Senin, 19 Juli 2021

Penyakit Ikan - White Spot Syndrome

Penyakit merupakan salah satu hambatan utama dalam pengembangan perikanan budi daya di Indonesia. Komisi Nasional Kesehatan Ikan (KNKI) menetapkan empat penyakit utama yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial sangat besar pada budi daya perikanan di Indonesia. Penyakit tersebut, yaitu White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada udang windu dan udang yang lain, Taura Syndrome Virus (TSV) pada udang vannamei, Koi Herves Virus (KHV) pada ikan mas dan koi, dan Viral Nervous Necrosis (VNN) pada ikan laut (kerapu dan kakap).Keempat penyakit tersebut merupakan penyakit eksotik lintas batas (transboundary diseases) yang masuk ke Indonesia melalui impor ikan atau udang. Hal ini mendorong sektor perikanan untuk mencari terobosan baru dalam perang melawan penyakit terutama penyakit virus yang berasal dari luar (exotic diseases). Solusi alternatif yang ditawarkan adalah konsep biosekuritas (Beer et al., 2002).

Aplikasi biosekuritas di tingkat nasional diharapkan mampu memperkuat sistem karantina ikan dalam mencegah masuknya penyakit eksotik. Di tingkat budi daya, biosekuritas dilakukan dengan tujuan untuk mencegah masuk, berkembang dan menyebarnya penyakit dari dan ke suatu budi daya (Prayitno dan Sunanto,2003).

Efektivitas program biosekuritas bergantung pada banyak hal, baik faktor teknis, manajerial, maupun ekonomi. Pelaksanaan program biosekuritas memerlukan kepedulian dan disiplin tinggi dari petani pada level pelaksana maupun pengusaha di level manajerial

Penyakit ikan biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang diberikan, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran ikan yang tinggi jika faktor lingkungan kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam dalam air rendah, pakan yang diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang sempurna, maka ikan akan menderita stress. Dalam keadaan demikian ikan akan mudah terserang oleh penyakit (Snieszko, 1973 ; Sarig, 1971).

Pada perairan alami, penyakit dapat mengakibatkan kerugian ekonomis. Karena penyakit dapat menyebabkan kekerdilan, periode pemiliharaan lebih lama, tingginya konversi pakan, tingkat padat tebar yang rendah dan Sehingga dapat mengakibatkan menurunnya atau hilang produksi.

Timbulnya serangan penyakit adalah hasil interaksi yang tidak sesuai antara hospek, kondisi lingkungan dan organisme penyebab penyakit. Interaksi yang tidak serasi tersebut dapat menimbulkan stress pada ikan, nafsu makan menurun, yang selanjutnya menyebabkan mekanisme pertahanan tubuh tidak bekerja secara optimal, akhirnya infeksi dan infestasi penyakit mudah masuk (Afrianto dan Liviawati, 1992).

Kerugian akibat infestasi ektoparasit memang tidak sebesar kerugian akibat infeksi organisme patogen lain seperti virus dan bakteri, namun infestasi ektoparasit dapat menjadi salah satu faktor predisposisi bagi infeksi organisme patogen yang lebih berbahaya. Kerugian non lethal lain dapat berupa kerusakan organ luar yaitu kulit dan insang, pertumbuhan lambat dan penurunan nilai jual (Bhakti, 2011).

Untuk mencapai target produksi perikanan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai permasalahan menghambat upaya peningkatan produksi tersebut, antara lain kegagalan produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus.

Widyastuti et al (2002), menyebutkan penyakit pada ikan dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Keduanya bersifat merugikan bagi pertumbuhan/perkembangan ikan. Serangan penyakit dapat dideteksi dari suatu jenis parasit yang menyerang ikan, maka perlu adanya identifikasi parasitenis parasit tersebut. Sehingga dapat diketahui cara penanggulangan yang tepat terhadap serangan spesies dari suatu jenis parasit tersebut. Secara fisik, efek negatif yang ditimbulkan dari serangan parasit lebih jelas terlihat pada serangan ektoparasit, sehingga penanganannya relatif lebih mudah.

Berdasarkan hal yang diatas, peneliti ingin mengetahui tentang organisme parasit yang ada Krueng Inoeng, seperti jenis parasit, sebagai informasi mengenai ekologi parasit dan inangnya diperairan sungai tersebut. Selanjut berguna bagi kepentingan budidaya sebagai upaya untuk pencegahan dan penanggulangan terhadap serangan parasit agar produksi ikan dapat terjaga dan terus meningkat.Penyakit WSS adalah penyakit yang menyerang pada udang. Penyakit ini disebabkan oleh virus spesies White Spot Syndrome Virus, famili Nimaviridae. Tingkat kematian akibat infeksi virus ini mencapai 100 % dalam waktu 3-19 hari post infeksi. Penyakit ini dikenal dengan nama penyakit bintik putih pada udang. Virus ini bereplikasi di nukleus, berbentuk ellipsoid sampai basil, beramplop dengan ukuran 270-120 nm, memiliki ekor di salah satu kutub partikel virus. Nukleokapsid silindris berukuran 300×65 nm.

Stabilitas virus, agen inaktivasi pada suhu <120 menit pada suhu 500C, dan < 1menit pada suhu 600C. Stabil selama 30 hari pada suhu 300C, pada kondisi air laut dan stabil selama 3-4 hari pada kolam. Faktor predisposisi, rendahnya kadar oksigen dan temperature air, serta pengelolaan pakan yang jelek (Anonim, 2007).

~ Penularan penyakit terjadi hanya melalui perantara karier (pembawa bibit penyakit) berupa udang jambret (Mesopodopsis sp.), udang liar, kepiting, rajungan dan benih udang windu yang ditebar sudah terkontaminasi di pembenihan. Bangkai udang terinfeksi yang dimakan oleh udang sehat dapat mengakibatkan terjadinya penularan virus. Infeksi terutama terjadi pada saat stadium pramolting, sehingga menimbulkan pola bercak pada saat pasca molting karena kerusakan sel ektodermal yang mengakibatkan proses deposisi kalsium menjadi abnormal pada kutikula, kemudian terbentuk lesi putih karena transfer eksudat dari sel epitel ke kutikula melalui kanal pori-pori kutikuler.

~ Organ target dari WSSV pada udang penaeid/ windu adalah jaringan ektodermal (epidermis kutikuler, saluran pencernaan depan dan belakang, insang dan jaringan saraf) dan mesodermal (organ limfoid, glandula antenna, jaringan ikat dan jaringan hematopoietik). Pada infeksi awal, organ yang terkena adalah lambung, insang, kutikula epidermis, dan jaringan ikat hepatopankreas. Pada stadium lanjut, terjadi pelepasan partikel virus dari lesi ke hemolimfe menyebabkan viremia. Infeksi berat terjadi pada organ limfoid, glandula antenna, jaringan otot, jaringan hematopoietik, jantung, lambung, dan saluran pencernaan belakang.

Bio – Ekologi Patogen :

• Memiliki kisaran inang yang luas yaitu golongan udang penaeid (Penaeus monodon, P. japonicus, P. chinensis, P. indicus, Litopenaeus vannamei, dll.) serta beberapa krustase air.
• Sangat virulen dan menyebabkan kematian hingga 100% dalam beberapa hari. Individu yang bertahan hidup pada saat terjadi kasus tetap berpotensi sebagai carrier.
• Penularan umumnya terjadi melalui kanibalisme terhadap udang yang sakit dan mati, atau langsung melalui air. Beberapa jenis krustase juga diketahui sangat potensial sebagai pembawa (carriers).
• Burung dapat menularkan WSSV dari satu petak tambak ke petak lainnya melalui bangkai udang yang lepas dari gigitannya.
• WSSV mampu bertahan dan tetap infektif di luar inang (di dalam air) selama 4-7 hari.

Gejala Klinis :
• Infeksi akut akan mengakibatkan penurunan konsumsi pakan secara drastic
• Lemah, berenang ke permukaan air, tidak tidak terarah atau mengarah ke pematang tambak
• Tampak bercak putih di karapas dan rostrum, tidak selalu tampak pada fase acute tetapi akan tampak pada fase subacute dan kronis
• Udang yang sekarat umumnya berwarna merah kecoklatan atau pink
• Populasi udang dengan gejala-gejala tersebut umumnya akan mengalami laju kematian yang tinggi hingga 100% dalam tempo 3-10 hari.

Diagnosa :
Polymerase Chain Raection (PCR)


Gambar 1. Udang windu yang terinfeksi white spot syndrome virus (WSSV), tampak adanya bercak putih di seluruh tubuhnya



Gambar 2. Karapas udang vannamei yang terinfeksi white spot syndrome virus (WSSV), penuh dengan bercak putih

Pengendalian :
• Belum ada teknik pengobatan yang efektif, oleh karena itu penerapan biosecurity total selama proses produksi (a.l penggunaan benur bebas WSSV, pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu, stabilitas kuialitas lingkungan) sangat dianjurkan.
• Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang (misalnya aplikasi mikroba esensial: probiotik, bacterial flock, dll.).
• Desinfeksi suplai air dan pencucian dan/atau desinfeksi telur dan nauplius juga dapat mencegah transmisi vertikal
• Pemberian unsur imunostimulan (misalnya suplementasi vitamin C pada pakan) selama proses pemeliharaan udang

• Teknik polikultur udang dengan spesies ikan (mis: tilapia) dapat dilakukan untuk membatasi tingkat patogenitas virus WSSV dalam tambak, karena ikan akan memakan udang terinfeksi sebelum terjadi kanibalisme oleh udang lainnya.

Referensi
  1. Amri, K.. 2006. Budidaya Udang Windu Secara Intesif. Penerbit Agromedia Pustaka. Jakarta.
  2. Anonymous, 2004. Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Pembudidayaan. Jakarta.
  3. Ghufran M. Kordi H. Panggulangan K,. 2004, .Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Bina Adiaksara. Jakarta.
  4. Haliman, R. W., Adijaya, D. S., 2006. Udang vaname. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta
  5. Donna Oc, Buku Saku Penyakit Ikan; milis-ipkani@googlegroups.com
  6. Wiwin Wiyani; Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Serang Direktorat Jenderal Perikanan BudidayaKementerian Kelautan dan Perikanan,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar