Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak akan pernah terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini sebagai upaya penting yang mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari yang menyejahterakan. Pengelolaan secara efektif kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan akan mampu memberikan jaminan dalam efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, sebagai sumber yang efektif menyokong pemanfaatan lain secara ramah lingkungan, serta dapat menumbuhkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. “Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan”.
Paradigma dan Pekembangan Konservasi
Berdasarkan PP No. 60/2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan
IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup.
Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem melalui upaya konservasi telah dipahami sebagai upaya seimbang untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Satu atau lebih tipe ekosistem dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang dalam pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi. Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia menapaki era baru, setidaknya terdapat dua poin. Poin pertama, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan sistem ZONASI, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Merujuk UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 tahun 2009) dan PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, sedikitnya ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam kawasan konservasi perairan yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah ubah dengan UU no 1 tahun 2014 juga mengatur zonasi di kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Aturan ini membagi kedalam 3 (tiga) zona, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan terbatas dan Zona lainnya, dimana dalam zona pemanfaatan terbatas dapat digunakan untuk pemanfaatan di bidang perikanan dan pariwisata. Perlu digarisbawahi bahwa zona perikanan berkelanjutan tidak pernah diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi terdahulu. Seiring dengan perkembangan desentralisasi, konservasi tidak lagi hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, Pemerintah daerah juga diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Sistem zonasi yang memberi ruang pemanfaatan untuk perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari serta kewenangan desentralisasi pengelolaan telah menjadi paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Tentu bukan hal yang mudah bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghilangkan paradigma lama yang melekatkan pemahaman umum yang menilai pengelolaan kawasan konservasi secara sentralistik, tertutup, hanya larangan serta menihilkan partisipasi masyarakat dalam konteks pemanfaatannya. Upaya sosialisasi dan peningkatan pemahaman serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terus dilakukan termasuk upaya nyata mengimplementasikan blue economy dalam pengelolaan kawasan konservasi yang menyejahterakan.
Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen. Manfaat KKP terkait dengan perikanan, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik, seperti spillover, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan. Manfaat KKP kepada perikanan tersebut sangat tergantung kepada strategi tingkah laku spesies ikan target, dan desain dari KKL sendiri, termasuk lokasi, ukuran, dan bentuknya. Manfaat lainnya untuk perikanan yaitu adanya peningkatan stabilitas perikanan. KKP juga bermanfaat untuk pariwisata bahari yang mampu mendorong terciptanya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitarnya maupun pendapatan daerah.
Paradigma dan Pekembangan Konservasi
Berdasarkan PP No. 60/2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan
IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup.
Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
Pengelolaan ekosistem melalui upaya konservasi telah dipahami sebagai upaya seimbang untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Satu atau lebih tipe ekosistem dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang dalam pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi. Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia menapaki era baru, setidaknya terdapat dua poin. Poin pertama, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan sistem ZONASI, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Merujuk UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 tahun 2009) dan PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, sedikitnya ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam kawasan konservasi perairan yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah ubah dengan UU no 1 tahun 2014 juga mengatur zonasi di kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Aturan ini membagi kedalam 3 (tiga) zona, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan terbatas dan Zona lainnya, dimana dalam zona pemanfaatan terbatas dapat digunakan untuk pemanfaatan di bidang perikanan dan pariwisata. Perlu digarisbawahi bahwa zona perikanan berkelanjutan tidak pernah diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi terdahulu. Seiring dengan perkembangan desentralisasi, konservasi tidak lagi hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, Pemerintah daerah juga diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Sistem zonasi yang memberi ruang pemanfaatan untuk perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari serta kewenangan desentralisasi pengelolaan telah menjadi paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Tentu bukan hal yang mudah bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghilangkan paradigma lama yang melekatkan pemahaman umum yang menilai pengelolaan kawasan konservasi secara sentralistik, tertutup, hanya larangan serta menihilkan partisipasi masyarakat dalam konteks pemanfaatannya. Upaya sosialisasi dan peningkatan pemahaman serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terus dilakukan termasuk upaya nyata mengimplementasikan blue economy dalam pengelolaan kawasan konservasi yang menyejahterakan.
Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen. Manfaat KKP terkait dengan perikanan, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik, seperti spillover, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan. Manfaat KKP kepada perikanan tersebut sangat tergantung kepada strategi tingkah laku spesies ikan target, dan desain dari KKL sendiri, termasuk lokasi, ukuran, dan bentuknya. Manfaat lainnya untuk perikanan yaitu adanya peningkatan stabilitas perikanan. KKP juga bermanfaat untuk pariwisata bahari yang mampu mendorong terciptanya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitarnya maupun pendapatan daerah.
Beberapa Bukti lapangan tentang dampak KAWASAN KONSERVASI laut bagi Perikanan, antara lain:
Misalnya: Dari 110 spesies yang tercatat di dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai di wilayah penangkapan (McClanahan 1994 in Roberts & Hawkins 2000).
Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap telah dikembangkan mata pencaharian alternative pengelolaan kepiting bakau di KKP. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). Di Raja Ampat, dikelola dengan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKP untuk kegiatan menyelam, Demikian pula di beberapa daerah seperti BERAU, Nusa Penida - KLUNGKUNG, PangumbahanSUKABUMI, Pesisir timur Pulau Weh - SABANG, Selat Pantar – ALOR,selain dampak perikanan, praktek pengelolaan konservasi telah nyata memperbaiki kualitas ekosistem, meningkatkan kunjungan wisata bahari dan menyumbangkan PAD bagi daerahnya. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah lainnya.
Beberapa cuplikan tentang dampak wilayah perlindungan laut di wilayah Indo-Pasifik berdasarkan negara. Indonesia. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan) (McClanahan et al. 2006). Papua New Guinea. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk and Ahus) (McClanahan et al. 2006). Pilipina. Biomassa predator ukuran besar meningkat 8 kali di wilayah perlindungan Apo. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat (Russ & Alcala 1996, in Roberts & Hawkins 2000).Hawaii. Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kenya. Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat 10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine National Park bila dibandingkan di wilayah perlindungan di mana penangkapan diizinkan (Watson & Ormond 1994, in Roberts & Hawkins 2000).
Manfaat konservasi telah nyata meningkatkan produksi perikanan tangkap, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu mencegah kolaps tangkapan. Kawasan konservasi yang dikelola secara konsisten beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan meningkat 40 (empat puluh) persen. Hasil kajian menyatakan bahwa produksi larva akan meningkat pada perlindungan terhadap 20 - 30% luasan habitat penting di kawasan konservasi.
Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan antara lain, ditetapkannya target nasional yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, yang menjadi dasar komitmen kementerian kelautan dan perikanan untuk menggandakan target menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagaimana pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007. Hingga 2014, luasan kawasan konservasi perairan laut telah tercapai lebih dari 16 juta ha. Komitmen ini berlanjut pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang memberikan perhatian khusus dan memprioritaskan pembangunan di sektor maritim. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa kata kunci program maritim untuk bidang kelautan dan perikanan adalah keberlanjutan (sustainability), sehingga upaya konservasi yang dilakukan, khususnya terhadap habitat penting termasuk di wilayah 0-4 mil laut yang menjadi tulang punggung pembangunan kelautan dan perikanan.
Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 45 tahun 2009. Kaitannya dengan desentralisasi, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Undang-undang ini telah mengalami metamorfosa berpijak dari pembelajaran desentralisasi selama sepuluh tahun. Undang-undang Pemerintahan daerah yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan suberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Pengalihan urusan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil bidang konservasi dari kabupaten ke provinsi dalam wilayah pengelolaan laut sampai 12 mil dapat dikatakan merupakan antitesis pelaksanaan desentralisasi pada level kabupaten/kota yang cenderung kebablasan. Semoga upaya konservasi, dengan pengaturan sistem desentralisasi yang baru ini dapat memperbaiki fungsi lingkungan sumberdaya laut dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kebijakan dan peraturan yang ada tersebut, diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan dapat terwadahi.
Dasar Hukum dan Perangkat Peraturan-perundangan terkait Pengelolaan Konservasi kawasan dan Jenis Ikan
Program-program strategis untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan, efektif dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat terus dilakukan melalui berbagai upaya pokok pengelolaan kawasan konservasi, antara lain: perlindungan habitat dan populasi biota perairan, rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi, serta pengembangan kerjasama dan/jejaring konservasi. Program inisiasi dalam rangka percepatan pengelolaan kawasan konservasi perairan untuk mendukung perikanan berkelanjutan dalam hal fasilitasi penguatan rencana pengelolaan, kelembagaan, pembangunan infrastruktur kawasan maupun pengembangan sistem pengelolaan kawasan yang terpadu juga terus dilakukan baik berupa pilot project/program percontohan maupun melalui dukungan tugas pembantuan, dekonsentrasi, dana alokasi khusus, kemitraan, kerjasama serta komitmen pendanaan yang berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Program-program percontohan dalam rangka mendorong upaya pemanfaatan kawasan konservasi untuk perikanan berkelanjutan, pariwisata berbasis konservasi maupun aspek pemanfaatan lainnya terus ditingkatkan. Pada akhirnya ketika semangat mengelola kawasan konservasi terus tumbuh dan semakin efektif, maka buah efektivitas pengelolaan selanjutnya mampu dinilai dan dapat dianugerahi penghargaan. Anugerah Kawasan Konservasi Perairan (E-KKP3K Awards) secara tersendiri ataupun menjadi satu kesatuan dengan program lainnya merupakan pemberian penghargaan sebagai apresiasi untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif.
Kunci keberhasilan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan adalah melalui Pengelolaan Bersama (Kolaboratif), pada prakteknya tentu bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar utamanya, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. hal ini sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola berdasarkan sistem zonasi dan upaya ini sedikitnya dapat dilakukan melalui tiga strategi pengelolaan, yaitu: (1) Melestarikan lingkungannya, melalui berbagai program konservasi, (2) menjadikan Kawasan Konservasi sebagai penggerak ekonomi, melalui program pariwisata alam perairan dan pendanaan mandiri yang berkelanjutan, dan (3) pengelolaan kawasan konservasi sebagai bentuk tanggungjawab sosial yang mensejahterakan masyarakat.
Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada kawasan konservasi, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di kawasan tersebut. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah WAJIB hukumnya. Co-management, kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Upaya-upaya pembinaan masyarakat melalui pengembangan alternatif mata pencaharian di kawasan konservasi telah dikembangkan, seperti misalnya pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, maupun kegiatan lainnya. Sebagai bentuk partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan juga telah dikembangkan alternatif pencaharian seperti pembuatan kerupuk ikan, pembuatan cindera mata dan kerajinan, maupun berbagai aktivitas lain yang mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat digandeng sebagai mitra.
Penatakelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif dapat tercapai melalui perencanaan pengelolaan dan manajemen zonasi yang baik, tersedianya sumberdaya manusia dan lembaga pengelola yang kompeten, tersedianya infrastruktur dan sarana pendukung yang baik, maupun upaya-upaya pengelolaan kawasan yang dilakukan secara sinergis dan terpadu. Semoga Perwujudan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan yang Efektif untuk Mendukung Perikanan Berkelanjutan bagi Kesejahteraan Masyarakat bukan hanya ucapan semata namun segera dapat tercapai.
Konservasi menopang Pilar Keberlanjutan (Sustainability). Berbagai manfaat kawasan konservasi untuk keberlanjutan ekosistem penting untuk mendukung produksi perikanan tangkap berkelanjutan telah nyata dan banyak bukti ilmiah sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan mampu mewujudkan keseimbangan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya untuk tujuan konservasi dan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir. Pemanfaatan geografis secara optimal bagi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang diharapkan antara lain: (1) Pengelolaan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dapat dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi bagi usaha perikanan (tangkap dan budidaya), sehingga tidak ada lagi WPP yang overfishing maupun WPP yang underfishing; (2) Wilayah bioekoregion dilakukan secara optimal dan seimbang pemanfaatannya, dikembangkan sebagai kawasan konservasi untuk menjamin ketangguhan kawasan konservasi yang ada di Indonesia; (3) Optimalisasi pemanfaatan wilayah geografi kawasan konservasi perairan untuk kegiatan budidaya perikanan dan penangkapan ikan ramah lingkungan; Peningkatan fungsi geografi wilayah pemanfaatan umum sesuai penataan ruang/zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk kegiatan perikanan budidaya dan penangkapan ikan sesuai kapasitas dan potensinya serta peningkatan ekonomi masyarakat secara merata
Pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan dan optimalisasinya untuk kawasan konservasi perairan diharapkan dapat memanfaatkan Sumberdaya baik yang berasal dari perairan laut, perairan umum dan berdampak dalam menopang ekonomi masyarakat pesisir serta menunjang pembangunan nasional. Kondisi pemanfaatan sumberdaya laut untuk perikanan yang diharapkan adalah: (1) Wilayah perairan laut seluas 5,8 juta Km2 meliputi perairan teritorial dan ZEEI dimanfaatkan secara optimal sampai pada tingkat produksi yang sesuai dengan tingkat JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) secara merata di sebelas WPP menggunakan prinsip-prinsip konservasi untuk perikanan berkelanjutan; (2) Pemanfaatan kawasan konservasi untuk kegiatan yang secara tidak langsung menggunakan sumber kekayaan alam, yaitu melalui pemanfaatan wisata bahari untruk meningkatkan nilai sumberdaya dan jasa lingkungan; (3) Pemanfaatan ekosistem mangrove dan terumbu karang di kawasan konservasi yang terjaga dengan baik, berpeluang untuk perdagangan karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim. (4) Mengoptimalkan keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan alam untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional dan budidaya laut bernilai ekonomis tinggi di kawasan konservasi untuk kesejahteraan masyarakat pesisir; (5) Peningkatan identifikasi dan eksplorasi potensi kelautan, terutama di laut dalam guna mencari sumber energi maupun sumberdaya ikan potensial, serta melakukan konservasi biota laut migrasi; (6) Menata keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan laut di sepanjang nusantara baik di dalam kawasan konservasi maupun eksploitasi sumber kekayaan alam di luar kawasan konservasi dengan prinsip kelestarian sumberdaya
Konservasi menopang Pilar Kedaulatan (Sovereignty). Peningkatan upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi juga dibarengi dengan identifikasi dan inventarisasi potensi calon kawasan konservasi, diutamakan pada wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar yang rawan disintegrasi. Pengembangan kawasan konservasi ini untuk menjawab target 20 Juta hektar Kawasan konservasi pada tahun 2020 (akan dicapai pada 2019 berdasarkan Draft Renstra KKP 2015-2019). Optimalisasi pengembangan kawasan konservasi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar diharapkan mampu memperkuat integrasi yang mengokohkan wawasan nusantara, mengeliminasi terjadinya pelanggaran hukum, illegal fishing maupun eksploitasi sumberdaya yang berlebih yang mengancam degradasi sumberdaya lingkungan. Pengelolaan efektif kawasan konservasi dilakukan terhadap tiga aspek yang menjadi indikator utama dalam pengelolaan kawasan konservasi, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Penguatan status hukum kawasan di tingkat internasional dengan cara mendaftarkan pada Peta Pelayaran Internasional, mampu mencegah pelanggaran penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan zonasinya dan secara konsisten dapat mengatasi segala ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang mengancam kedaulatan wilayah laut Indonesia.
Secara Politis. Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai pandangan wawasan nusantara ditinjau dari perspektif politik baik luar maupun dalam negeri, diharapkan adanya dukungan politik yang kuat agar pengelolaan kawasan konservasi dapat dilaksanakan secara efektif sehingga mampu memperkokoh pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. (1) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mampu meningkatkan peran Indonesia secara global dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim. selain itu, pembangunan yang berwawasan lingkungan yang dijalankan mampu meningkatkan posisi tawar nilai sumberdaya ikan dalam percaturan perikanan dunia dan regional semakin menonjol dan Indonesia dapat menjadi anggota bagian utama dalam penentuan kebijakan perikanan dunia dan regional yang berwawasan lingkungan; (2) Konsep pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menerapkan prinsip konservasi merupakan kepentingan dunia internasional, secara politis mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi, yang diharapkan meningkatkan komitmen dunia internasional untuk memberikan bantuan teknis dan operasional dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (3) Peraturan perundang-undangan, kebijakan dan pedoman teknis yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi serta kebijakan nasional yang lebih berpihak kepada sektor kelautan dan perikanan diharapkan mendapat dukungan politik dari supra struktur politik, terutama untuk mengatasi berbagai kepentingan konservasi perairan yang saat ini masih terdapat mandat ganda, yakni berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990, UU nomor 41 Tahun 1999 dengan UU nomor 31 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 27 tahun 2007 serta UU nomor 32 tahun 2004, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi. Harmonsisasi berbagai peraturan menuju sinergi yang mendorong optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan dapat direalisasikan dalam waktu dekat dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dapat melaksanakan peraturan perundangan tersebut sesuai kewenangannya. (4) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan mendapat dukungan politik dari supra struktur politik, terutama DPR dalam penentuan APBN, APBD maupun dukungan kebijakan yang mampu mendorong pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan kawasan konservasi lebih efektif. Demikian pula diharapkan komitmen dari kementerian sektor yang berkaitan dengan pembangunan konservasi di wilayah peisisir dan pulau pulau kecil dalam mendukung suksesnya pembangunan ekonomi masyarakat pesisir seperti masalah kesyahbandaran, pariwisata bahari, ekonomi kreatif, pendidikan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijaksanaan fiskal dan keringanan pajak, subsidi BBM, masalah perdagangan, ketenaga kerjaan dan penegakan hukum. (5) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara politis menentukan partisipasi politik dan orientasi pilihan warga masyarakat pesisir terhadap pemimpin di daerah, mapun orientasi masyarakat secara umum dalam pemilihan pemimpin nasional. Issue konservasi sering menjadi ganjalan dalam proses pemilihan umum karena pemahaman politik calon pemimpin terhadap konservasi yang masih sangat minim.
Dalam hal Pertahanan dan Keamanan. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi dilihat dari perspektif Hankam harus dapat memberikan manfaat bagi pembangunan Hankamneg, terutama partisipasi masyarakat dalam sistem hankam serta sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan sebagai komponen pendukung. Kondisi yang diharapkan adalah sebagai berikut: (1) Sumberdaya manusia pendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan yang telah terlatih dalam pengawasan perikanan berbasis masyarakat dapat menjadi pendukung kepolisian dan TNI dalam pengelolaan keamanan di wilayah laut, secara simultan dapat mendukung sistem pertahanan dan keamanan nasional. (2) Pos jaga, pusat informasi, kantor pengelola kawasan konservasi perairan, maupun prasarana pelabuhan perikanan, dirancang untuk mampu mendukung kepentingan operasi laut bila diperlukan pada masa krisis atau perang. Oleh karenanya, khususnya dalam pemilihan posisi pelabuhan yang dapat menampung kapal-kapal besar (PPS), harus sesuai dengan posisi strategis untuk operasi laut. Untuk mampu menghadapi ancaman musuh maka pelabuhan PPS dijadikan pangkalan pertahanan yang menghadap samudera (3) Pusat informasi kawasan konservasi yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau terluar, dalam kondisi perang dapat dijadikan pos supply logistik dari industri-industri perikanan pendukung dan pengolah hasil perikanan. (4) Kapal-kapal perikanan dengan kapasitas 100 GT ke atas dapat dimanfaatkan sebagai komponen pendukung Armada cadangan untuk angkut personel maupun persenjataan dan sekaligus berfungsi sebagai deteksi dini kapal-kapal musuh. Untuk keperluan tersebut diperlukan pelatihan kepada para Nakhoda kapal. (5) Masalah illegal fishing yang berdampak kepada kerugian negara dan terjadinyaoverfishing, diharapkan dapat diatasi secara bertahap, melalui garda terdepan kawasan konservasi di pulau-pulau terluar, diharapkan terwujud ketertiban dan keamanan di laut melalui koordinasi dan kerjasama harmonis diantara aparat penegak hukum di laut tercipta dengan baik.
Konservasi menopang Pilar Kesejahteraan (Prosperity). Paradigma baru pengelolaan KKP/KKP3K dibawah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak hanya berbicara tentang perlindungan dan pelestarian, tetapi menekankan pentingnya pemanfaatan kawasan konservasi demi mendukung kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam KKP meliputi pemanfaatan untuk perikanan tangkap dan budidaya, pemanfataan wisata, pemanfaatan penelitian dan pengembangan, serta kegiatan ekonomi lainnya yang menunjang konservasi. Namun demikian pemanfaatan yang dilakukan dalam KKP ini bersifat terbatas dan harus mengutamakan kepentingan kelestarian sumberdaya, sehingga harus memperhatikan daya dukung kawasan. Secara prinsip maupun praktek di lapangan, dampak kawasan konservasi telah jelas dalam peningkatan hasil tangkapan masyarakat lokal. Hasil pengukuran efektivitas melalui E-KKP3K dapat menjadi indikator peningkatan ekonomi masyarakat pesisir, bersumber dari hasil tangkapan ikan di wilayah tangkap nelayan yang merupakan limpahan manfaat kawasan konservasi perairan. Dampak ini nyata dalam mendorong peningkatan pendapatan langsung masyarakat dan menggerakkan sektor ekonomi pendukung di wilayah pesisir. Demikian pula penilaian dampak pengelolaan wisata bahari terhadap fungsi lingkungan kawasan konservasi perairan diperlukan dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan efektif kawasan konservasi. Manfaat langsung pariwisata bahari dapat menjadi sumber pendanaan jasa lingkungan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Peluang ini sangat nyata dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi yang cukup efektif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Operasionalisasi pengelolaan efektif KKP melalui berbagai upaya pemanfaatan yang mendorong penguatan ekonomi masyarakat pesisir dapat meningkatkan pemahaman cara pandang yang berkontribusi kepada peningkatan kesadaran masyarakat pesisir yang pada akhirnya dapat memperkokoh ketahanan nasional. Upaya ini menjadi bagian penting dalam proses integrasi nasional yang mempersatukan bangsa maritim kepulauan. Secara Demografi, Implementasi Pengelolaan Kawasan konservasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir dilihat dari tingkat pendapatan, pendidikan kesehatan maupun profesionalismenya. Kondisi yang diharapkan adalah: (1) Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif dapat mendorong perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja di bidang penangkapan ikan, budidaya, pariwisata bahari; (2) Meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat pesisir melalui terciptanya pemanfaatan lingkungan yang seimbang dan berwawasan lingkungan; (3) Tersedianya tenaga professional di bidang budidaya perikanan, penangkapan ikan, pariwisata bahari maupun pengawasan dan penegakan hokum; (4) Tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat pesisir di bidang perikanan budidaya, perikanan tangkap dan pariwisata bahari berbasis pengelolaan kawasan konservasi perairan; (5) Meningkatnya pemahaman konservasi di kalangan pengusaha maupun masyarakat yang berdampak pada kesadaran dan partisipasi politik, sehingga tercapai keseimbangan kualitas Sumberdaya manusia.
Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional terutama dilihat dari peningkatan nilai manfaat sumber kekayaan alam, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan. kondisi yang diharapkan adalah: (1) Nilai pemanfaatan sumberdaya meningkat dan memberikan kontribusi bagi perekonomian lokal masyarakat pesisir maupun pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, nilai ekonomi terumbu karang yang dimanfaatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang optimal dapat mencapai 15.000 USD sampai dengan 45.000 USD per kilometer persegi per tahun. (2) Kontribusi sektor perikanan kepada PDB meningkat secara konsisten setiap tahun. (3) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pekerjaan alternatif di kawasan konservasi, mampu menumbuhkan ekonomi lokal secara konsisten meningkat. Setidaknya, pendapatan dari ekonomi alternatif tersebut mampu menggandakan pendapatan rumah tangga nelayan masyarakat pesisir. (4) Pendapatan daerah dan pendapatan sektor yang menjadi dampak pengelolaan kawasan konservasi perairan meningkat secara signifikan, seperti pengusahaan penginapan, jasa operator wisata, biro perjalanan, retribusi jasa lingkungan, maupun berbagai atraksi yang selain meningkatkan pendapatan juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar; (5) Tenaga kerja sektor perikanan diharapkan meningkat, yang meliputi kegiatan di hulu sampai di hilir. Hal ini sejalan dengan optimalisasi pemanfaatan konservasi berbasis industrialisasi perikanan yang akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar; (6) Investasi baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) meningkat tajam, sebagai hasil dari terciptanya iklim investasi yang kondusif; (7) Pengelolaan kawasan konservasi yang optimal menjadi penggerak ekonomi sektor informal.
Secara Sosial Budaya. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi diharapkan mampu menciptakan kondisi sosial budaya masyarakat pesisir yang lebih baik dari kondisi saat ini. Kondisi yang diharapkan adalah: (1) Konflik sosial antar masyarakat, terutama konflik horisontal dan konflik antar daerah sebagai akibat perebutan daerah penangkapan dapat dihilangkan dan terwujud suasana kondusif; (2) Meningkatnya kesejahteraan sosial masyarakat pesisir sebagai dampak tumbuhnya perekonomian dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan; (3) Semakin kecilnya kesenjangan sosial diantara pelaku usaha dan antara stake holders perikanan terutama nelayan dan pembudidaya ikan, serta kesenjangan sosial antar daerah. Sebaliknya terjadi pemerataan pendapatan serta keadilan kesempatan berusaha; (4) Tingkat kesejahteraan masyarakat lokal sebagai pelaku perikanan terutama nelayan dan pembudidaya makin meningkat, ditandai dengan kenaikan pendapatan rumah tangga penduduk yang meningkat setiap tahun secara konsisten mejadi dua kali lipat dari kondisi sebelumnya; (5) Kesadaran masyarakat akan pemanfaatan sumber daya ikan secara lestari makin meningkat, yang ditunjukan oleh makin kecilnya tingkat perusakan lingkungan dan penggunaan bahan beracun dan peledak; (6) Jumlah masyarakat miskin makin berkurang, ditunjukan dengan meningkatnya jangkauan program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah meningkat dan merata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (7) Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; (8) Terpeliharanya budaya lokal masyarakat pesisir yang telah diakomodasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan secara efektif dan berkelanjutan; (9) Kesadaran masyarakat untuk gemar makan ikan makin meningkat, untuk memperbaiki mutu gizi dan kecerdasan, diwujudkan dengan meningkatnya konsumsi ikan masyarakat secara konsiten setiap tahun; (10) Budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, baik nelayan maupun pembudidaya ikan semakin meningkat, kesadaran dalam pengelolaan lingkungan meningkat, sehingga pola konsumtif berubah menjadi produktif dan efisien; (11) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir yang ditunjukkan dengan meningkatnya pendidikan dan partisipasi politik masyarakat
Misalnya: Dari 110 spesies yang tercatat di dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai di wilayah penangkapan (McClanahan 1994 in Roberts & Hawkins 2000).
Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap telah dikembangkan mata pencaharian alternative pengelolaan kepiting bakau di KKP. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). Di Raja Ampat, dikelola dengan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKP untuk kegiatan menyelam, Demikian pula di beberapa daerah seperti BERAU, Nusa Penida - KLUNGKUNG, PangumbahanSUKABUMI, Pesisir timur Pulau Weh - SABANG, Selat Pantar – ALOR,selain dampak perikanan, praktek pengelolaan konservasi telah nyata memperbaiki kualitas ekosistem, meningkatkan kunjungan wisata bahari dan menyumbangkan PAD bagi daerahnya. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah lainnya.
Beberapa cuplikan tentang dampak wilayah perlindungan laut di wilayah Indo-Pasifik berdasarkan negara. Indonesia. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan) (McClanahan et al. 2006). Papua New Guinea. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk and Ahus) (McClanahan et al. 2006). Pilipina. Biomassa predator ukuran besar meningkat 8 kali di wilayah perlindungan Apo. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat (Russ & Alcala 1996, in Roberts & Hawkins 2000).Hawaii. Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kenya. Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat 10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine National Park bila dibandingkan di wilayah perlindungan di mana penangkapan diizinkan (Watson & Ormond 1994, in Roberts & Hawkins 2000).
Manfaat konservasi telah nyata meningkatkan produksi perikanan tangkap, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu mencegah kolaps tangkapan. Kawasan konservasi yang dikelola secara konsisten beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan meningkat 40 (empat puluh) persen. Hasil kajian menyatakan bahwa produksi larva akan meningkat pada perlindungan terhadap 20 - 30% luasan habitat penting di kawasan konservasi.
Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan antara lain, ditetapkannya target nasional yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, yang menjadi dasar komitmen kementerian kelautan dan perikanan untuk menggandakan target menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagaimana pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007. Hingga 2014, luasan kawasan konservasi perairan laut telah tercapai lebih dari 16 juta ha. Komitmen ini berlanjut pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang memberikan perhatian khusus dan memprioritaskan pembangunan di sektor maritim. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa kata kunci program maritim untuk bidang kelautan dan perikanan adalah keberlanjutan (sustainability), sehingga upaya konservasi yang dilakukan, khususnya terhadap habitat penting termasuk di wilayah 0-4 mil laut yang menjadi tulang punggung pembangunan kelautan dan perikanan.
Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 45 tahun 2009. Kaitannya dengan desentralisasi, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Undang-undang ini telah mengalami metamorfosa berpijak dari pembelajaran desentralisasi selama sepuluh tahun. Undang-undang Pemerintahan daerah yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan suberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Pengalihan urusan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil bidang konservasi dari kabupaten ke provinsi dalam wilayah pengelolaan laut sampai 12 mil dapat dikatakan merupakan antitesis pelaksanaan desentralisasi pada level kabupaten/kota yang cenderung kebablasan. Semoga upaya konservasi, dengan pengaturan sistem desentralisasi yang baru ini dapat memperbaiki fungsi lingkungan sumberdaya laut dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kebijakan dan peraturan yang ada tersebut, diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan dapat terwadahi.
Dasar Hukum dan Perangkat Peraturan-perundangan terkait Pengelolaan Konservasi kawasan dan Jenis Ikan
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perikanan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009.
- Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014.
- Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan;
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.03/Men/2010 tentang tata cara penetapan perlindungan jenis ikan, sebagaimana diubah dengan 35/Permen-KP/2013.
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.. Per.04/Men/2010 tentang tata cara pemanfataan jenis dan genetik ikan;
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan;
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No Kep. 59/Men/2011 tentang Perlindungan terbatas ikan terubuk;
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18/Kepmen-KP/ 2013 tentang Perlindungan Ikan Hiu Paus;
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 37/Kepmen-KP/2013 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon;
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 4/Kepmen-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta;
- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 46/Kepmen-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Waktu Bambu laut (isis sp.)
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/Permen-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 13/Permen-KP/2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan;
- Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No. Kep. 44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K);
- Peraturan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. 02/Per-DJKP3K/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Program-program strategis untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan, efektif dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat terus dilakukan melalui berbagai upaya pokok pengelolaan kawasan konservasi, antara lain: perlindungan habitat dan populasi biota perairan, rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi, serta pengembangan kerjasama dan/jejaring konservasi. Program inisiasi dalam rangka percepatan pengelolaan kawasan konservasi perairan untuk mendukung perikanan berkelanjutan dalam hal fasilitasi penguatan rencana pengelolaan, kelembagaan, pembangunan infrastruktur kawasan maupun pengembangan sistem pengelolaan kawasan yang terpadu juga terus dilakukan baik berupa pilot project/program percontohan maupun melalui dukungan tugas pembantuan, dekonsentrasi, dana alokasi khusus, kemitraan, kerjasama serta komitmen pendanaan yang berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Program-program percontohan dalam rangka mendorong upaya pemanfaatan kawasan konservasi untuk perikanan berkelanjutan, pariwisata berbasis konservasi maupun aspek pemanfaatan lainnya terus ditingkatkan. Pada akhirnya ketika semangat mengelola kawasan konservasi terus tumbuh dan semakin efektif, maka buah efektivitas pengelolaan selanjutnya mampu dinilai dan dapat dianugerahi penghargaan. Anugerah Kawasan Konservasi Perairan (E-KKP3K Awards) secara tersendiri ataupun menjadi satu kesatuan dengan program lainnya merupakan pemberian penghargaan sebagai apresiasi untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif.
Kunci keberhasilan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan adalah melalui Pengelolaan Bersama (Kolaboratif), pada prakteknya tentu bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar utamanya, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. hal ini sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola berdasarkan sistem zonasi dan upaya ini sedikitnya dapat dilakukan melalui tiga strategi pengelolaan, yaitu: (1) Melestarikan lingkungannya, melalui berbagai program konservasi, (2) menjadikan Kawasan Konservasi sebagai penggerak ekonomi, melalui program pariwisata alam perairan dan pendanaan mandiri yang berkelanjutan, dan (3) pengelolaan kawasan konservasi sebagai bentuk tanggungjawab sosial yang mensejahterakan masyarakat.
Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada kawasan konservasi, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di kawasan tersebut. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah WAJIB hukumnya. Co-management, kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Upaya-upaya pembinaan masyarakat melalui pengembangan alternatif mata pencaharian di kawasan konservasi telah dikembangkan, seperti misalnya pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, maupun kegiatan lainnya. Sebagai bentuk partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan juga telah dikembangkan alternatif pencaharian seperti pembuatan kerupuk ikan, pembuatan cindera mata dan kerajinan, maupun berbagai aktivitas lain yang mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat digandeng sebagai mitra.
Penatakelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif dapat tercapai melalui perencanaan pengelolaan dan manajemen zonasi yang baik, tersedianya sumberdaya manusia dan lembaga pengelola yang kompeten, tersedianya infrastruktur dan sarana pendukung yang baik, maupun upaya-upaya pengelolaan kawasan yang dilakukan secara sinergis dan terpadu. Semoga Perwujudan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan yang Efektif untuk Mendukung Perikanan Berkelanjutan bagi Kesejahteraan Masyarakat bukan hanya ucapan semata namun segera dapat tercapai.
Konservasi menopang Pilar Keberlanjutan (Sustainability). Berbagai manfaat kawasan konservasi untuk keberlanjutan ekosistem penting untuk mendukung produksi perikanan tangkap berkelanjutan telah nyata dan banyak bukti ilmiah sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan mampu mewujudkan keseimbangan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya untuk tujuan konservasi dan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir. Pemanfaatan geografis secara optimal bagi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang diharapkan antara lain: (1) Pengelolaan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dapat dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi bagi usaha perikanan (tangkap dan budidaya), sehingga tidak ada lagi WPP yang overfishing maupun WPP yang underfishing; (2) Wilayah bioekoregion dilakukan secara optimal dan seimbang pemanfaatannya, dikembangkan sebagai kawasan konservasi untuk menjamin ketangguhan kawasan konservasi yang ada di Indonesia; (3) Optimalisasi pemanfaatan wilayah geografi kawasan konservasi perairan untuk kegiatan budidaya perikanan dan penangkapan ikan ramah lingkungan; Peningkatan fungsi geografi wilayah pemanfaatan umum sesuai penataan ruang/zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk kegiatan perikanan budidaya dan penangkapan ikan sesuai kapasitas dan potensinya serta peningkatan ekonomi masyarakat secara merata
Pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan dan optimalisasinya untuk kawasan konservasi perairan diharapkan dapat memanfaatkan Sumberdaya baik yang berasal dari perairan laut, perairan umum dan berdampak dalam menopang ekonomi masyarakat pesisir serta menunjang pembangunan nasional. Kondisi pemanfaatan sumberdaya laut untuk perikanan yang diharapkan adalah: (1) Wilayah perairan laut seluas 5,8 juta Km2 meliputi perairan teritorial dan ZEEI dimanfaatkan secara optimal sampai pada tingkat produksi yang sesuai dengan tingkat JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) secara merata di sebelas WPP menggunakan prinsip-prinsip konservasi untuk perikanan berkelanjutan; (2) Pemanfaatan kawasan konservasi untuk kegiatan yang secara tidak langsung menggunakan sumber kekayaan alam, yaitu melalui pemanfaatan wisata bahari untruk meningkatkan nilai sumberdaya dan jasa lingkungan; (3) Pemanfaatan ekosistem mangrove dan terumbu karang di kawasan konservasi yang terjaga dengan baik, berpeluang untuk perdagangan karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim. (4) Mengoptimalkan keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan alam untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional dan budidaya laut bernilai ekonomis tinggi di kawasan konservasi untuk kesejahteraan masyarakat pesisir; (5) Peningkatan identifikasi dan eksplorasi potensi kelautan, terutama di laut dalam guna mencari sumber energi maupun sumberdaya ikan potensial, serta melakukan konservasi biota laut migrasi; (6) Menata keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan laut di sepanjang nusantara baik di dalam kawasan konservasi maupun eksploitasi sumber kekayaan alam di luar kawasan konservasi dengan prinsip kelestarian sumberdaya
Konservasi menopang Pilar Kedaulatan (Sovereignty). Peningkatan upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi juga dibarengi dengan identifikasi dan inventarisasi potensi calon kawasan konservasi, diutamakan pada wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar yang rawan disintegrasi. Pengembangan kawasan konservasi ini untuk menjawab target 20 Juta hektar Kawasan konservasi pada tahun 2020 (akan dicapai pada 2019 berdasarkan Draft Renstra KKP 2015-2019). Optimalisasi pengembangan kawasan konservasi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar diharapkan mampu memperkuat integrasi yang mengokohkan wawasan nusantara, mengeliminasi terjadinya pelanggaran hukum, illegal fishing maupun eksploitasi sumberdaya yang berlebih yang mengancam degradasi sumberdaya lingkungan. Pengelolaan efektif kawasan konservasi dilakukan terhadap tiga aspek yang menjadi indikator utama dalam pengelolaan kawasan konservasi, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Penguatan status hukum kawasan di tingkat internasional dengan cara mendaftarkan pada Peta Pelayaran Internasional, mampu mencegah pelanggaran penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan zonasinya dan secara konsisten dapat mengatasi segala ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang mengancam kedaulatan wilayah laut Indonesia.
Secara Politis. Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai pandangan wawasan nusantara ditinjau dari perspektif politik baik luar maupun dalam negeri, diharapkan adanya dukungan politik yang kuat agar pengelolaan kawasan konservasi dapat dilaksanakan secara efektif sehingga mampu memperkokoh pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. (1) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mampu meningkatkan peran Indonesia secara global dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim. selain itu, pembangunan yang berwawasan lingkungan yang dijalankan mampu meningkatkan posisi tawar nilai sumberdaya ikan dalam percaturan perikanan dunia dan regional semakin menonjol dan Indonesia dapat menjadi anggota bagian utama dalam penentuan kebijakan perikanan dunia dan regional yang berwawasan lingkungan; (2) Konsep pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menerapkan prinsip konservasi merupakan kepentingan dunia internasional, secara politis mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi, yang diharapkan meningkatkan komitmen dunia internasional untuk memberikan bantuan teknis dan operasional dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (3) Peraturan perundang-undangan, kebijakan dan pedoman teknis yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi serta kebijakan nasional yang lebih berpihak kepada sektor kelautan dan perikanan diharapkan mendapat dukungan politik dari supra struktur politik, terutama untuk mengatasi berbagai kepentingan konservasi perairan yang saat ini masih terdapat mandat ganda, yakni berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990, UU nomor 41 Tahun 1999 dengan UU nomor 31 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 27 tahun 2007 serta UU nomor 32 tahun 2004, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi. Harmonsisasi berbagai peraturan menuju sinergi yang mendorong optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan dapat direalisasikan dalam waktu dekat dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dapat melaksanakan peraturan perundangan tersebut sesuai kewenangannya. (4) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan mendapat dukungan politik dari supra struktur politik, terutama DPR dalam penentuan APBN, APBD maupun dukungan kebijakan yang mampu mendorong pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan kawasan konservasi lebih efektif. Demikian pula diharapkan komitmen dari kementerian sektor yang berkaitan dengan pembangunan konservasi di wilayah peisisir dan pulau pulau kecil dalam mendukung suksesnya pembangunan ekonomi masyarakat pesisir seperti masalah kesyahbandaran, pariwisata bahari, ekonomi kreatif, pendidikan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijaksanaan fiskal dan keringanan pajak, subsidi BBM, masalah perdagangan, ketenaga kerjaan dan penegakan hukum. (5) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara politis menentukan partisipasi politik dan orientasi pilihan warga masyarakat pesisir terhadap pemimpin di daerah, mapun orientasi masyarakat secara umum dalam pemilihan pemimpin nasional. Issue konservasi sering menjadi ganjalan dalam proses pemilihan umum karena pemahaman politik calon pemimpin terhadap konservasi yang masih sangat minim.
Dalam hal Pertahanan dan Keamanan. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi dilihat dari perspektif Hankam harus dapat memberikan manfaat bagi pembangunan Hankamneg, terutama partisipasi masyarakat dalam sistem hankam serta sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan sebagai komponen pendukung. Kondisi yang diharapkan adalah sebagai berikut: (1) Sumberdaya manusia pendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan yang telah terlatih dalam pengawasan perikanan berbasis masyarakat dapat menjadi pendukung kepolisian dan TNI dalam pengelolaan keamanan di wilayah laut, secara simultan dapat mendukung sistem pertahanan dan keamanan nasional. (2) Pos jaga, pusat informasi, kantor pengelola kawasan konservasi perairan, maupun prasarana pelabuhan perikanan, dirancang untuk mampu mendukung kepentingan operasi laut bila diperlukan pada masa krisis atau perang. Oleh karenanya, khususnya dalam pemilihan posisi pelabuhan yang dapat menampung kapal-kapal besar (PPS), harus sesuai dengan posisi strategis untuk operasi laut. Untuk mampu menghadapi ancaman musuh maka pelabuhan PPS dijadikan pangkalan pertahanan yang menghadap samudera (3) Pusat informasi kawasan konservasi yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau terluar, dalam kondisi perang dapat dijadikan pos supply logistik dari industri-industri perikanan pendukung dan pengolah hasil perikanan. (4) Kapal-kapal perikanan dengan kapasitas 100 GT ke atas dapat dimanfaatkan sebagai komponen pendukung Armada cadangan untuk angkut personel maupun persenjataan dan sekaligus berfungsi sebagai deteksi dini kapal-kapal musuh. Untuk keperluan tersebut diperlukan pelatihan kepada para Nakhoda kapal. (5) Masalah illegal fishing yang berdampak kepada kerugian negara dan terjadinyaoverfishing, diharapkan dapat diatasi secara bertahap, melalui garda terdepan kawasan konservasi di pulau-pulau terluar, diharapkan terwujud ketertiban dan keamanan di laut melalui koordinasi dan kerjasama harmonis diantara aparat penegak hukum di laut tercipta dengan baik.
Konservasi menopang Pilar Kesejahteraan (Prosperity). Paradigma baru pengelolaan KKP/KKP3K dibawah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak hanya berbicara tentang perlindungan dan pelestarian, tetapi menekankan pentingnya pemanfaatan kawasan konservasi demi mendukung kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam KKP meliputi pemanfaatan untuk perikanan tangkap dan budidaya, pemanfataan wisata, pemanfaatan penelitian dan pengembangan, serta kegiatan ekonomi lainnya yang menunjang konservasi. Namun demikian pemanfaatan yang dilakukan dalam KKP ini bersifat terbatas dan harus mengutamakan kepentingan kelestarian sumberdaya, sehingga harus memperhatikan daya dukung kawasan. Secara prinsip maupun praktek di lapangan, dampak kawasan konservasi telah jelas dalam peningkatan hasil tangkapan masyarakat lokal. Hasil pengukuran efektivitas melalui E-KKP3K dapat menjadi indikator peningkatan ekonomi masyarakat pesisir, bersumber dari hasil tangkapan ikan di wilayah tangkap nelayan yang merupakan limpahan manfaat kawasan konservasi perairan. Dampak ini nyata dalam mendorong peningkatan pendapatan langsung masyarakat dan menggerakkan sektor ekonomi pendukung di wilayah pesisir. Demikian pula penilaian dampak pengelolaan wisata bahari terhadap fungsi lingkungan kawasan konservasi perairan diperlukan dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan efektif kawasan konservasi. Manfaat langsung pariwisata bahari dapat menjadi sumber pendanaan jasa lingkungan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Peluang ini sangat nyata dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi yang cukup efektif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Operasionalisasi pengelolaan efektif KKP melalui berbagai upaya pemanfaatan yang mendorong penguatan ekonomi masyarakat pesisir dapat meningkatkan pemahaman cara pandang yang berkontribusi kepada peningkatan kesadaran masyarakat pesisir yang pada akhirnya dapat memperkokoh ketahanan nasional. Upaya ini menjadi bagian penting dalam proses integrasi nasional yang mempersatukan bangsa maritim kepulauan. Secara Demografi, Implementasi Pengelolaan Kawasan konservasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir dilihat dari tingkat pendapatan, pendidikan kesehatan maupun profesionalismenya. Kondisi yang diharapkan adalah: (1) Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif dapat mendorong perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja di bidang penangkapan ikan, budidaya, pariwisata bahari; (2) Meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat pesisir melalui terciptanya pemanfaatan lingkungan yang seimbang dan berwawasan lingkungan; (3) Tersedianya tenaga professional di bidang budidaya perikanan, penangkapan ikan, pariwisata bahari maupun pengawasan dan penegakan hokum; (4) Tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat pesisir di bidang perikanan budidaya, perikanan tangkap dan pariwisata bahari berbasis pengelolaan kawasan konservasi perairan; (5) Meningkatnya pemahaman konservasi di kalangan pengusaha maupun masyarakat yang berdampak pada kesadaran dan partisipasi politik, sehingga tercapai keseimbangan kualitas Sumberdaya manusia.
Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional terutama dilihat dari peningkatan nilai manfaat sumber kekayaan alam, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan. kondisi yang diharapkan adalah: (1) Nilai pemanfaatan sumberdaya meningkat dan memberikan kontribusi bagi perekonomian lokal masyarakat pesisir maupun pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, nilai ekonomi terumbu karang yang dimanfaatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang optimal dapat mencapai 15.000 USD sampai dengan 45.000 USD per kilometer persegi per tahun. (2) Kontribusi sektor perikanan kepada PDB meningkat secara konsisten setiap tahun. (3) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pekerjaan alternatif di kawasan konservasi, mampu menumbuhkan ekonomi lokal secara konsisten meningkat. Setidaknya, pendapatan dari ekonomi alternatif tersebut mampu menggandakan pendapatan rumah tangga nelayan masyarakat pesisir. (4) Pendapatan daerah dan pendapatan sektor yang menjadi dampak pengelolaan kawasan konservasi perairan meningkat secara signifikan, seperti pengusahaan penginapan, jasa operator wisata, biro perjalanan, retribusi jasa lingkungan, maupun berbagai atraksi yang selain meningkatkan pendapatan juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar; (5) Tenaga kerja sektor perikanan diharapkan meningkat, yang meliputi kegiatan di hulu sampai di hilir. Hal ini sejalan dengan optimalisasi pemanfaatan konservasi berbasis industrialisasi perikanan yang akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar; (6) Investasi baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) meningkat tajam, sebagai hasil dari terciptanya iklim investasi yang kondusif; (7) Pengelolaan kawasan konservasi yang optimal menjadi penggerak ekonomi sektor informal.
Secara Sosial Budaya. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi diharapkan mampu menciptakan kondisi sosial budaya masyarakat pesisir yang lebih baik dari kondisi saat ini. Kondisi yang diharapkan adalah: (1) Konflik sosial antar masyarakat, terutama konflik horisontal dan konflik antar daerah sebagai akibat perebutan daerah penangkapan dapat dihilangkan dan terwujud suasana kondusif; (2) Meningkatnya kesejahteraan sosial masyarakat pesisir sebagai dampak tumbuhnya perekonomian dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan; (3) Semakin kecilnya kesenjangan sosial diantara pelaku usaha dan antara stake holders perikanan terutama nelayan dan pembudidaya ikan, serta kesenjangan sosial antar daerah. Sebaliknya terjadi pemerataan pendapatan serta keadilan kesempatan berusaha; (4) Tingkat kesejahteraan masyarakat lokal sebagai pelaku perikanan terutama nelayan dan pembudidaya makin meningkat, ditandai dengan kenaikan pendapatan rumah tangga penduduk yang meningkat setiap tahun secara konsisten mejadi dua kali lipat dari kondisi sebelumnya; (5) Kesadaran masyarakat akan pemanfaatan sumber daya ikan secara lestari makin meningkat, yang ditunjukan oleh makin kecilnya tingkat perusakan lingkungan dan penggunaan bahan beracun dan peledak; (6) Jumlah masyarakat miskin makin berkurang, ditunjukan dengan meningkatnya jangkauan program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah meningkat dan merata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (7) Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; (8) Terpeliharanya budaya lokal masyarakat pesisir yang telah diakomodasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan secara efektif dan berkelanjutan; (9) Kesadaran masyarakat untuk gemar makan ikan makin meningkat, untuk memperbaiki mutu gizi dan kecerdasan, diwujudkan dengan meningkatnya konsumsi ikan masyarakat secara konsiten setiap tahun; (10) Budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, baik nelayan maupun pembudidaya ikan semakin meningkat, kesadaran dalam pengelolaan lingkungan meningkat, sehingga pola konsumtif berubah menjadi produktif dan efisien; (11) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir yang ditunjukkan dengan meningkatnya pendidikan dan partisipasi politik masyarakat
Sumber : Suraji; KONSERVASI Kunci Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan: Mengukuhkan Pilar Keberlanjutan, Kedaulatan, dan Kesejahteraan; https://www.linkedin.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar