ketika itu hanya memproduksi kue-kue tradisional saja. “Tahun 2014 kami mendapat bantuan berupa modal dan pelatihan usaha dari IFAD. Kami dilatih bagaimana berwirausaha yang baik dan bagaimana mengembangkan produk, makanya sekarang produknya lebih banyak dan lebih berkualitas,” ungkap Hartini, Ketua kelompok Mawar 2.
Bantuan yang dimaksudkannya adalah Coastal Community Development Program International Fund for Agricultural Development (CCDP – IFAD), sebuah program pemberdayaan masyarakat pesisir yang didanai oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang bergulir sejak 2014 lalu.
Berkat dukungan program ini Kelompok Mawar 2 mengembangkan lebih banyak produk, seperti abon ikan, tumpi-tumpi, otak-otak, kerupuk ikan, dan beragam makanan olahan lainnya.
Menurut Hartini, untuk membuat abon ikan, sebagian anggota kelompok sebenarnya telah memiliki kemampuan membuatnya, hasil dari program pendampingan Bank Indonesia di tahun 2012.
“Dulu juga ada pelatihan dari BI. Kami juga dikasih buku-buku. Kami sempat produksi meski masih terbatas. Paling dibuat kalau ada kunjungan pejabat BI atau pejabat lain ke pulau. Itupun jumlahnya tak banyak,” jelas Hartini.
Hanya saja, karena keterbatasan peralatan, kualitas dan daya tahan, produk mereka masih terbatas. Ini berdampak pada pemasaran yang hanya bisa dilakukan pada skala kecil. Mereka juga terkendala pada perizinan. Ada dua izin yang mereka harus miliki, yaitu izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) dari Dinas Kesehatan dan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Setiap ada yang mau beli mereka selalu tanya izinnya, karena belum ada izin akhirnya jarang yang mau beli. Susah dipasarkan juga di toko oleh-oleh. Paling banyak kita produksi 10 kg. Itupun hanya dijual di orang-orang BI yang datang sekali sebulan.”
Dana bantuan dari CCDP IFAD kepada Kelompok Mawar 02 di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, digunakan untuk membeli peralatan usaha yang dikelola secara kelompok. Salah satunya adalah parut kelapa yang disewakan kepada warga sekitar memberi keuntungan Rp20 ribu perhari. Foto: Wahyu Chandra.
Bantuan dari CCDP – IFAD mereka gunakan untuk membeli beragam peralatan usaha seperti mesin genset, freezer, mixer, kompor, wajan, dan lain-lain. Peralatan yang dibeli saat itu hanya untuk fokus pembuatan abon ikan saja.
Total dana yang diperoleh dari program ini sebanyak Rp40 juta, yang diberikan secara bertahap. Pada tahap pertama sebesar Rp34 juta, yang diterima pada bulan September 2014. Sementara tahap kedua sebanyak Rp6 juta, yang cair setahun kemudian. Karena sukses mengelola usaha, mereka mendapatkan dana tambahan sebesar Rp20 juta pada Mei 2016.
Tanpa Formalin
Untuk produksi abon ikan, jenis ikan yang mereka gunakan adalah tenggiri dan layang, tergantung pada musim ikan. Produksi ikan tenggiri biasanya baru bisa dilakukan di sekitar bulan 9 -10, ketika harga ikan murah karena tangkapan yang melimpah, sementara di bulan lain mereka hanya bisa menggunakan ikan layang dan sori.
Ikan-ikan ini biasanya langsung dibeli dari nelayan atau pengumpul. Mereka menghindari membeli di pasar karena takut ikannya berformalin. Mereka ternyata punya pengalaman membuat ikan yang sudah diberi formalin, yang kemudian ketahuan setelah diuji di laboratorium.
“Seorang teman dari kelompok lain pernah membuat abon ikan yang kemudian dicampur penjualannya dengan produksi kami. Lalu ada yang protes kalau abon kami pakai formalin padahal tak satu pun dari kami yang tahu apa itu formalin.”
Untuk membuat abon ikan ini bahan-bahan yang harus disiapkan antara lain serai, bawang merah, bawang putih, gula merah, gula pasir, jintan. Pernah mereka menggunakan santan kelapa tapi tidak tahan lama karena berjamur. Mereka juga dulunya menggunakan gula merah namun diganti dengan gula pasir.
“Pakai gula merah itu rasanya memang lebih enak, hanya saja abon cepat berjamur. Paling tahan 2 bulan saja. Sementara kalau menggunakan gula pasir abon bisa bertahan hingga 8 bulan.”
Untuk membuat abon ikan membutuhkan penggorengan di wajan sekitar 2-3 jam. Dalam setiap wajan bisa memuat 2 kg bahan abon. Kelompok ini hanya mempunyai 3 wajan sehingga untuk menghasilkan 30 kg abon sekali produksi bisa membutuhkan waktu 10 – 15 jam.
“Jadi bayangkan saja kalau kita buatnya pagi maka kadang selesai hingga magrib dan malah pernah hingga larut malam. Ini karena kompor dan wajan yang terbatas.”
Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan ikan nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mulai berkurang. Dalam sehari mereka kadang hanya bisa menangkap beberapa ekor ikan dan bahkan kadang tidak ada tangkapan sama sekali. Foto: Wahyu Chandra.
Kini mereka juga menggunakan peralatan yang lebih modern untuk mengeringkan abon, yaitu menggunakan spinner. Dulunya mereka hanya pakai alat manual berupa kain dan penjepit untuk memeras minyak pada abon. Dengan peralatan manual ini hasilnya kurang bagus karena minyak di abon yang tidak terlalu kering. Jika menggunakan peralatan manual abon ikan hanya bisa bertahan hingga 2 bulan saja, sementara dengan spinner bisa sampai setahun.
Peningkatan Produksi
Dari segi jumlah produksi mereka juga mengalami peningkatan yang pesat. Jika sebelum adanya bantuan program CCDP IFAD ini mereka hanya produksi 10 kg per bulan. Di awal program meningkat menjadi 50 kg per bulan dengan 3-4 kali produksi. Sekarang mereka bisa produksi hingga 100 kg per bulan. Mereka juga sudah memiliki perizinan PIRT sehingga bisa dijual di toko oleh-oleh.
Meski belum bisa memproduksi banyak, namun secara konsisten kelompok ini telah bisa memproduksi beragam produk setiap bulannya. Produk mereka pun sudah dipasarkan di sejumlah toko oleh-oleh di Makassar karena sudah memiliki izin PIRT dari Dinas Kesehatan. Tahapan selanjutnya adalah memperoleh label halal dari MUI.
Seluruh anggota juga secara aktif menabung di tabungan kelompok rata-rata Rp10 ribu setiap mereka gajian. Sekali produksi setiap anggota bisa mendapatkan gaji hingga Rp150 ribu. Jika rata-rata produksi dilakukan 3 – 4 kali sebulan maka setiap bulannya setiap anggota bisa memperoleh pendapatan berkisar antara Rp450 ribu – Rp600 ribu.“Pendapatan dari kelompok ini lumayanlah untuk tambah-tambah penghasilan setiap bulannya,” ujar Hartini
Sumber : Wahyu Chandra; http://www.mongabay.co.id
“Pakai gula merah itu rasanya memang lebih enak, hanya saja abon cepat berjamur. Paling tahan 2 bulan saja. Sementara kalau menggunakan gula pasir abon bisa bertahan hingga 8 bulan.”
Untuk membuat abon ikan membutuhkan penggorengan di wajan sekitar 2-3 jam. Dalam setiap wajan bisa memuat 2 kg bahan abon. Kelompok ini hanya mempunyai 3 wajan sehingga untuk menghasilkan 30 kg abon sekali produksi bisa membutuhkan waktu 10 – 15 jam.
“Jadi bayangkan saja kalau kita buatnya pagi maka kadang selesai hingga magrib dan malah pernah hingga larut malam. Ini karena kompor dan wajan yang terbatas.”
Beberapa tahun terakhir hasil tangkapan ikan nelayan di Pulau Barrang Caddi, salah satu pulau di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mulai berkurang. Dalam sehari mereka kadang hanya bisa menangkap beberapa ekor ikan dan bahkan kadang tidak ada tangkapan sama sekali. Foto: Wahyu Chandra.
Kini mereka juga menggunakan peralatan yang lebih modern untuk mengeringkan abon, yaitu menggunakan spinner. Dulunya mereka hanya pakai alat manual berupa kain dan penjepit untuk memeras minyak pada abon. Dengan peralatan manual ini hasilnya kurang bagus karena minyak di abon yang tidak terlalu kering. Jika menggunakan peralatan manual abon ikan hanya bisa bertahan hingga 2 bulan saja, sementara dengan spinner bisa sampai setahun.
Peningkatan Produksi
Dari segi jumlah produksi mereka juga mengalami peningkatan yang pesat. Jika sebelum adanya bantuan program CCDP IFAD ini mereka hanya produksi 10 kg per bulan. Di awal program meningkat menjadi 50 kg per bulan dengan 3-4 kali produksi. Sekarang mereka bisa produksi hingga 100 kg per bulan. Mereka juga sudah memiliki perizinan PIRT sehingga bisa dijual di toko oleh-oleh.
Meski belum bisa memproduksi banyak, namun secara konsisten kelompok ini telah bisa memproduksi beragam produk setiap bulannya. Produk mereka pun sudah dipasarkan di sejumlah toko oleh-oleh di Makassar karena sudah memiliki izin PIRT dari Dinas Kesehatan. Tahapan selanjutnya adalah memperoleh label halal dari MUI.
Seluruh anggota juga secara aktif menabung di tabungan kelompok rata-rata Rp10 ribu setiap mereka gajian. Sekali produksi setiap anggota bisa mendapatkan gaji hingga Rp150 ribu. Jika rata-rata produksi dilakukan 3 – 4 kali sebulan maka setiap bulannya setiap anggota bisa memperoleh pendapatan berkisar antara Rp450 ribu – Rp600 ribu.“Pendapatan dari kelompok ini lumayanlah untuk tambah-tambah penghasilan setiap bulannya,” ujar Hartini
Sumber : Wahyu Chandra; http://www.mongabay.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar