Sabtu, 24 Juli 2021

Penyakit Ikan - Taura Syndrome Virus

Penyakit merupakan salah satu hambatan utama dalam pengembangan perikanan budi daya di Indonesia. Komisi Nasional Kesehatan Ikan (KNKI) menetapkan empat penyakit utama yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial sangat besar pada budi daya perikanan di Indonesia. Penyakit tersebut, yaitu White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada udang windu dan udang yang lain, Taura Syndrome Virus (TSV) pada udang vannamei, Koi Herves Virus (KHV) pada ikan mas dan koi, dan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada ikan laut (kerapu dan kakap).

Keempat penyakit tersebut merupakan penyakit eksotik lintas batas (transboundary diseases) yang masuk ke Indonesia melalui impor ikan atau udang. Hal ini mendorong sektor perikanan untuk mencari terobosan baru dalam perang melawan penyakit terutama penyakit virus yang berasal dari luar (exotic diseases). Solusi alternatif yang ditawarkan adalah konsep biosekuritas (Beer et al., 2002).

Aplikasi biosekuritas di tingkat nasional diharapkan mampu memperkuat sistem karantina ikan dalam mencegah masuknya penyakit eksotik. Di tingkat budi daya, biosekuritas dilakukan dengan tujuan untuk mencegah masuk, berkembang dan menyebarnya penyakit dari dan ke suatu budi daya (Prayitno dan Sunanto,2003).

Efektivitas program biosekuritas bergantung pada banyak hal, baik faktor teknis, manajerial, maupun ekonomi. Pelaksanaan program biosekuritas memerlukan kepedulian dan disiplin tinggi dari petani pada level pelaksana maupun pengusaha di level manajerial.

Penyakit Taura Syndrome atau TSV dikenal sebagai penyakit fase juvenil pada Litopenaeus vanammei, dan umumnya terjadi antara 14-40 hari pasca tebar di tambak, dengan kematian mencapai 95% apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, kemungkinan infeksi berasal dari induk (vertical transmission ) namun apabila terjadi pada umur 60 hari pasca tebar, kemungkinan infeksi berasal dari media air (horisontal transmision)Resistensi udang windu terhadap TSV masih beluma jelas, namun nampaknya lebih resitensi dibanding udang vanamei Individu yang mampu bertahan TSV msih belum jelas,namun nampaknya infeksi TSV tetap berpotensi sevagai carrier.

Serangan TSV bersifat akut hungga perakut dan dapat mengakibatkan kematian antara 80-95% namun apabila tertolong, kelangsungan hidup dapat mencapai lebih dari 60% Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah, Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian massal.Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carries) TCV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.

Bio- Ekologi Patogen :
• Umumnya terjadi antara 14-40 hari pasca tebar di tambak, dengan kematian mencapai 95%. Apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, kemungkinan infeksi berasal
dari induk (vertical transmission), namun apabila terjadi di atas 60 hari paska tebar; kemungkin infeksi berasal dari media air (horisontal transmission).

• Resistensi udang windu terhadap TSV masih belum jelas, namun nampaknya lebih resisten dibanding udang vannamei.

• Serangan TSV bersifat akut hingga perakut dan dapat mengakibatkan kematian antara 80-95%. Namun apabila tertolong, kelangsungan hidup dapat mencapai lebih dari 60%.

• Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah. Pada fase akut akan terjadi kematian massal. Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis.

• Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.

Gejala Klinis :
• Udang lemah, menolak pakan yang diberikan, dan udang yang sekarat mendekat ke pematang.
• Warna tubuh merah pucat, dan warna merah pada ekor kipas lebih tegas.
• Pada infeksi berat, pernapasan yang tidak teratur pada insang yang terinfeksi
• Pada infeksi berat (akut) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematian didominasi oleh udang yang sedang/baru selesai ganti kulit (moulting), saluran pencemaan kosong dan warna tubuh kemerahan.
• Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson)
• Udang yang selamat dari fase akut, umurnnya mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula

Diagnosa :
Polymerase Chain Reaction (PCR)

Gambar 1. Udang vannamei yang terinfeksi Taura syndrome virus (TSV), sirip ekor tampak berwarna merah

Gambar 2. Udang vannamei yang selamat dari kasus penyakit Taura syndrome (TS), tampak adanya gurat hitam (melanisasi) pada daging udang

Pengendalian :
• Belum ada teknik pengobatan yang efektif, oleh karena itu penerapan biosecurity total selama proses produksi (a.l penggunaan benur bebas TSV, pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu, stabilitas kuialitas lingkungan) sangat dianjurkan.
• Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang (misalnya aplikasi mikroba esensial: probiotik, bacterial flock, dll.).
• Sanitasi pada semua peralatan dan pekerja dalam semua tahap proses produksi.
• Desinfeksi suplai air dan pencucian dan/atau desinfeksi telur dan nauplius juga dapat mencegah transmisi vertikal
• Pemberian unsur imunostimulan (misalnya suplementasi vitamin C pada pakan) selama proses pemeliharaan udang
• Teknik polikultur udang dengan spesies ikan (mis: tilapia) dapat dilakukan untuk membatasi tingkat patogenitas virus TSV dalam tambak, karena ikan akan memakan udang terinfeksi sebelum terjadi kanibalisme oleh udang lainnya




Referensi:

Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J. H. Boon, 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan., Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Amri, K.. 2006. Budidaya Udang Windu Secara Intesif. Penerbit Agromedia Pustaka. Jakarta.

Haliman, R. W., Adijaya, D. S., 2006. Udang vaname. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta

Hanggono, B., 2006. Peranan Biosekuriti Dalam Budidaya Udang Vaname. Makalah

Pelatihan Best Management Practices (BMP) Budidaya Udang Vaname 6 – 11 Juni 2006. Balai Budidaya Air Payau Situbondo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar