Senin, 13 April 2020

Penanganan Hasil Perikanan - Kemunduran Mutu


Langkah Strategis Meningkatkan Pengolahan dan Pemasaran Hasil ...
ikan yang digunakan sebagai bahan baku di dalam pengolahan sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses pengolahan dan berpengaruh juga terhadap mutu produk yang dihasilkan. Semakin tinggi mutu ikan yang digunakan dapat diperkirakan bahwa proses pengolahan akan berjalan semakin lancar dan peluang untuk menghasilkan produk bermutu tinggi akan semakin besar. Oleh karena itu, syarat utama yang pertama kali harus dipenuhi dalam proses pengolahan ikan adalah tersedianya bahan baku ikan bermutu tinggi.
Hal yang hampir pasti tidak akan dapat diperoleh adalah menghasilkan produk olahan bermutu tinggi dengan menggunakan bahan baku ikan bermutu rendah. Selain itu, sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat menjadikan ikan bermutu rendah diubah atau ditingkatkan mutunya menjadi ikan bermutu tinggi. Dengan menggunakan teknologi yang ada, hal yang dapat dilakukan terhadap mutu ikan adalah mempertahankan mutu ikan jangan sampai menurun atau berkurang tingkat kesegarannya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat ikan termasuk salah satu bahan yang mudah sekali rusak atau busuk. Iklim tropis Indonesia dengan suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung terhadap proses pembusukan ikan sehingga memungkinkan kerusakan ikan berlangsung dengan cepat bila tidak ada upaya untuk menghambatnya.

Proses pembusukan ikan dapat berlangsung lebih cepat apabila (1) cara pemanenan atau penangkapan tidak dilakukan dengan benar; (2) cara penanganan tidak mempraktikkan cara penanganan ikan yang baik; (3) sanitasi dan higiene tidak memenuhi persyaratan; dan (4) fasilitas penanganan dan pengolahan tidak memadai. Faktor-faktor tersebut di atas sering secara sadar atau tidak sadar kurang diperhatikan. Penanganan awal yang baik tampaknya sangat menentukan terhadap mutu ikan segar yang dihasilkan. Sayangnya banyak nelayan atau pembudidaya ikan kurang menyadari tentang hal tersebut sehingga sering kali ikan yang setelah ditangkap atau dipanen tidak diupayakan secara optimal untuk mencegah penurunan mutunya, misalnya dengan pemberian es yang cukup. Sering ikan di-es, tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah ikan yang diawetkan.

Kondisi iklim Indonesia dengan suhu harian yang tinggi (25−32oC) dan kelembaban tinggi (70−90%) menyebabkan ikan tersebut cepat rusak. Tanpa penanganan yang baik hanya dalam waktu 10−12 jam ikan sudah busuk. Untuk itu, pengetahuan tentang kemunduran kesegaran dan pembusukan ikan perlu dipahami, termasuk cara penilaian terhadap kesegaran ikan. Pada dasarnya mutu ikan segar dapat dilihat dari aspek kesegaran dan pembusukan. Dengan memahami bagaimana ikan membusuk dan cara penilaiannya akan sangat bermanfaat, terutama untuk menentukan tindakan apa, bagaimana dan kapan harus dilakukan upaya agar ikan tetap segar dan bermutu tinggi.

Daging ikan mengalami serangkaian perubahan setelah kematian ikan sampai daging ikan tersebut busuk dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Perubahan tersebut terutama disebabkan oleh sistem enzim atau mikroorganisme yang terdapat pada ikan. Proses penurunan mutu ikan segar diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat di dalam ikan, proses ini disebut proses kemunduran mutu kesegaran ikan. Proses tersebut berlangsung hingga tahap tertentu, kemudian disusul dengan makin berkembangnya aktivitas mikroba pembusuk, proses ini dikenal dengan proses pembusukan.

A. KEMUNDURAN KESEGARAN IKAN

Apabila ikan setelah ditangkap atau dipanen yang kemudian mati tidak ditangani dengan cepat menggunakan alat dan peralatan yang saniter dan higienis serta tidak segera menurunkan suhu ikan maka ikan akan mengalami penurunan mutu yang akhirnya menjadi busuk. Kemunduran kesegaran ikan disebabkan oleh tiga jenis aktivitas, yaitu reaksi autolisis, reaksi kimiawi, dan aktivitas mikroorganisme. Berdasarkan kepada penyebab penurunan mutu kesegaran ikan tersebut, tahapan penurunan mutu kesegaran ikan digolongkan menjadi 3 tahapan, yaitu pre rigor, rigor mortis, dan post rigor (Gambar 1.3).

Sumber: Noguchi, (1972).

Gambar 1.3.
Diagram Proses Kemunduran Mutu Ikan Segar

1. Reaksi Autolisis dan Reaksi Kimiawi
Di dalam jaringan tubuh ikan yang masih hidup sudah terdapat enzim. Enzim menguraikan protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Penurunan kesegaran ikan setelah ikan mati yang disebabkan oleh reaksi enzimatis berlangsung pada tahap pre-rigor dan rigor mortis. Perubahan awal yang terjadi ketika ikan mati adalah peredaran darah berhenti sehingga pasokan oksigen untuk kegiatan metabolisme berhenti menyebabkan aktivitas penurunan mutu ikan di dalam otot ikan berlangsung dalam kondisi anaerobik. Pada saat tersebut ikan berada pada tahap pre-rigor, yang hilang bersamaan dengan matinya ikan adalah sistem kendali. Akibatnya, proses enzimatis berjalan tanpa kendali yang mengakibatkan perubahan biokimia yang luar biasa.

Salah satu tanda tersebut adalah ikan mulai melepaskan lendir yang cair, bening atau transparan yang menyelimuti seluruh tubuh ikan dan proses ini disebut hiperemia yang berlangsung 2−4 jam. Makin lama pelepasan lendir makin banyak dan lendir ini menjadi media ideal bagi pertumbuhan bakteri pembusuk dan untuk penetrasi ke dalam tubuh ikan.

Beberapa saat kemudian tubuh ikan menjadi kaku (rigor mortis) akibat berbagai reaksi biokimia. Biasanya proses ini berlangsung sekitar 5 jam.Selama berada dalam tahap rigor mortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti bahwa apabila rigor martis dapat dipertahankan lebih lama maka proses pembusukan dapat ditekan.

Ketika ikan mati, senyawa organik di dalam otot terdekomposisi oleh enzim yang masih aktif di dalam jaringan. Pada tahap awal senyawa yang terhidrolisa paling cepat adalah karbohidrat dalam daging, yaitu dalam bentuk glikogen dihidrolisa menjadi asam laktat yang akumulasinya di dalam otot menyebabkan penurunan pH dan besarnya penurunan pH tergantung pada jumlah glikogen yang terdapat di dalam otot. Ketika ikan masih hidup terdapat pasokan O2, dan karbohidrat tersebut dibakar menghasilkan karbondioksida dan air. Oleh karena ikan mati dalam keadaan meronta-ronta, sebagian glikogen berkurang sehingga akumulasi asam laktat dalam otot tidak banyak. Ikan hidup mempunyai nilai pH daging sekitar 7,0 dan setelah mati turun menjadi pH 5,8 hingga 6,2. Pada gilirannya, kejadian ini mestimulasi enzim-enzim yang menghidrolisa fosfat organik. Fosfat yang pertama kali terurai adalah fosfat kreatin dengan membentuk kreatin dan asam fosfat, yang kemudian diikuti oleh terurainya adenosin trifosfat (ATP) membentuk adenosin difosfat (ADP) dan asam fosfat.

Penguraian ATP tersebut menghasilkan energi yang besar di dalam jaringan otot sehingga mengakibatkan berkontraksinya otot (aktin dan miosin) dan akhirnya otot menjadi kaku dan tidak dapat kembali ke sifat semula. Pada tahap ini ikan memasuki tahap kekejangan (rigor mortis).

Dengan turunnya pH, enzim-enzim dalam jaringan otot yang aktivitasnya berlangsung pada pH rendah menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak struktur jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan bakteri. Demikian pula enzim lain yang ada dalam organ tubuh ikan, misalnya dalam perut, melakukan aktivitas yang sama. Hal ini mengakibatkan daging ikan menjadi agak lunak. Fase perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini disebut dengan autolisis. Ikan dalam fase auotolisis ini sering masih dianggap cukup segar dan layak dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase transisi antara segar dan busuk.

Dalam fase tersebut perubahan mutu ikan mulai dapat diamati penampilannya. Pada tahap pre-rigor ikan masih memiliki rupa, bau, rasa dan tekstur menyerupai ikan yang baru mati dan mendekati kondisi ikan hidup. Otot ikan masih lentur sehingga tubuh ikan lemas dan lentur. Makin lama ikan menjadi lebih suram dan kurang cemerlang. Daging mulai lembek dan kemampuan daging untuk menahan air mulai menurun. Mata ikan mulai kemerahan atau buram. Bau ikan yang semula segar dan harum mulai berubah menjadi amis. Walau demikian, selama aktivitas enzimatis masih berlangsung, ikan masih tergolong segar.

Meskipun demikian, selain menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, proses enzimatis di atas dalam batas tertentu justru menguntungkan. Penguraian ATP menjadi AMP (adenosine monofosfat) atau IMP (inosine monofosfat) akan menghasilkan rasa gurih karena kedua senyawa tersebut termasuk flavour enhancer (pemberi rasa sedap) dan jumlahnya mencapai maksimum pada puncak rigor mortis. Pada tahap lebih lanjut autolisis menghasilkan senyawa-senyawa hipoksantin yang menyebabkan rasa pahit. Terurainya protein menjadi asam amino tertentu juga memberikan rasa lezat, misalnya asam glutamate yang gurih atau glisin yang manis. Asam amino bebas seperti itu sebenarnya sudah ada dalam daging ikan sejak ikan hidup, terutama ikan laut.

Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan, perubahan warna daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau, dan perubahan lain yang tidak dikehendaki.

Di dalam hubungannya dengan pengawetan, harus diusahakan memperpanjang waktu pre-rigor dan rigor mortis yang merupakan faktor sangat penting dalam kaitannya untuk mempertahankan kesegaran ikan. Ikan yang berada dalam kondisi pre-rigor dan rigor mortis sangat disukai tidak hanya dapat dimakan dalam keadaan mentah, tetapi juga sangat baik digunakan untuk bahan baku pengolahan produk perikanan. Ikan yang telah memasuki tahap perubahan tekstur menjadi empuk walaupun proses pembusukan belum terjadi jika diolah tidak akan menghasilkan produk dengan mutu dan rendemen seperti yang diharapkan.

2. Aktivitas Mikroorganisme
Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Pada umumnya daging ikan yang masih segar adalah steril, bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Setelah ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut secara perlahan-lahan berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan organ ikan yang tadinya steril mulai dijadikan tempat berkembangbiaknya bakteri. Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, pada saat jaringan otot longgar dan jarak antarserat diisi oleh cairan. Walaupun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang paling baik adalah produk-produk hidrolitik hasil proses autolisis, seperti asam amino dan senyawa-senyawa nitrogen non-protein (trimethilamin oksida/TMAO, histidin, urea). Ikan laut yang mengandung senyawa-senyawa nitrogen non-protein lebih banyak dibandingkan dengan ikan air tawar, memerlukan waktu yang lebih singkat untuk proses dekomposisi.

Dekomposisi protein oleh bakteri merubahnya menjadi asam-asam amino. Pada tahap selanjutnya asam-asam amino mengalami deaminasi dan dekarboksilasi yang membentuk senyawa-senyawa lebih sederhana oleh enzim-enzim spesifik dari mikroba. Produk hasil dekomposisi yang paling sering digunakan untuk menduga tingkat kesegaran ikan adalah amonia dan monoamin yang paling sederhana (metilamin, dimetilamin, trimetilamin) yang lebih dikenal sebagai basa-basa menguap; senyawa sulfor menguap H2S dan merkaptan berupa metil merkaptan dan etil merkaptan); dan senyawa- senyawa siklis (alkohol, amin). Akumulasi basa-basa menguap, senyawa- senyawa sulfur, alkohol aromatik menguap (fenol, kresol), dan senyawa- senyawa heterosiklik (indol dan skatol) bertanggung jawab terhadap timbulnya bau yang tidak dikehendaki pada ikan. Di samping itu, monoamin skilik (histamin dan fenilatilamin), diamin (putrscin dan kadaverin), basa oksiamonium (neurin) dan fenol, kresol, indol dan skatol adalah senyawa- senyawa beracun yang dapat menyebabkan keracunan makanan.

Asam nukleat pada nukleoprotein membentuk hypoxanthine dan xanthine yang pada kondisi yang cocok berubah menjadi amonia dan karbondioksida. Dekomposisi lipoprotein menyebabkan lipid terurai lebih lanjut. Jika ini terjadi komponen utama fosfatida lesitin, yaitu kholin menghasilkan monoamin sederhana dan senyawa oksiamonium beracun, yaitu ptomain.

Perubahan paling penting terhadap senyawa-senyawa nitrogen non- protein adalah berkurangnya trimetilamin oksida menjadi terimetilamin, dekarboksilasi histidin menjadi senyawa beracun histamin dan dekomposisi urea menghasilkan amonia bebas. Tidak hanya protein dan senyawa-senyawa nitrogen lainnya di dekomposisi oleh bakteri, tetapi juga termasuk lemak. Ini melibatkan hidrolisis trigliserida dan oksidasi lemak membentuk peroksida, aldehid, keton dan asam-asam lemak. Akan tetapi, proses ini lebih lambat dibandingkan dengan dekomposisi senyawa-senyawa nitrogen.

Sejak saat tersebut penguraian protein, lemak dan senyawa lainnya hingga terbentuk senyawa-senyawa yang menyebabkan perubahan bau, rasa, dan penampakan serta bersifat racun yang pada akhirnya jika terakumulasi dalam jumlah yang tinggi ikan akan dinyatakan busuk. Penguraian protein menyebabkan kandungan nitrogen non-protein di dalam ikan meningkat. Lebih lanjut akumulasi basa nitrogen juga menyebabkan daging ikan menjadi lebih alkali sehingga meningkatkan nilai pH-nya.

B. PEMBUSUKAN IKAN

Kecepatan pembusukan ikan sangat tergantung kepada jumlah awal mikroorganisme yang terdapat di dalam lendir pada permukaan ikan, cara mematikan, tingkat ketidakkenyangan dari ikan ketika masih hidup dan faktor-faktor lainnya. Jika lingkungan sesuai bagi mikroorganisme, mereka akan berkembang secara cepat sehingga jumlahnya perlu diperhitungkan dalam hubungannya dengan proses pembusukan ikan. Pada suhu rendah, jumlah mikroorganisme yang rendah pada ikan segar dapat dipertahankan. Pencucian untuk menghilangkan lendir permukaan ikan segera setelah ikan ditangkap atau dipanen dan kemudian disimpan dalam peti atau palka ikan yang bersih adalah praktik yang sebaiknya dilakukan. Kecepatan proses pembusukan sangat tergantung pada jenis ikan. Pada suhu rendah, perbedaan kecepatan pembusukan antarjenis ikan tidak terlihat nyata, tetapi pada suhu yang lebih tinggi beberapa jenis ikan membusuk lebih cepat dibandingkan dengan lainnya.





Gambar 1.4. Ikan Segar yang Mutunya akan Cepat Menurun apabila Tidak Diawetkan

Otot ikan cucut mengandung urea yang tinggi kemudian diubah menjadi amonia dan menyebabkan otot menunjukkan alkalinitas yang kuat walaupun pada kebusukan yang ringan. Cumi-cumi mengandung trimetilamin oksida yang dirombak menjadi trimetilamin dan menyebabkan otot menjadi alkalin. Sebaliknya, ikan daging merah, seperti lemuru, mackerel, dan tuna memiki kandungan trimetilamin oksida yang rendah, tetapi mengandung glikogen relatif tinggi yang membuat otot menjadi asam setelah ikan mati.

Pada jenis ikan yang sama, ikan berukuran lebih kecil akan membusuk lebih cepat karena kondisi fisiknya yang rapuh dan kandungan air dalam jaringan yang lebih tinggi. Ikan yang baru bertelur memiliki kandungan air yang tinggi. Ikan yang perutnya kenyang akan mudah pecah selama penanganan yang kemudian menyebabkan pembusukan dari dalam tubuh ikan. Ikan dengan perut yang kosong akan dapat dipertahankan mutu kesegarannya dari proses pembusukan untuk waktu yang lebih lama.

Bakteri akan tumbuh pada selang suhu yang lebar, yaitu antara 0–45oC. Di dalam air, suhu kehidupannya meningkat antara 25–35oC. Enzim yang berperan pada proses autolisis akan bekerja dengan baik pada suhu 40–45oC untuk ikan laut dan 23–27oC untuk ikan air tawar. Pada suhu di bawah 10oC, pertumbuhan bakteri menurun secara nyata. Akan tetapi, begitu proses pembusukan telah mulai terjadi, peningkatan jumlah mikroba tidak begitu terpengaruh oleh perlakuan penurunan suhu dan pendinginan tidak akan menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, pendinginan sebaiknya dilakukan secepatnya setelah ikan di tangkap atau dipanen. 

Mikroorganisme menyerang tubuh ikan tidak hanya dari permukaan, tetapi juga dari bola mata, insang, dan isi perut. Pembuangan organ tersebut dan pencucian badan ikan dengan air secara baik akan menghambat proses awal pembusukan. Penetrasi mikroba ke dalam daging ikan dan proses dekomposisi secara perlahan-lahan senyawa-senyawa nitrogen mulai terjadi hampir secara simultan dengan autolisis (proteolisis). Akan tetapi, kecepatan dan intensitasnya tergantung pada suhu. Pada suhu rendah, aktivitas bakteri dihambat, dan proses autolitik terjadi lebih intensif dibandingkan dengan dekomposisi bakteri, sebaliknya pada suhu yang tinggi dekomposisi bakterial menjadi lebih dominan.

Kandungan kimia yang dominan pada saat busuk untuk ikan bertulang, ikan bertulang rawan dan ikan air tawar berbeda. Pembusukan pada ikan bertulang diikuti dengan pembentukan amin dalam jumlah besar, khususnya trimetilamin (sebagai hasil dari reduksi trimetilamin oksida), sedangkan basa menguap yang dominan pada ikan air tawar adalah amonia (sebagai hasil proses deaminasi asam-asam amino). Terbentuknya trimetiamin adalah merupakan ciri untuk ikan bertulang rawan, yang tidak ditemukan dalam jumlah yang tinggi pada ikan bertulang yang hidup di laut. Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, ciri khas ikan bertulang rawan, seperti ikan cucut, adalah terdapatnya amonia dalam jumlah yang besar sebagai akibat dekomposisi urea.

C. PENILAIAN KESEGARAN IKAN

Penilaian kesegaran ikan dapat dilakukan secara kimiawi, mikrobiologis, fisik dan organoleptik. Penilaian secara kimiawi, mikrobiologis, dan fisik biasanya memerlukan waktu untuk mengetahui hasil analisisnya.

1. Penilaian Kimiawi
Analisis yang dapat dilakukan untuk penilaian kesegaran ikan secara kimiawi adalah penentuan trimetilamin (TMA), total volatil base (TVB), xanthine oxidase test, dan K-value. Trimetilamin N(CH3)3 memiliki bau seperti amonia yang merupakan hasil dekomposisi trimetilamin oksida dari aktivitas mikroorganisme. Basa menguap yang diukur di dalam penentuan TVB terutama adalah amonia dan trimetilamin. Pada ikan air tawar, TVB yang diukur hampir semuanya adalah amonia. Pada ikan laut berduri, jumlah amonia sebanding atau sedikit lebih banyak dibandingkan dengan trimetilamin, sedangkan pada ikan bertulang rawan, kandungan amonianya jauh lebih banyak dibandingkan dengan trimetilamin.

Xanthine oxidase test digunakan untuk mengukur hipoksantin yang terbentuk selama proses penurunan mutu ikan dari hasil degradasi ATP secara bertahap. Pengukuran hipoksantin memberikan indikasi yang baik terhadap perubahan-perubahan awal post mortem di dalam daging ikan, sedangkan K-value telah secara luas digunakan sebagai indeks untuk menentukan kesegaran ikan di Jepang. K-value adalah menyatakan rasio konsentrasi inosin dan konsentrasi hipoksantin terhadap jumlah total konsentrasi ATP dan produk-produk hasil degradasinya.

2. Penilaian Mikrobiologis
Mutu bakteriologi dan tingkat pembusukan dapat diperkirakan dengan menentukan jumlah total bakteri yang ada pada ikan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa secara umum dapat diterima bahwa aktivitas mikrobiologis adalah termasuk penyebab utama pembusukan pada ikan. Oleh karena itu, hasil penentuan jumlah bakteri secara langsung menunjukkan indeks kesegaran ikan. Akan tetapi, pada umumnya penentuan jumlah bakteri dengan menggunakan metode total plate count (TPC), yaitu dengan menumbuhkannya pada nutrient agar memerlukan waktu sekurang- kurangnya 2–3 hari. Analisis yang memakan waktu ini sudah tentu tidak sesuai bila ditujukan untuk penentuan mutu kesegaran secara cepat.

Penentuan jumlah bakteri seringnya dilakukan pada suhu 35–37oC, walaupun diketahui bahwa mikroflora penyebab pembusukan ikan adalah bakteri psikhrofilik. Suhu inkubasi 0–4oC dan 20–25oC dianjurkan untuk penentuan bakteri penyebab pembusukan pada ikan. Sudah barang tentu waktu inkubasi yang diperlukan untuk suhu 0–4oC lebih lama.

3. Penilaian Fisik
Alat yang telah dikembangkan untuk penentuan kesegaran ikan secara fisik adalah Torry Fish Freshness Meter (atau Torry Meter). Alat ini cocok digunakan untuk penentuan tingkat kesegaran ikan di lapang. Nilai pengukuran yang tertera secara digital pada alat tersebut adalah pada selang 1–19. Jarang nilai pengukuran melewati 16, nilai pengukuran yang lebih tinggi menunjukkan kualitas ikan yang lebih baik. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme terhadap protein dan membran sel menurunkan nilai hasil pengukuran akibat kerusakan ikan. Alat ini dipandang memiliki kelemahan, khususnya kondisi ikan yang telah rusak secara fisik dan memar, serta ikan berlemak mempengaruhi nilai hasil pengukuran. Pengukuran terhadap ikan utuh yang masih berkulit dan ikan yang telah dikuliti menghasilkan nilai pengukuran yang berbeda, walaupun sebenarnya tingkat kesegaran ikannya sama.

4. Penilaian Organoleptik
Metode penilaian secara organoleptik atau sensori merupakan penilaian subjektif yang dilakukan secara individu. Walaupun demikian, penilaian semacam ini sudah sangat memadai dan cukup andal jika dilakukan dengan baik dan oleh orang yang berpengalaman. Selain itu, cara ini lebih mendekati pada preferensi konsumen, mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan canggih dan bahan khusus, serta hasilnya cepat diperoleh.

a. Penilaian organoleptik di lapang
Pada prinsipnya, secara individu setiap orang dapat melakukan penilaian organoleptik terhadap kesegaran ikan karena sebenarnya tidak sulit sehingga siapa pun dapat melakukan penilaian di lapang asal telah mengetahui ciri-ciri ikan yang memiliki tingkat kesegaran tinggi atau ikan yang telah busuk. Cara yang paling mudah adalah pengamatan visual terhadap penampilan ikan. Caranya adalah dengan menggunakan metode 4M, yaitu melihat, meraba, menekan, dan mencium.

Pertama, dengan melihat dan mengamati penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang, dan adanya lendir. Kedua, dengan meraba ikan untuk mengamati kondisi ikan terutama adanya lendir, kelenturan ikan dan lainnya. Ketiga, dengan menekan daging ikan untuk menilai teksturnya. Keempat, dengan mencium bau ikan.

Ikan yang masih segar menunjukkan penampilan yang menarik dan mendekati kondisi ikan yang baru mati dengan tanda-tanda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2. Ikan tampak cemerlang dan mengkilap keperakan sesuai jenis. Permukaan tubuh tidak berlendir atau berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat dan utuh, sedangkan lubang anus tertutup. Mata ikan cembung, cerah dan putih jernih, serta tidak berdarah dengan warna pupil hitam. Insang masih tampak berwarna merah cerah dan tidak berlendir jika berlendir, lendir tersebut sedikit, tipis dan bening. Ikan masih lentur atau kaku dengan tekstur daging pejal, lentur, dan jika ditekan cepat pulih seperti semula. Bau segar atau sedikit agak amis. Jika kondisi semacam ini masih dapat dikenali dengan baik maka ikan dapat dikategorikan sebagai ikan yang masih segar dan bermutu tinggi, tetapi jika tidak maka ikan diduga kesegarannya sudah menurun.

Tabel 1.2.Tanda-tanda Ikan Segar Bermutu Tinggi

No
Parameter
Tanda - tanda
1.
Penampakan
Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenis, badan ikan utuh, tidak
patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat, serta lubang anus tertutup.
2.
Mata
Mata  cerah  (terang),  selaput  mata  jernih,  pupil  hitam  dan
menonjol.
3.
Insang
Insang  berwarna  merah  cemerlang  atau  sedikit  kecokelatan,
tidak ada atau sedikit lendir.
4.
Bau
Bau segar spesifik jenis atau sedikit berbau amis yang lembut.
5.
Lendir
Selaput   lendir   di   permukaan   tubuh   tipis,   encer,   bening,
mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis, dan tidak berbau busuk.
6.
Tekstur dan
daging
Ikan kaku atau masih lemas dengan daging pejal jika ditekan
dengan jari besarnya cepat pulih kembali. Sisik tidak mudah lepas. Jika daging disayat, tampak jaringan antardaging masih kuat dan kompak, sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging ikan asli.
Sumber: Wibowo dan Yunizal, (1998).

b. Penilaian organoleptik di laboratorium
Pada penilaian organoleptik di laboratorium yang biasanya memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu dan ditujukan untuk kegiatan penelitian, penilaian dengan angka atau sistem ranking mungkin digunakan untuk menilai kesegaran ikan yang hasilnya dapat dinyatakan secara sederhana dalam bentuk angka yang merefleksikan tingkat kesegaran ikan atau dinyatakan secara deskriptif, serta dinyatakan dalam bentuk pernyataan segar dan busuk, lulus dan tidak lulus atau diterima dan ditolak. Untuk ini diperlukan lembar penilaian yang tepat dan mudah dipahami oleh panelis.

Dalam hal ini, ketepatan hasil penilaian sangat tergantung kepada kepekaan dan pengalaman panelis yang melakukan penilaian.

Daftar Pustaka

Anonimous. (2004). Direktorat Ikan Konsumsi dan Produk Olahan. Jakarta: Dit. Jen. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran- Departemen Kelautan dan Perikanan.

Clucas, IJ dan Ward, AR. (1996). Post-harvest Fishery Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. Chatam Maritim. United Kingdom: Kent ME4 4TB.

Love, R.M. (1992). Biochemical Dynamics and the Quality of Fresh and Frozen Fish di dalam Fish Processing Technology. (ed. Hall, GM.) Blackie Academic & Professional. Glasgow. hal 1–30.

Okada, M. (1990). Fish as Raw Material. di dalam Science of Processing Marine Food Products Vol I (ed. Motohiro, T., Kadota, H., Hashimoto, K., Kayama, M. dan Tokunaga, T.). JICA: Hyogo International Centre, hal. 1–15.

Okada, M., Hirao, S., Noguchi, E., Suzuki, T. Dan Yokoseki, M. (1972).  Utilization of Marine Products. Tokai Regional Fisheries Research  Laboratory. Tokyo: Fisheries Agency.

Pigott, GM dan Tucker, BW. (1990). Seafood: Effects of Technology on Nutrition. New Yorkand Basel: Marcel Dekker, Inc.

Sikorski, ZE., Kolakowska, A., dan Pan, B.S. (1989). The Nutritive Composition of the Major Groups of Marine Food Organisms. di dalam Seafood: Resource, Nutritional Vomposition, and Preservation. (ed. Sikorski, Z.E.) Boca Raton. Florida: CRC Press, Inc. hal 29–53 .

Tanikawa, E., Motohiro, T. dan Akiba, M. (1985). Marine Products in Japan. Tokyo: Koseisha Koseikaku Co. Ltd.

Wheaton, FW dan Lawson, TB. (1985). Processing Aquatic Food Products. New York: John Wiley & Sons.


Sumber : 
Prinsip Dasar Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan
Dr. Ir. Hari Eko Irianto, APU. Prof. Dr. Ir. Sri Giyatmi, M.Si.Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.


1 komentar:

  1. ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
    terimakasih ya waktunya ^.^

    BalasHapus