Rabu, 12 Oktober 2016
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan
Kawasan konservasi Perairan atau sering disingkat dengan KKP menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/MEN/2010 adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Pengelolaan kawasan perairan dengan cara konservasi merupakan bentuk kearifan dalam pengelolaan. Kearifan dalam mengelola alam sesungguhnya sudah menjadi ciri dari bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Hal itu ditandai dengan adanya berbagai kearifan lokal di berbagai daerah di tanah air yang merupakan peninggalan beberapa lapis generasi terdahulu yang masih lestari hingga saat ini. Di antaranya kita mengenal sasi di Maluku dan Papua, Panglima Laot di Aceh, lubuk larangan di Sumatera, kelong di Batam, mane’e di Sulawesi Utara, awig-awig di Lombok, dan bahkan terdapat berbagai kearifan lokal yang berlaku dalam cakupan wilayah yang kecil di berbagai wilayah di Nusantara. Hal itu berarti konservasi sebagai sebuah kearifan dalam pengelolaan bukanlah hal yang baru, tetapi merupakan wajah kearifan masyarakat dalam konteks modern yang dibingkai dalam aturan hukum negara.
Indonesia mencanangkan memiliki kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. Sampai saat ini tercatat sudah sekitar 15 juta Ha kawasan konservasi dan terus dilakukan upaya untuk meningkatkan jumlah luas tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya luas wilayah kawasan konservasi perairan secara keseluruhan, pemahaman tentang pengelolaan kawasan konservasi yang ideal juga semakin berkembang. Hingga saat ini dikenal adanya beberap kategori yang menandai ideal tidaknya suatu kawasan konservasi baik nasional, atau daerah.
Terdapat tujuh kategori ideal kawasan konservasi perairan yakni perencanaan dan disain kawasan, pelibatan stakeholder, keatuhan dan penegakan hukum, kepatuhan dan penegakan hukum, monitoring dan evaluasi, pengembangan ekonomi berkelanjutan, operasional lapangan, serta manajemen administrasi dan keuangan. Mengetahui kategori tersebut membantu pengelola untuk mengidentifikasi kondisi yang terdapat pada KKP tentang apa yang kurang atau perlu dibenahi dan dikembangkan.
b. Tujuan
Tulisan ini ditujukan untuk menjadi bahan informasi dan perbandingan dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan untuk menjadi rule dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan termasuk rencana pencadangan suatu kawasan untuk dibentuk menjadi KKP.
TUJUH KATEGORI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
Mengelola sebuah kawasan konservasi merupakan sebuah proses panjang untuk sampai pada tujuan besar pengelolaan. Berbagai kawasan konservasi di tanah air mengalami proses panjang untuk sampai pada pencapaian tujuan-tujuan pembentukan dan pengelolaannya. Dimulai dari perencanaan untuk dicadangkan, lalu pencadangan dan memperoleh legalitas dan pengakuan, kemudian pengelolaan sumberdaya secara minimu, lalu meningkat menjadi pengelolaan sumberdaya secara optimum, sampai kepada level tinggal landas dimana KKP sudah memperoleh berbagai bonus dari pengelolaan. Proses-proses tersebut membutuhkan waktu yang bisa sampai berpuluh tahun. Untuk memudahkan proses pengelolaan suatu kawasan maka penting untuk diketahui tentang kategori-kategori pengelolaan KKP yang ideal ada dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi.
1. Perencanaan dan desain Kawasan Konservasi Perairan (KKP)
Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan konservasi penting memiliki rencana kawasan dan desain kawasan. Perencanaan kawasan akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan KKP. Di dalam perencanaan terdapat desain KKP yang akan dibentuk dan dikelola. Karakteristik setiap wilayah perairan cenderung berbeda dengan wilayah perairan lainnya, hal ini mempengaruhi perencanaan kawasan.
Perencanaan dan desain KKP akan menggambarkan visi yang akan dicapai dari pegelolaan KKP tersebut. Misalnya suatu kawasan direncanakan untuk menjadi wisata bahari untuk kesejahteraan masyarakat maka desainnya akan banyak menggarisbawahi hal-hal yang berhubungan dengan wisata bahari. Demikian pula halnya KKP yang direncanakan untuk menjaga stok biodiversity akan memiliki desain yang menitikberatkn pada penjagaan stok sumberdaya. Desain kawasan juga akan mengcover seluruh spot yang memiliki peran dalam pencapaian tujuan pengelolaan.
Perencanaan dan desain KKP idealnya lahir melalui pembicaraan bersama antara seluruh masyarakat atau perwakilan masyarakat dengan segenap stakeholder yang ada dalam kawasan. Karena terdapat sangat banyak kepentingan di dalam suatu kawasan. Dengan demikian, desain yang lahir merupakan harmonisasi berbagai kepentingan stakeholder untuk pencapaian tujuan keuntungan bersama baik secara jangkan pendek maupun jangka panjang. Hal ini juga menghindari munculnya masalah didalam pengelolaan nantinya.
Suatu rancangan zonasi perairan adalah wujud perencanaan dan desain kawasan konservasi perairan. Zonasi yang baik merupakan upaya penataan ruang di wilayah pesisir dan perairan untuk kepentingan konservasi sumberdaya dengan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat dan para stakeholder. Tujuan zonasi akan bisa tercapai jika perencanaan dan desainnya baik dan benar. Dari rencana zonasi, akan memuat berbagai hal pengelolaan terutama batas-batas wilayah perairan dan segala aturan yang terkait didalamnya. Pencapaian tujuan zonasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti kepatuhan terhadap aturan, monitoring dan evaluasi, serta aspek pendanaan dan administrasi. Dan satu hal penting yang tidak bisa dilupakan adalah aspek ekonomi berkelanjutan dari masyarakat di dalam kawasan. Hal-hal tersebut akan dibahas kemudian.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan dalam rangka perencaaan dan desain KKP adalah apakah KKP itu penting bagi masyarakat setempat atau tidak. Pertanyaan itu sebaiknya diajukan pada saat lokakarya atau berkumpul dengan masyarakat. Jika jawabannya tidak penting, maka kemungkinan masyarakat membutuhkan sosialisasi yang baik dari stakeholder tentang pentingnya KKP bagi mereka. Setelah masyarakat merasakan bahwa KKP adalah kebutuhan yang penting bagi mereka maka mayarakat itupun dengan mudah bisa diajak untuk merumuskan perencanaan dan desain KKP mereka. Masyarakat adalah elemen yang paling mengenal karakter wilayah mereka dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Karena masyarakatlah yang dalam kurun waktu lama bahkan turun temurun telah bergaul dengan kawasan tersebut berikut berbagai sumberdaya yang ada di dalamnya. Masyarakat juga mengenal dengan baik batas-batas wilayah serta karakter yang terdapat di setiap wilayah tersebut. Oleh karena itu sangat penting membaca kebutuhan masyarakat sebelum membuat perencanaan dan desain KKP. Dengan bersama masyarakat maka rencana pengelolaan akan lebih realistis tercapai karena mereka merupakan salah satu aktor penentu tercapainya tujuan pengelolaan tersebut.
2. Pelibatan Stakeholder
Stakeholder atau para pihak merupakan segenap elemen yang punya kepentingan terhadap sesuatu baik dalam hubungannya dengan ruang ataupun waktu. Stakeholder dalam suatu kawasan atau wilayah perairan termasuk di dalamnya masyarakat pelaku utama (nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasara skala kecil), pelaku usaha perikanan maupun masyarakat tani/kebun di pesisir dan pariwisata. Stakeholder juga termasuk pemerintah pusat dan daerah dengan berbagai jenis institusinya seperti kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, perencanaan dan pembangunan daerah (Bappeda), perindustrian perdagangan dan koperasi, serta perhubungan. Stakeholder juga mencakup berbagai lembaga non pemerintah atau LSM (Non government organization) terutama yang membidangi tentang pengelolaan kawasan konservasi perairan. Stakeholder juga mencakup lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi yang terdapat di dalam kawasan atau memiliki keterkaitan dengan kawasan tersebut, serta lembaga-lembaga masyarakat seperti lembaga adat dan sejenisnya yang turut memiliki andil dalam mempengaruhi perilaku dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan.
Terdapat berbagai LSM atau NGO yang bergerak dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Ada yang wilayah kerjanya lokal dan ada pula yang sampai di tingkat internasional. NGO ini banyak melakukan pengkajian dan pendampingan ke masyarakat secara intens dalam membangun kawasan mereka. Sebagian NGO berkantor atau memiliki pos-pos di masyarakat sehingga familiar bagi masyarakat. Ada pula yang secara tidak langsung memback-up masyarakat tanpa masyarakat ketahui. Selain dengan masyarakat terdapat pula NGO yang membangun kapasitas aparat atau pengelola kawasan itu sendiri seperti Starling Resources yang berkantor di Bali. Bagi penggiat kawasan konservasi perairan tentu familiar dengan NGO seperti CI (Conservation International), WWF (World Wide Foundation), CTC (Coral Triangle Center), TNC (The Nature Conservancy), RARE, Terangi (Terumbu Karang Indonesia) dan berbagai NGO lainnya. Bahkan saat ini NGO konservasi tergabung dalam MPAG atau Marine Protected Area Governance.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, mulai dari proses pencadangan dan perencanaan serta pembuatan desainnya harus melibatkan seluruh stakeholder yang ada di tempat itu. Biasanya kegiatan kumpul bersama dalam lokakarya dan sejenisnya difasilitasi oleh NGO/LSM bekerjasama dengan lembaga pemerintah tertentu dan mengundang berbagai stakeholder terkait. Keterlibatan stakeholder akan mematangkan proses perencanaan dan mengeliminir kemungkinan masalah dan konflik yang bisa muncul kemudian.
Pelibatan stakeholder juga akan mengefektifkan pengelolaan serta mengefisienkan anggaran. Dalam pertemuan-pertemuan bersama antara stakeholder akan memunculkan keinginan mengsinkronisasikan berbagai program dari para pihak baik program kerja lembaga pemerintah, NGO atau program masyarakat. Sebaliknya jika proses perencanaan dan pengelolaan tidak melibatkan stakeholder maka capaian pengelolaan juga tidak akan maksimal bahkan berpeluang menemui hambatan yang akan menggagalkan pencapaian tujuan pengelolaan kawasan itu sendiri. Tanpa pelibatan stakeholder maka pengelolaan akan menjadi parsial dan berjalan lambat serta tidak maksimal.
Apa langkah yang tepat agar semua stakeholder mau dan bisa terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi? Pertama yang harus dilakukan oleh pihak yang menggagas pencadangan kawasan adalah mengidentifikasi dengan detail stakeholder yang ada. Termasuk didalam bagian ini adalah mengidentifikasi kepentingan setiap stakeholder dan peluang keterlibatan mereka dalam pengelolaan kawasan. Tujuan identifikasi tersebut adalah agar kehadiran mereka tidak sekedar menjadi pelengkap tetapi semua memiliki peran penting dan mereka merasa dibutuhkan untuk kesuksesan pengelolaan kawasan konservasi. Selanjutnya mengundang mereka pada pertemuan perdana dengan agenda yang sudah dibatasi agar pertemuan tersebut efektif dan tidak membosankan bagi stakeholder. Hal pertama yang penting dilakukan pada pertemuan perdana adalah penyampaian pentingnya kawasan konservasi perikanan serta pentingnya motivasi dan visi bersama untuk pencapaian tujuan pengelolaan. Langkah ketiga adalah pelibatan setiap stakeholder dalam action plan yang disusun bersama oleh seluruh stakeholder.
Ada hal yang sering dilupakan dalam pembicaraan tentang stakeholder pengelolaan kawasan konservasi yakni kaum wanita dan ibu-ibu nelayan. Peran wanita nelayan sering dianggap sudah terwakili secara penuh oleh para nelayan (suami) mereka. Padahal sesungguhnya sudut pandang mereka bisa saja berbeda, termasuk apa yang dominan mereka alami dan rasakan berbeda dengan dunia suami mereka. Mereka memiliki pemikiran dan harapan sendiri tentang keluarga dan anak-anak mereka serta kehidupan ekonomi rumah tangga mereka. Kaum wanita nelayan juga memiliki ide tentang ekonomi kreatif yang bisa mereka kembangkan untuk membantu suaminya menghidupi keluarga. Hal-hal itu bisa saja luput dari perhatan ketika wanita nelayan tidak dilibatkan sebagai salah satu dari stakeholder yang punya peranan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan.
3. Kepatuhan dan Penegakan Hukum
Hukum adalah masalah yang cukup krusial di Negara kita saat ini. Kewibawaan hukum sedikit banyak tergerus oleh perilaku sebagian aparat penegak hukum yang mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum itu sendiri. Dalam dunia perikanan kita mengenal hukum batas daerah penangkapan atau zona penangkapan, juga mengenal aturan tentang alat tangkap yang boleh dan tidak boleh digunakan didaerah tertentu, serta hukum tentang spesies yang dilindungi. Tetapi faktanya banyak sekali illegal fishing yang terjadi di depan mata masyarakat itu sendiri dan kurangnya upaya penegakan hukum yang serius dari aparat. Hal tersebut secara otomatis menumbuhkan keberanian masyarakat untuk ikut melanggar ketika orang lain disekitarnya berani melakukan pelanggaran dan tidak mendapat sangsi apa-apa. Minimal masyarakat akan apatis dan tidak mau tau dengan kondisi lingkungan ketika berulang-ulang bentuk palanggaran mereka saksikan.
Di dalam masyarakat sesungguhnya sudah terdapat hukum atau aturan yang mereka patuhi secara turun temurun atau yang kita kenal dengan kearifan lokal. Di dalam masyarakat juga biasanya terdapat pranata hukum atau aparat hukum yang disegani dan dipatuhi oleh masyarakat seperti tokoh adat atau tokoh agama. Kehidupan masyarakat berjalan harmonis dengan aturan-aturan tersebut, sampai aturan-aturan tersebut dilanggar oleh masyarakat dari luar yang tidak tahu tentang aturan tersebut atau karena tidak memiliki keterikatan dengan daerah tersebut. Pada konteks ini maka dibutuhkan payung hukum yang lebih besar untuk mengcover wilayah yang lebih luas, serta butuh penguatan dari pemerintah agar aparat penegak hukum dari pemerintah bisa terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.
Aturan yang berasal dari kampung cenderung efektif untuk dijalankan karena secara pilosofis lahir dari kondisi mereka dan harapan kondisi ideal yang akan mereka capai ketika aturan itu ditegakkan. Namun aturan tersebut harus disoalisasikan bukan hanya secara internal masyarakat dalam kawasan itu sendiri tetapi secara eksternal harus tersosialisasi sehingga dipatuhi oleh masyarakat luar. Untuk mencapai hal tersebut peranan pemerintah dan LSM serta institusi pendidikan akan sangat membantu. Ketika sudah tersosialisasi maka aturan akan lebih mudah ditegakkan dan masyarakat punya acuan untuk penerapannya. Kumpulan aturan-aturan dari kampung-kampung itu akan membentuk sebuah aturan makro pengelolaan kawasan secara luas.
Menurut Anonim (2013) yang dimodifikasi dari Oposa (1996) ada empat prinsip dasar pada penegakan hukum yaitu :
1. Hukum adalah perjanjian pada seperangkat aturan yang tujuannya harus dianggap sebagai keinginan dan didukung oleh individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pada umumnya, hukum bertujuan untuk mempromosikan ‘kebiasaan baik.” Hukum bisa dilaksanakan lebih baik dan lebih efektif jika individu memahami dan menghargai alasan adanya hukum.
2. Pemasaran dan pendidikan tentang hukum pesisir. ‘Menjual hukum’ sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Orang-orang akan jauh lebih mematuhi aturan jika mereka (a) menyadari bahwa aturan itu ada, (b) mampu memahami, dan setuju dengan, alasan yang mendasari aturan, dan (c) menyadari bahwa akan ada konsekuensi jika mereka melanggar aturan itu. Orang harus disadarkanmengapa hukum tersebut ada, serta konsekuensi dari tindakan merekajika mereka melanggarnya.
3. Hukuman yang tepat harus dilaksanakan untuk mencegah perilaku ilegal. Penuntutan terhadap pelanggar yang terbukti secara hukum adalah penting. Proses penuntutan peradilan berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku.
4. Faktor sosial budaya harus dipertimbangkan dalampelaksanaan hukum. Atribut budaya khusus, seperti yang kadang-kadang bersifat sangat pribadi tentang hubungan antara penegak dan pelanggar, dan faktor-faktor seperti “kehilangan muka” dan menghindar dari penghinaan publik, harus dipahami dan dimasukkan ke dalam rancangan pendekatan penegakan
Keberadaan aturan serta kepatuhan terhadap aturan tersebut akan mendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan berjalan dengan baik. Semua perencanaan dan desain pengelolaan kawasan hanya akan berjalan efektif jika ada kepatuhan terhadap hukum. Sumberdaya alam sangat rentan terhadap degradasi oleh eksploitasi, apalagi dengan motivasi masyarakat untuk alasan ekonomi dan bertahan hidup. Dengan adanya aturan yang ditegakkan maka akan meminimalisir pelanggaran dan meminimalisir tingkat kerusakan sumberdaya.
4. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi adalah maintenance dari program pengelolaan kawasan konservasi perairan. Monitoring atau pemantauan adalah kegiatan melihat proses pengelolaan kawasan dan menyesuaikannya dengan pencapaian tujuan pengelolaan berkelanjutan. Dari hasil pemantauan akan diketahui ada tidaknya perubahan yang terjadi pada sumberdaya berdasarkan rentang waktu periode pemantauan dan seberapa besar perubahan yang terjadi jika ada.
Monitoring dan evaluasi membutuhkan kapasitas yang memadai dari pemantau. Kapasitas pemantauan dan evaluasi adalah kemampuan membaca kondisi sumberdaya yang dikelola dan perubahan yang terjadi. Hal ini membutuhkan skill pemantauan atas tiga aspek utama pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif, yang menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.30 Tahun 2010 tiga aspek tersebut yakni aspek tata kelola, aspek sosial ekonomi dan budaya, serta aspek biofisik. Tata kelola di antaranya meliputi peningkatan SDM, kelembagaan dan administrasi, aturan, infrastruktur, kemitraan, jejaring dan pendanaan, serta monitoring dan evaluasi. Aspek sosial ekonomi dan budaya meliputi pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, pelestarian adat dan budaya serta monitoring dan evaluasi. Sedangkan aspek biofisik meliputi perlindungan serta rehabilitasi habitat dan populasi ikan, pemanfaatan sumberdaya ikan, penilitian dan pengembangan, pariwisata alam dan jasa lingkungan, pengawasan dan pengendalian serta monitoring dan evaluasi.
Ketiga aspek tersebut merupakan hal yang sangat kompleks, sehingga pekerjaan monitoring dan evaluasi harus dikerjakan bersama oleh stakeholder. Khusus untuk pemantauan biofisik juga dibutuhkan keterampilan membaca kondisi biofisik dengan memahami kriteria baku kondisi sumberdaya seperti yang tertuang dalam beberapa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang kriteria baku kerusakan mangrove, karang, padang lamun dan baku mutu air laut.
Selain pengetahuan tentang cara pengambilan data di lapangan, monitoring dan evaluasi juga membutuhkan pengetahuan tentang tata cara mengelola data (input, analisis dan interprestasi). Selanjutnya tim monitoring dan evaluasi juga harus punya pengetahuan tentang cara penulisan laporan dan mengkomunikasikan hasil monitoring dan evaluasi tersebut kepada stakeholder terkait. Tujuan monitoring dan evaluasi adalah menjadi bahan informasi untuk pengambilan keputusan tentang pola pengelolaan apakah perlu perubahan atau tidak.
Monitoring dan evaluasi akan menjadi perangkat yang mengingatkan pengelola tentang kondisi baik atau buruk yang terjadi. Kondisi seperti ambang batas perubahan yang ditoleransi atau LAC (limit of acceptable change) atau standar perubahan yang ditetapkan atas sumberdaya, hanya bisa diketahui melalui kegiatan monitoring (Agussalim dalam www.bp3ambon-kkp.org, 2014). Perbaikan dan percepatan pengelolaan juga bisa diperoleh dari informasi hasil monitoring dan evaluasi.
5. Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan
Suatu kawasan konservasi perairan sebagai wilayah yang berada pada pesisir dan laut pada umumnya memiliki potensi sumber ekonomi berkelanjutan. Pesisir dan laut secara umum memiliki potensi perikanan, pariwisata bahari dan jasa. Potensi tersebut jika dikelola dengan baik akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkelanjutan bagi masyarakat kawasan konservasi.
1. Budidaya Ikan dan Rumput Laut
Potensi perikanan yang baik untuk dikembangkan menjadi aktivitas ekonomi berkelanjutan di antaranya budidaya ikan dan rumput laut. Ikan yang bisa dibudidayakan banyak jenisnya tergantung karakteristik wilayahnya serta nilai ekonomis jenis tersebut, misalnya kerapu, bobara/kuwe, dan jenis ikan lainnya termasuk udang, dan kepiting. Dari hasil budidaya perikanan masyarakat akan memiliki pendapatan yang baik dan berkelanjutan. Pengetahuan tentang budidaya ikan akan menjadi alternative yang sangat baik bagi masyarakat nelayan yang selama ini hanya bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan.
2. Pengolahan Hasil Perikanan
Pengolahan hasil perikanan menjadi berbagai jenis olahan juga menjadi alternatif kegiatan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat kawasan konservasi perairan. Ikan hasil tangkapan nelayan bisa diolah oleh ibu dan wanita nelayan menjadi berbagai jenis olahan seperti abon, nugget, bakso, otak-otak, kerupuk, sosis, serta berbagai diversifikasi olahan ikan lainnya. Termasuk didalam berbagai jenis olahan tersebut adalah olahan rumput laut menjadi dodol, permen, manisan, selai, cendol, bahkan sabun, yogurt, saos, nata, biscuit dan sebagainya yang semuanya berbahan dasar rumput laut.
3. Pengolahan Hasil Pertanian/Perkebunan
Wilayah pesisir tidak hanya menyediakan produk perikanan dan laut, tetapi dipesisir juga terdapat pertanian dan perkebunan. Sebagian masyarakat di kawasan konservasi biasanya tetap mempertahankan ketergantungan sumber pendapatan mereka pada aktivitas bertani atau berkebun. Sebagian lagi menjadikan aktivitas pertanian sebagai alternative atau sambilan ketika sedang tidak melaut. Berbagai jenis hasil pertanian menjadi bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat baik didalam kawasan konservasi maupun masyarakat secara luas. Produk pertanian terseut selain dijual utuh atau mentah juga potensial diolah menjadi berbagai jenis olahan yang bisa menjadi sumber pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat. Contohnya di Kaimana masyarakat mengolah buah merah menjadi minyak buah merah yang memilikki banyak khasit untuk kesehatan. Meskipun harganya mahal tetapi buah merah diminati pengunjung Kaimana karena minyak tersebut sulit ditemukan di daerah lain. Terdapat juga sirup dari mangrove, serta berbagai jenis madu berkualitas tinggi seperti yang banyak dijual di Wakatobi. Masih banyak contoh lain yang bisa dimunculkan sebagai bukti bahwa produk pertanian/perkebunan pesisir kawasan konservasi memiliki potensi ekonomi berkelanjutan.
4. Pariwisata (alam, budaya dan kuliner)
Pariwisata menjadi salah satu komoditas yang berperan strategis dalam pengembangan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat kawasan konservasi perairan. Hal itu karena pariwisata selain menjadi salah satu produk yang dijual oleh masyarakat, pariwisata sekaligus menjadi pemasok konsumen (pembeli) bagi produk yang dihasilkan oleh masyarakat seperti ikan hasil tangkapan nelayan atau hasil olahan masyarakat baik olahan ikan, rumput laut, maupun olahan hasil pertanian/perkebunan. Produk pariwisata itu sendiri terbagi dalam berbagai jenis yakni wisata alam, wisata budaya, dan wisata kuliner khas daerah.
Wilayah pesisir dan laut di nusantara menyajikan berbagai jenis keindahan alam yang berpotensi mengundang wisatawan. Keindahan alam itu terbentang mulai dari keindahan pantai dan pasir putihnya dengan berbagai flora dan fauna di sekitarnya sampai pada keindahan terumbu karang dengan berbagai jenis ikan warna warni didalamnya. Keragaman budaya di nusantara juga menjadi daya tarik wisata bernilai tinggi dan sebagian besar budaya tersebut berbasis pada budaya bahari sehingga menjadi paket tak terpisahkan dari kegiatan wisata bahari. Berbagai citarasa makanan khas daerah di tanah air juga menjadi potensi wisata, karena sebagian besar pengunjung memiliki keinginan mencoba cita rasa baru yang berasal dari daerah yang baru dikunjunginya, sehingga menjadi pelengkap kegiatan wisata yang dilakukannya.
Berbagai jenis kerajinan souvenir bisa menjadi pelengkap kegiatan wisata yang terdapat di dalam KKP. Souvenir kreasi masyarakat dalam kawasan akan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan menjadi pelengkap perjalanan para pengunjung. Bagian yang tak terlewatkan dari setiap pegunjung adalah cinderamata dari daerah tersebut. Peluang pendapatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Peluang itu dapat dimanfaatkan masyarakat maka perlu pembekalan keterampilan bagi masyarakat.
5. Jasa (transportasi laut, guide, dan bengkel laut)
Ketika suatu kawasan konservasi menawarkan kegiatan pariwisata maka akan tumbuh lagi suatu peluang ekonomi bagi masyarakat yakni jasa. Produk jasa yang bisa dijual masyarakat di kawasan konservasi adalah jasa transportasi. Sebagai wilayah perairan, maka transportasi laut berupa kapal, speed boat, perahu dan sejenisnya memegang peranan kunci untuk berbagai hal terutama untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jasa transportasi tidak harus selalu disiapkan oleh pemerintah. Masyarakat bisa mengambil peluang tersebut dengan menyiapkan jasa angkutan yang akan disewa oleh pengguna untuk mengantarnya sampai ke daerah tertentu. Contoh hal ini di antaranya terdapat di Raja Ampat, dimana pengunjung menggunakan jasa speed boat yang mengantar mereka ke spot-spot wisata seperti Wayag, Sayang, Pianemo dan spot wisata lainnya.
Kegiatan wisata bahari juga membutuhkan guide yang bisa melibatkan masyarakat lokal. Masayarakat selaku orang yang paling mengenal seluk beluk dan karakter wilayah setempat merupakan guide yang paling tepat (asal terlatih dan professional). Masyarakat bisa menjadi guide yang mengantar pengunjung ke spot-spot wisata, termasuk menjadi guide selam untuk wisata bawah air.
Lalu lintas yang terjadi di wilayah kawasan konservasi perairan otomatis membutuhkan jasa perbaikan alat transportasi laut atau bengkel laut. Kerusakan mesin atau bagian tertentu pada speed boat, kapal atau perahu besar kemungkinannya terjadi di laut. Kondisi demikian sangat membutuhkan bengkel laut. Bengkel laut bisa statis tetapi jika dinamis akan lebih baik, agar bisa mendatangi kendaraan laut yang sedang membutuhkan perbaikan.
Seluruh potensi ekonomi tersebut bisa dibangun dengan membekali masyarakat dengan kapasitas yang sesuai kebutuhan mereka. Pihak pemerintah dan NGO serta berbagai stakeholder bisa bekerjasama dalam pembangunan kapasitas yang dibutuhkan masyarakat yang didahului dengan lokakarya perencanaan pengembangan kapasitas pengelolaan wilayah konservasi perairan.
6. Operasional Lapangan
Pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat bergantung pada operasional lapangan yang meliputi pengawasan dan patroli. Operasional lapangan membutuhkan dana yang cukup besar dan komponen pendukung yang harus memadai. Operasional lapangan berkembang seiring perkembangan pengelolaan kawasan konservasi. Bisa dimulai dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat pengawas atau Pokmaswas, selanjutnya mengidentifikasi kebutuhan untuk pengawasan dari Pokmaswas tersebut. Kebutuhan akan pos pengawasan, speedboat pengawasan atau perangkat pengawasan seperti HT (handy talk), senjata api, GPS dan sebagainya bisa secara perlahan dipenuhi satu persatu berdasarkan prioritas dan kemampuan dana pengelolaan.
Menurut Anonim (2013) pengawasan melibatkan peraturan dan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan untuk memastikan bahwa perundang-undangan nasional, kondisi akses, dan tindakan pengelolaan yang diamati. Komponen pengawasan dalam pemantauan, pengendalian dan pengawasan atau MCS (Monitoring, Control and Surveillance) memerlukan personil perikanan yang tidak hanya mengumpulkan data untuk aspek pemantauan MCS selama tugas pengawasan mereka, tetapi juga dapat berkomunikasi dengan dan mendidik para pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan konservasi partisipatif. Orang ini harus memiliki perlengkapan yang sesuai dan fasilitas, dana operasi dan pelatihan baik untuk mendorong kepatuhan sukarela dan untuk menegakkan hukum bila diperlukan. Pengawasan biasanya merupakan komponen terbesar dan paling mahal untuk didanai. Kegiatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya tidak dieksploitasi berlebihan, perburuan diminimalkan dan pengaturan pengelolaan dilaksanakan.
Jika ditarik kesumberdaya perikanan saja maka upaya meningkatkan kemampuan pengawasan dan penegakan hukum menurut Anonim (2013) melalui kegiatan, antara lain:
– Meningkatkan kegiatan pengawasan;
– Meningkatkan jumlah dan kemampuan petugas pengawasan perikanan dan penyelidik perikanan
– Mengembangkan fasilitas dan prasarana pengawasan perikanan, termasuk pembangunan kapal pengawasan yang baru dan pengembangan Sistem Pemantauan Kapal
– Membentuk unit pelaksana teknis untuk pengawasanperikanan
– Membentuk pengadilan perikanan
– Membentuk forum koordinasi nasional untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum perikanan
– Mengembangkansistem pengawasan perikananberbasis masyarakat
Suatu kawasan konservasi perairan yang telah memiliki perangkat pengawasan yang beroperasi dengan akan sangat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan karena pengawasan yang baik akan mencegah kerusakan sumberdaya. Jika suatu kawasan konservasi belum memiliki kelengkapan operasional lapangan maka seluruh stakeholder harus memikirkan dan berupaya bersama untuk secara bertahap mengefektifkan operasional lapangan bisa berjalan dengan baik.
7. Manajemen Administrasi dan Keuangan
Administrasi dan aspek finansial adalah salah satu faktor penentu pengelolaan kawasan konservasi perairan meskipun bukan satu-satunya tetapi tanpanya hampir semua aspek tidak bisa berjalan dengan baik. Aspek keuangan bukan hal yang sulit diperoleh oleh pengelola KKP tetapi aspek adminstrasi dan pengelolaan keuangan yang baik butuh keterampilan dan pendampingan dari NGO yang membidangi hal tersebut.
Keuangan kawasan konservasi bisa bersumber dari dana pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan dari bantuan badan internasional. Sumber keuangan kawasan konservasi juga bisa berasal dari entrance fee atau tarif masuk kawasan seperti yang berlaku di Raja Ampat Papua Barat yang sekian persen tarif masuknya adalah untuk pengelolaan kawasan konservasi.
Sumber keuangan pengelolaan kawasan konservasi perairan atau sumber pendanaan kawasan perlindungan menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2014) Ada 3 kategori yaitu (a) anggaran pemerintah, (b) kontribusi eksternal, (c) pendanaan lokal. Untuk memperoleh pendanaan secara berkelanjutan, para pemangku kepentingan (stakeholders) harus mempunyai komitmen meningkatkan alokasi pendanaan untuk pembentukan clan pengelolaan secara efektif kawasan perlindungan. Kontribusi sumber-sumber pendanaan lokal perlu ditingkatkan. Salah satu sumber dana lokal potensial adalah merealokasi sebagian dana subsidi yang saat ini diberikan pemerintah untuk pemanfaatan sumber daya alam menjadi dana konservasi.http://www.menlh.go.id/pendanaan-kawasan-perlindungan-di-indonesia/
Administrasi dan pengelolaan keuangan untuk kegiatan pengelolaan kawasan konservasi harus tertata dengan baik mengingat jangka waktu pengelolaan cenderung berjangka panjang. Selain itu banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan bisa bermakna banyaknya kepentingan yang menunggu bagian kucuran dana. Oleh karenanya adminstrasi keuangan harus benar-benar berjalan baik, transparan dan senantiasa bisa dimonitor. Agar adminstrasi keuangan pengelolaan KKP bisa berjalan dengan baik maka pengelola harus mendapat pembekalan (capacity building) dan pendamipngan dari pemerintah maupun NGO. Starling Resources dan RARE adalah NGO yang focus pada pendampingan aparat pengelola kawasan konservasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Pengelolaan kawasan koservasi perairan (KKP) yang ideal memang layaknya menerapkan tujuh kategori pengelolaan yang baik. KKP harus memiliki perencanaan dan desain kawasan konservasi perairan yang akan mengarahkan pada tercapainya visi dan tujuan pembentukan KKP tersebut. Dalam pengelolaan KKP harus melibatkan seluruh stakeholder yang terkait agar memudahkan proses pengelolaan, sinkronisasi program, pengefektifan pembiayaan dan mengeliminir masalah-masalah konflik kepentingan yang bisa terjadi dalam pengelolaan kawasan.
Pengelolaan KKP akan berlangsung dengan baik jika ada kepatuhan dan uopaya penegakan hukum dan aturan yang berlaku. Hukum yang berlaku idealnya adalah hukum yang bersinergi dan lahir dari masayarakat dan seluruh stakeholder yang ada dalam kawasan tersebut. Kepatuhan terhadap aturan juga membutuhkan monitoring dan evaluasi. Selain itu monitoring dan evaluasi akan senantiasa mengontrol kesesuaian proses pengelolaan dengan tujuan dan target pengelolaan KKP yang sudah dirumuskan. Aspek yang dimonitor dan dievaluasi adalah aspek tata kelola, aspek social ekonomi dan budaya serta aspek biofisik yang terdapat di kawasan.
Suatu kawasan perairan yang dikonservasi harus tetap memperhatikan aspek ekonomi berkelanjutan dari masyarakat. Pengembangan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat di KKP bisa dibangun melalui pembangunan kapasitas masyarakat untuk bisa melakukan budidaya perikanan dan rumput laut, pengolahan hasil perikanan dan rumput laut, pengolahan hasil pertanian/perkebunan, pariwisata, jasa transportasi dan jasa bengkel laut serta berbagai pengembangan ekonomi alternative lainnya.
Operasional lapangan berupa pengawasan dan patroli dalam KKP adalah bagian yang memegang peranan kunci keberlangsungan pengelolaan.Pengawasan biasanya merupakan komponen terbesar dan paling mahal untuk didanai. Kegiatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya tidak dieksploitasi berlebihan, perburuan diminimalkan dan pengaturan pengelolaan dilaksanakan.
Administrasi dan keuangan menjadi penentu dari enam kaegori lainnya sebagai penggerak setiap aktivitas yang terkait dengan pengelolaan KKP. Pendanaan pengelolaan KKP bisa bersumber dari anggaran pemerintah, kontribusi eksternal, atau pendanaan lokal. Untuk memperoleh pendanaan secara berkelanjutan, para pemangku kepentingan (stakeholders) harus mempunyai komitmen meningkatkan alokasi pendanaan untuk pembentukan dan pengelolaan secara efektif KKP. Kontribusi sumber-sumber pendanaan lokal jua perlu ditingkatkan
b. Saran
Tujuh kategori pengelolaan KKP tersebut adalah kategori yang harus terpenuhi untuk keberhasilan pengelolaan KKP. Kategori tersebut hanya bisa dilakukan dengan baik jika pengelola dan segenap stakeholder KKP memiliki kapasitas untuk pengelolaan tersebut. Karena itu dibutuhkan identifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas pengelolaan melalui lokakarya dan selanjutnya melakukan pembangunan kapasitas melalui sosialisasi, penyuluhan, pedidikan, pelatihan, bimtek, magang, studi banding dan sebagainya, yang diperlukan untuk pengelolaan. Selain pembangunan kapasitas, juga sebaiknya dilakukan pendampingan dan penjadwalan pertemuan berkala para stakeholder dalam KKP.
Referensi
Anonim, 2013. Melaksanakan Aturan dan Perundang-Undangan Perikanan. Bahan Ajar Diklat Konservasi (Perikanan Berkelanjutan)
http://188.166.252.40/menerapkan-limit-of-acceptable-change-lac-terhadap-pengelolaan-sumberdaya-kelautan-dan-perikanan-untuk-keberlanjutan-oleh-agussalim/ diakses pada tanggal 5 Desember 2014.
http://www.bphn.go.id/data/documents/10pm030.pdf Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/MEN/2010 Tentang Rencana Pengelolaan Dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014.
http://www.kkp.go.id/stp/index.php/arsip/c/834/. Sejarah Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia. Diakses pada tanggal 4 Desember 2014.
http://www.menlh.go.id/pendanaan-kawasan-perlindungan-di-indonesia/. Pendanaan Kawasan Perlindungan. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014.
Sumber : Agussalim, S.Pi*; http://bp3ambon-kkp.org
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar