Jumat, 27 Agustus 2021

Budidaya Ikan Tawes - Daun Sirih Sebagai Antibiotik Alami

Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia terutama pulau Jawa. Hal ini juga yang menyebabkan tawes memiliki nama ilmiah Puntius javanicus. Namun, berubah menjadi Puntius gonionotus, dan terakhir berubah menjadi Barbonymus gonionotus. Ikan tawes memiliki nama lokal tawes (Indonesia), taweh atau tawas, lampam Jawa (Melayu). Di Danau Sidendreng ikan tawes disebut bale kandea (Amri dan Khairuman, 2008).
Ikan tawes termasuk ke dalam famili Cyprinidae seperti ikan mas dan ikan nilem. Bentuk badan agak panjang dan pipih dengan punggung meninggi, kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter. Di bawah garis rusuk terdapat sisik 5½ buah dan 3-3½ buah di antara garis rusuk dan permulaan sirip perut. Garis rusuknya sempurna berjumlah antara 29-31 buah. Badan berwarna keperakan agak gelap di bagian punggung. Pada moncong terdapat tonjolan-tonjolan yang sangat kecil. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau kekuningan, dan sirip ekor bercagak dalam dengan lobus membulat, sirip dada berwarna kuning dan sirip dubur berwarna oranye terang. Sirip dubur mempunyai 6½ jari-jari bercabang (Kottelat et al., 1993).

Ciri-ciri induk jantan dan induk betina unggul yang sudah matang gonad adalah sebagai berikut :
 Betina: umur antara 1,5-2 tahun dengan berat berkisar 2 kg/ekor. Jantan: umur minimum 8 bulan dengan berat berkisar 0,5kg/ekor.(3)
 Tutup insang normal tidak tebal dan bila dibuka tidak terdapat bercak putih.
 Panjang kepala minimal 1/3 dari panjang badan, lensa mata tampak jernih, sisik tersusun rapi, cerah dan tidak kusam.
 Pangkal ekor kuat dan normal dengan panjang pangkal ekor harus lebih panjang dibandingkan lebar/tebal ekor.

Sisik dengan struktur beberapa jari-jari sejajar atau melengkung ke ujung, sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke samping. Ada tonjolan sangat kecil, memanjang dari tulang mata sampai ke moncong dan dari dahi ke antara mata. Sirip dubur mempunyai 6½ jari-jari bercabang, 3-3½ sisik antara gurat sisi dan awal sirip perut (Kotelat et al., 1993).

Habitat
Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia. Ikan tawes dalam habitat slinya adalah ikan yang berkembang biak di sungai, danau dan rawa – rawa dengan lokasi yang disukai adalah perairan dengan air yang jernih dan terdapat aliran air, mengingat ikan ini memiliki sifat biologis yang membutuhkan banyak oksigen dan hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22 – 28°C, serta pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di dasar sungai mengalir pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk. Ikan tawes adalah termasuk ikan herbivore atau pemakan tumbuhan (Kotelat et al., 1993).(4)

Perkembangan larva ikan diawali dengan pembuahan sel telur oleh spermatozoa. Pembuahan (fertilisasi) adalah penggabungan antara sel telur dengan spermatozoa sehingga dapat membentuk zigot. Pada ikan umumnya terjadi pembuahan di luar tubuh (eksternal fertilisasi). Telur yang tidak dibuahi akan mati, warna memutih dan keruh. Suatu substansi yang disebut fertiliazine merangsang spermatozoa untuk berenang berusaha mencapai telur (Roospitasari, 2002).

Fertilizine dikeluarkan oleh telur pada saat-saat terakhir ketika telur dilepas dan siap untuk dibuahi. Setelah memasuki telur inti spermatozoa mulai membesar dan chromosomnya mengalami perubahan sehingga memungkinkan untuk berhimpun dengan chromosom dari sel telur sebagai fase awal pembelahan. Proses pembelahan diikuti oleh perkembangan selanjutnya yang berupa proses blastula, gastrula dan organogenesis sampai mencapai proses penetasan (Zairin, 2002).

Sifat telur ikan tawes adalah menempel pada substrat. Telur ikan tawes berbentuk bulat, berwarna bening berdiameter 1,5-1,8 mm dan berbobot 0,17-0,20 mg. Ukuran telur bervariasi tergantung dari umur dan ukuran atau bobot induk. Embrio akan tumbuh didalam telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa. Antara 2-3 hari kemudian telur-telur akan menetas dan tumbuh menjadi larva. Larva ikan tawes mempunyai kantong kuning telur yang berukuran relatif besar sebagai cadangan makanan bagi larva. Kantong kuning telur tersebut akan habis dalam waktu 2-4 hari (Rochdianto, 2005).(5)

Jamur adalah organisme sapropit yaitu organisme yang hidup dari bahan organik yang terurai. Jamur merupakan komponen laten yang tersebar dalam suatu lingkungan perairan yang selalu menyerang ikan pada kondisi tertentu. Telur yang diserang jamur biasanya akan tampak diselimuti oleh bentukan-bentukan menyerupai benang yang dikenal sebagai hyfa jamur berwarna putih (Kordi dan Gufran 2004).

Jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur bersifat infeksi sekunder. Semua jenis ikan air tawar termasuk telurnya rentan terhadap infeksi jamur. Jenis jamur yang sering menjadi kendala adalah dari famili Saprolegniaceae. Beberapa faktor yang sering memicu terjadinya infeksi jamur adalah penanganan yang kurang baik saat transportasi sehingga menimbulkan luka pada tubuh ikan, kekurangan gizi, suhu dan oksigen terlarut rendah, bahan organik tinggi, kualitas telur buruk atau tidak terbuahi dan padatnya telur pada kakaban. Penyakit ini menular terutama melalui spora di air. Gejala-gejalanya dapat dilihat secara klinis adanya benang-benang halus menyerupai kapas yang menempel pada telur atau luka pada bagian eksternal ikan (Danar, 2009).

Saprolegnia merupakan jenis jamur yang termasuk dalam kelas Oomycetes. Saprolegnia atau dikenal sebagai water molds dapat menyerang ikan dan juga telur ikan. Jamur ini sering dijumpai pada air tawar maupun air payau. Jamur ini dapat tumbuh pada selang 0-35oC, dengan selang pertumbuhan optimal 15-30oC.

Pada umumnya saprolegnia akan menyerang bagian tubuh ikan yang terluka dan selanjutnya menyebar pada jaringan sehat lainnya (Usman, 2003).(6)

(NH3) tinggi, serta kadar bahan organik tinggi. Saprolegnia juga dapat tumbuh pada kondisi kualitas air yang terkontrol, penyebarannya melalui spora didalam air. Kehadiran Saprolegnia sering disertai dengan kehadiran infeksi bakteri Columnaris atau parasit eksternal lainnya. Tanda-tanda kehadiran Saprolegnea biasanya ditandai dengan munculnya benda seperti kapas, berwarna putih, terkadang dengan kombinasi kelabu dan coklat pada kulit, sirip, insang mata atau telur ikan. Apabila diamati di bawah mikroskop maka akan tampak jamur ini seperti sebuah pohon yang bercabang-cabang (Usman, 2003).

Pengendalian telur atau ikan yang terinfeksi Saprolegnia dapat dilakukan dengan perendaman dalam larutan Malachite Green Oxalat (MGO) dosis 3 ppm selama 30 menit. Telur yang terserang jamur ini direndam dengan MGO 2-3 ppm selama 1 jam (Asnita, 1994).

Ada beberapa indikator yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kualitas air, umur dan ukuran oksigen serta kematangan gonad. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan-ikan yang berumur mudah lebih cepat pertumbuhan panjangnya dari ikan-ikan yang berumur tua (Effendie, 1997).

Ikan yang pertumbuhannya lambat dari satu kelas umur lebih tinggi, akan bertumpuk atau mempunyai ukuran yang sama dengan ikan yang pertumbuhannya lebih cepat pada umur yang lebih rendah (Sparre et al, 1999). Pertambahan baik dalam bentuk panjang maupun berat biasanya diukur dalam waktu tertentu. Hubungan pertumbuhan dengan waktu bila digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang lebih dikenal dengan kurva pertumbuhan (Effendi, 1997).(9) rendah, membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, maka cenderung berumur panjang.

Mortalitas
Mortalitas dapat didefinisikan sebagai jumlah individu yang hilang selama satu interval waktu (Ricker 1975). Dalam Perikanan umunya dibedakan atas dua kelompok yaitu mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Mortalitas alami adalah mortalitas yang disebabkan oleh faktor selain penangkapan seperti kanibalisme, predasi, stress pada waktu pemijahan, kelaparan dan umur yang tua. Spesies yang sama biasanya mempunyai kemampuan yang berbeda-beda ini tergantung pada kepadatan predator dan competitor yang mempengaruhinya. 

Mortalitas alami yang tinggi didapatkan pada organisme yang memiliki nilai koefisien laju pertumbuhan yang besar dan sebaliknya. Mortalitas alami yang rendah akan didapatkan pada organisme yang memiliki nilai laju koefesien pertumbuhan yang kecil (Sparre et al. 1999). Sedangkan mortalitas akibat penangkapan adalah kemungkinan ikan mati karena penangkapan selama periode waktu tertentu, dimana semua faktor penyebab kematian berpengaruh terhadap populasi.(10) waktu yang diamati (Aziz, 1989). Kematian alami merupakan parameter yang tidak dapat dikontrol dan diamati secara langsung, maka yang perlu dikontrol adalah dua (2) besaran yang berhubungan secara langsung dengan mortalitas penangkapan. 

Nikolsky (1963) menyatakan bahwa ikan yang memiliki mortalitas tinggi adalah ikan yang mempunyai siklus hidup pendek, pada populasinya hanya terdapat sedikit variasi umur dan pergantian stok yang berjalan relatif cepat serta mempunyai daya produksi yang lebih tinggi.

Kualitas Air
Ikan tawes (Puntius javanicus Blkr) termasuk jenis ikan thermophil yang mampu beradaptasi atau toleransi terhadap perubahan temperatur air (lingkungan) antara 22-28 °C. Ikan ini telah berkembang di daerah subtropis di belahan bumi utara (Eropa) sampai daratan tropis di belahan selatan (Asia). Ikan ini juga termasuk jenis ikan yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan kandungan oksigen terlarut dalam perairan dan tidak sensitif terhadap perlakuan fisik, misalnya seleksi, penampungan, pengangkutan, dan lain-lain (Djarijah, 2001).(11) normal untuk penetasan telur berkisar antara 25-30oC (Santoso, 1993). Kandungan pH juga perlu diperhatikan. Derajat keasaman air ditentukan oleh konsentrasi ion H+ yang dinyatakan dalam kisaran angka 1-14. Derajat keasaman air sangat mempengaruhi tingkat kesuburan air untuk memelihara ikan. Derajat keasaman ideal untuk memelihara benih ikan tawes berkisar 7,8-8,5. Namun pH 6,5-9 masih tergolong baik untuk memelihara ikan. Lebih kecil dari itu ikan tidak mampu beradaptasi. Air yang terlalu alkali atau basa dengan kadar pH 11 akan bersifat racun bagi ikan (Lentera, 2002).

Habitat dan Morfologi Tanaman Sirih
Klasifikasi lengkap tanaman sirih menurut Koesmiati (1996) adalah sebagai berikut :
Devisio : Spermatopyta Subdevisio : Angiospermae Kelas : Dikotyledonae Famili : Piperaceae Genus : Piper Species : Piper betleL.(12)

Wijayakusuma, et al, (1992) mengatakan bahwa sirih sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Tanaman ini banyak di tanam di pekarangan rumah, batangnya berwarna hijau kecoklatan. Permukaan kulit kasar dan berkerut-kerut. Mempunyai nodule atau ruas yang besar tempat keluarnya akar. Tumbuh memanjat dan bersandar pada batang lain, tinggi dapat mencapai 5-15 meter. Daun tebal, tumbuh berseling, bertangkai, daun berbentuk jantung dengan ujung daun meruncing. Tepi rata, labar 2-10 cm, panjang 5-18 cm, mengeluarkan bau aromatik jika diremas.

Semua bagian tanaman, akar, daun dan bijinya digunakan untuk obat tetapi daunnya lebih banyak digunakan dan dikenal dari pada buahnya. Cukup banyak jenis bahan kimia yang terdapat pada sirih dan pemakaiannya sebagai obat tradisional sudah lama dikenal. Khasiat dari daun sirih ini selain sebagai styptic (penahan darah) dan vulnerary (obat luka pada kulit) juga berdaya anti oksidan, anti septik, fungi sidal dan juga sebagai bakteri sidal. Hal ini juga dikatakan oleh Widarto (1990) bahwa daun sirih mengandung minyak atsiri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophilla dan jamur Saprolegnia sp. Minyak atsiri dari ekstrak daun sirih mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri gram positif dan gram negatif (Darwis, 1991)

Komponen Kimiawi dan Senyawa Aktif Daun Sirih(13) dan jamur, terdiri dari senyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%). Komponen utamanya eugenol (sampai 42,5%), kalvakrol, chavikol, kavibetol, alilpirokatekol, kavibetol asetat, alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metil eter, p-simen, karyofilen, kadinen dan senyawa seskuiterpen. Flavonoid berfungsi sebagai bakterostatoik dan anti inflamasi, sedangkan saponin dan tanin berfungsi sebagai anti septik pada luka permukaan dan melawan infeksi pada luka (Darwis, 1991).

Menurut Hidayat (1999), didalam 100 gram daun sirih segar mengandung komposisi sebagai berikut : kadar air 85,4 gram, protein 3,1 gram, lemak 0,8 gram, karbohidrat sebanyak 6,1 gram, serat 2,3 gram, bahan mineral 2,3 gram, kalsium 230 mg, fosfor 40 mg, besi 7,0 mg, besi ion 3,5 gram, karoten (dalam bentuk vitamin A) 9600 IU, tiamin 70 ug, riboflavin 30 ug, asam nikotionat 0,7 mg dan vitamin C 5 mg. Sedangkan menurut Dwiyanti (1996), daun sirih mengandung senyawa tanin, gula, vitamin dan minyak atsiri.

Daun Sirih Sebagai Antibiotik Alami
Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional untuk pengobatan penyakit ikan akibat jamur sudah sering dilakukan di farm-farm budidaya milik petani atau pengusaha ikan, dan terbukti efektif. Namun demikian penggunaan tumbuhan obat ini belum ada yang membuktikan validitasnya secara ilmiah. Jenis tumbuhan yang paling sering digunakan dalam pengobatan penyakit ikan akibat jamur adalah sirih (Piper betle L), (Sugianti, 2005).(14) beberapa saat. Cara ini terbukti cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur yang ada pada bagian permukaan tubuh ikan. Untuk jamur yang menyerang organ-organ internal ikan, pengobatan dengan cara perendaman memberikan hasil yang kurang efektif. Oleh karena itu, pengobatan terhadap jamur pada organ internal dapat dicoba dengan cara lain yaitu melalui pemberian pakan ikan yang mengandung ekstrak sirih (Piper betle L) (Sugianti, 2005).

Darwis (1991) mengatakan bahwa daun sirih dapat dimanfaatkan sebagai fungisida. Beberapa peneliti lain (Evans, 1984, Chou, 1984), juga melaporkan bahwa sirih bersifat anti jamur. Minyak atsiri dari ekstrak daun sirih menunjukkan aktivitas anti jamur terhadap jamur Aspergillus niger, Curvularea lemata, Fusarium oxysporum, phyticum ullimum, saprolegnia, Candida albicans, Candida prusei, Candida parakrusei, Candida tropikalis, dan Candida pseudotropicalis (Sadeli, 1982).

Chou dan Yu (1984) melaporkan bahwa serbuk daun sirih lebih aktif dari pada serbuk buahnya terhadap Aspergillus niger dan produksi Aflatoxin. Pada penggunaan pelarut tunggal ekstrak kloroform dan etanol menunjukkan aktivitas anti jamur yang lebih kuat dari pada ekstrak air. Ekstrak etanol 450 mg/ml dapat mengeliminasi Aspergillus parasiticus dan produksi Aflatoxin. Komponen aktif anti jamur diidentifikasi sebagai chavikol, alilpirokatekol, kavibetol, kavibetol asetat, alilpirokatekoldiasetat. Infus daun sirih aktif mulai pada kadar 3,5 permil terhadap berbagai jenis jamur Candida, (Oehadian, 1987).



Referensi
  1. Agustin, F. & Rahardja,S. 2013. Teknik Pembenihan Ikan Tawes (Puntius Javanicus) dengan Sistem Induksi di Balai Pembenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Muntilan, Kecamatan Muntilan,Kabupaten Magelang. Jurnal of Aquaculture and Fish Health, ISSN 2301-7309. Vol. 2 / No. 2, Juni 2013
  2. Darwis. 1991. Potensi Sirih (Piper Betle Linn.) Sebagai Tanaman Obat. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia. [Skripsi[ Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Dwiyanti, R. R. 1996. Mempelajari Ketahanan Panas Ekstrak Antioksida Daun Sirih (Piper Betle Linn.). [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
  3. Kordi, K.M., Ghufran. 2004. Budidaya Perairan. PT Citra Aditya Bakti: Bandung. 964 hlm
  4. Susanto, H. 2003. Usaha Pembenihan Dan Pembesaran Tawes. Penebar Swadaya. Jakarta.
  5. Widarto, H. 1990. Pengaruh Minyak Atsiri Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia Coli dan Sthaphylococcus Aureus. [Skripsi] Fakultas Teknologi Pertanian. Institu Pertanian Bogor.
  6. Zairin, Jr., Sari, R. K. & Raswin, M. (2005). Pemijahan ikan tawes dengan sistem imbas menggunakan ikan mas sebagai Pemicu. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4 (2): 103–108.
  7. http://jurnal.utu.ac.id/jptropis/article/view/42/36, 2016, Penggunaan Larutan Daun Sirih (Piper Betle L) Dengan Dosis Yang Berbeda Untuk Mencegah Pertumbuhan Jamur (Saprolegnia Sp) Pada Telur Ikan Tawes  (Puntius javanicus) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar