Budidaya   ikan   tawes   ini   menguntungkan   dilihat   dari   sisi   ekonomi, kelestarian lingkungan, dan produksi budidaya. Ikan tawes merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai  nilai ekonomi  penting dan potensial  untuk dibudidayakan   karena  tidak  membutuhkan  lahan  yang  terlalu  istimewa.  Ikan tawes adalah ikan yang telah lama dibudidayakan karena cocok di Indonesia yang beriklim   tropis.,   sehingga   ikan   ini   dapat   dibudidayakan    sepanjang   tahun (Cahyono, 2011). Saat ini budidaya perikanan mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama  dalam usaha pembenihan ikan (Priyambodo, 2001).
 Ikan tawes  dapat  dimanfaatkan  sebagai  ikan konsumsi.  Ikan  ini memiliki nilai protein yaitu 13 % dan kandungan asam Lemak Omega -3 1.5/100 gram, serta disukai oleh masyarakat karena memiliki daging yang kenyal dan sedikit lemak. Disamping itu harga ikan tawes dapat terjangkau oleh masyarakat (Muthmainnah, 2008).
Menurut Ardiwinata  (1981) diacu dalam Dani, P.N et al (2004) ikan tawes (Barbonymus   gonionotus)  merupakan  ikan  herbivor,  daun-daunan   merupakan pakan  yang  penting  bagi  tawes,  pada  saat  embrio  baru  menetas  larva  masih memiliki  cadangan  makanan  berupa kuning telur yang dapat dimanfaatkan  oleh larva selama  beberapa hari. Setelah itu larva ikan membutuhkan  pakan dari luar yang berupa pakan alami..
Menurut  Huet  (1971)  diacu  dalam  Jenitasari  B.A et al (2012)    makanan yang diberikan pada larva ikan sebaiknya pakan alami selain sebagai sumber karbohidrat,  lemak,  dan  protein.  Pakan  alami  juga  memiliki  asam  amino  dan mineral yang lengkap pada larva ikan, selain itu mudah mencerna dan tidak mencemari  lingkungan  perairan  dan  media  pemeliharaan  larva.  mineral  yang lengkap  pada  larva  ikan,  selain  itu  mudah  mencerna   dan  tidak   mencemari lingkungan  perairan  dan media  pemeliharaan  larva.   Sedangan  ikan tawes pada waktu masih benih suka makan plankton. Setelah dewasa ikan tawes suka makan lumut dan pucuk-pucuk ganggang muda (Mudjiman, 2000).
Permasalahan  yang sering dihadapi adalah tingginya  tingkat kematian  dari larva ikan. Hal ini umumnya  disebabkan karena kekurangan  makanan pada saat kritis, yaitu pada masa penggantian  dari makanan kuning telur ke makanan lain. Untuk mengatasi  tingginya  kematian  ikan pada  stadia larva ini perlu disediakan makanan  yang  sesuai  dengan  bukaan  mulut  larva  (Haris,  1983  diacu  dalam Jenitasari B.A et al, 2012).
Untuk itu perlu diperhatikan bukaan mulut benih sehingga pakan alami yang diberikan   dapat   dikonsumsi   oleh   benih.   Oleh   karena   itu,   peneliti   tertarik melakukan   penelitian   dengan  judul  "Pemberian   Pakan  Alami  yang  Berbeda (Tubifek,  Dapnia,  Infusoria  dan  Artemia)  terhadap  Pertumbuhan  dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)".
 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)
Klasifikasi Ikan Tawes
Klasifikasi ikan tawes menurut Nelson (2006), adalah sebagai berikut : Kerajaan              :   AnimaliaFilum                   :   Chordata kelas                     :   Actinopterygii Ordo                     :   Cypriniformes Superfamili          :   Cyprinoidea Famili                  :   Cyprinidae Genus                   :   Barbonimus Spesies                 :   Barbonymus gonionotus Spesies : Barbonymus gonionotus
Gambar 1. Ikan Tawes
Ikan tawes merupakan  salah satu ikan asli Indonesia  terutama pulau Jawa. Hal  ini  juga  menyebabkan   tawes  memiliki   nama  ilmiah   Puntius   javanicus. Namun, berubah menjadi Puntius gonionotus, dan terakhir berubah menjadi Barbonymus  gonionotus.  Ikan  tawes  memiliki  nama  lokal  tawes  (Indonesia), taweh  atau  tawas,  lampam  Jawa  (Melayu).  Di  danau  Sidendreng  ikan  tawes disebut bale kandea (Amri dan Khairuman, 2008).
Morfologi Ikan Tawes
Ikan tawes termasuk ke dalam famili Cyprinidae seperti ikan mas dan ikan nilem. Bentuk badan agak panjang dan pipih dengan punggung  meninggi,kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter.Di bawah garis rusuk terdapat sisik 5½ buah dan 3 -3½ buah di  antara   garis   rusuk   dan   permulaan   sirip   perut.Garis   rusuknya   sempurna berjumlah antara 29-31 buah.Badan berwarna keperakan agak gelap di bagian punggung.Pada   moncong   terdapat   tonjolan-tonjolan   yang   sangat   kecil.Sirip punggung  dan  sirip  ekor  berwarna  abu -abu  atau  kekuningan,  dan  sirip  ekor bercagak  dalam  dengan  lobus  membulat,  sirip  dada  berwarna  kuning  dan sirip dubur  berwarna  oranye  terang.Sirip  dubur  mempunyai  6½  jari -jari  bercabang (Kottelat et al., 1993).
Habitat Hidup
Ikan  tawes  merupakan  salah  satu  ikan  asli  Indonesia.  Ikan  tawes  dalam habitat  slinya  adalah ikan  yang  berkembang  biak  di sungai,  danau  dan rawa  – rawa  dengan  lokasi  yang  disukai  adalah  perairan  dengan  air  yang  jernih  dan terdapat aliran air, mengingat ikan ini memiliki sifat biologis yang membutuhkan banyak oksigen dan hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22 – 28°C, serta pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di dasar sungai mengalir pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk(Kotelat et al., 1993).
Makan Dan Kebiasaan Makan
Makanan  alami  biasanya  berupa  plankton,  baik  fitoplankton  atau zooplankton, kelompok cacing, tumbuhan air, organisme bentos dan ikan maupun organisme  lain yang  berukuran  lebih kecil daripada  organisme  yang dipelihara. Secara   ekologis   pengelompokan   makanan   alami   sebagai   plankton,   nekton, benthos, perifiton, epifiton dan neuston, di dalam perairan akan membentuk suatu rantai makanan dan jaringan makanan. Ikan tawes (Barbonymus gonionotus) merupakan ikan herbivor. Kebiasaan makanan ikan (food habits) adalah kuantitas dan  kualitas   makanan   yang  dimakan   oleh   ikan,   sedangkan   kebiasaan   cara memakan   (feeding   habits)   adalah  waktu,   tempat   dan  caranya   makanan   itu didapatkan  oleh ikan. Kebiasaan  makanan dan cara memakan  ikan secara alami bergantung pada lingkungan tempat ikan itu hidup. (Taofiqurohman et al, 2007).
Pakan Alami Ikan
Pakan alami ikan adalah organisme  hidup yang juga diproduksi  bersama - sama dengan  spesies yang dibiakkan,  atau dipelihara  secara terpisah  dalam unit produksi  yang  spesifik  atau dikumpulkan  dari alam liar (misalnya  penangkapan ikan).Contohnya adalah organisme akuatik tingkat rendah seperti fitoplankton dan zooplankton.Jenis-jenis    pakan   alami   yang   dimakan   ikan   sangat   bermacam- macam,  bergantung  pada  jenis ikan dan tingkat umurnya.Benih  ikan yang baru belajar  mencari  makan,  pakan  utamanya  adalah  plankton  nabati  (fitoplankton) namun   sejalan   dengan   bertambah   besar   ikan   berubah   pula   makanannya (Yumrawati, 2007).
Tubifek
A.      BiologiCacing Sutra (Tubifex)
Cacing sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing– cacingan(Tubifex).   Dalam  ilmu   taksonomi   hewan,   cacing   sutra   digolongkan kedalam kelompok Nematoda. Embel–embel sutra diberikan karena cacing ini memiliki tubuh yang lunak dan sangat lembut seperti halnya sutra. Sementara itu julukan  cacing  rambut  diberikan  lantaran  bentuk  tubuhnya  yang  panjang  dan sangat halus tak bedanya seperti rambut (Amri dan Khairuman, 2008).
Menurut    Amri    dan    Khairuman     (2008)    Klasifikasi     cacing     sutra (Tubifex)adalah sebagai berikut : Phylum    : Annelida Class        : Oligochaeta Ordo         : Haplotaxida Famili      : Tubificidae Genus      : Tubifex Spesies     : Tubifex
Gambar 2. Cacing Tubifek
B.      Morfologi Cacing Tubifek
Menurut Amri dan Khairuman (2008) secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10–30 mm dengan warna tubuh kemerahan, saluran pencernaannya  berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih (2001), menyatakan Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex) ini hidup berkoloni bagian  ekornya  berada dipermukaan  dan berfungsi sebagai  alat  bernafas  dengan  cara  difusi  langsung  dari  udara.  Cacing  sutra (Tubifex) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuh yang kecil dan tipis. Karena bentuk  tubuhnya  kecil  dan tipis,  pertukaran  oksigen  dan karbondioksida  sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh darah.
Menurut  Sugiarti  et al(2005)  Kebanyakan  Tubifex  membuat  tabung  pada lumpur  di  dasar  perairan,  di  mana  bagian  akhir  posterior  tubuhnya  menonjol keluar dari tabung bergerak  bolak -balik sambil  melambai-lambai  secara aktif di dalam  air,  sehingga  terjadi  sirkulasi  air  dan  cacing  akan  memperoleh  oksigen melalui permukaan  tubuhnya.  Getaran pada bagian  posterior  tubuh dari Tubifex dapat  membantu  fungsi  pernafasan,  bahwa  hampir  semua  oligochaeta  bernafas dengan  cara  difusi  melalui  seluruh  permukaan  tubuh.  Hanya  beberapa  yang bernafas  dengan  insang.  Cacing  sutra  ini  bisa  hidup  diperairan  yang  berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen  untuk  jangka  waktu  yang  pendek.  Cacing  sutra  dapat  mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen lebih banyak, apabila kandungan  oksigen  dalam  air  sangat  sedikit.  Sekitar  90%  Tubifex  menempati permukaan  hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian  sebagai berikut : juvenile (dengan  bobot kurang  dari 0,1 mg) pada kedalaman  0 -2 cm, immature  (0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2 -4 cm.
C.     Ekologi Cacing Sutra (Tubifex)
Amri dan Khairuman (2008), menjelaskan bahwa cacing sutra (Tubifex) umumnya ditemukan pada daerah air perbatasan seperti daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat, daerah endapan sedimen dan perairan oligotropis. Ditambahkan bahwa spesies cacing (Tubifex) ini bisa mentolerir  perairan dengan salinitas 10 ppt. Dua faktor yang mendukung habitat hidup cacing sutra (Tubifex) ialah endapan lumpur dan tumpukan bahan organik yang banyak, dari setiap tubuh cacing  sutra   (Tubifex)   pada   bagian   punggung   dan  perut  kekar   serta   ujung bercabang   dua  tanpa   rambut.   Sementara   sifat   hidup  cacing   sutra   (Tubifex) menunjukan organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam lumpur seperti benang  kusut  dan  kepala  terkubur  serta  ekornya  melambai -lambai  dalam  air kemudian bergerak berputar-putar.
D.     Habitat dan Penyebaran Cacing Sutra (Tubifex)
Amri dan Khairuman(2008) mengemukakan bahwa, habitat dan penyebaran cacing  sutra  (Tubifex)  umumnya   berada  di  daerah  tropis.  Umumnya   berada disaluran  air atau  kubangan  dangkal  berlumpur  yang airnya  mengalir  perlahan, misalnya  selokan  tempat  mengalirnya  limbah  dan  pemukiman  penduduk  atau saluran pembuangan limbah peternakan. Selain itu, cacing sutra juga ditemukan di saluran  pembuangan  kolam,  saluran  pembuangan   limbah  sumur  atau  limbah rumah  tangga  umumnya  kaya  akan  bahan  organik  karena  bahan  organik  ini merupakan suplai makanan terbesar bagi cacing sutra ( Tubifex).
Artemia
Artemia  merupakan  pakan alami  yang  sangat  penting  dalam  pembenihan ikan  laut,  krustacea,  ikan  konsumsi  air  tawar  dan  ikan  hias  air  tawar  karena ukurannya yang sangat kecil.Disamping  ukurannya yang kecil, nilai gizi Artemia juga  sangat  tinggi  dan  sesuai  dengan  kebutuhan  gizi  untuk  larva  ikan  dan krustacea  yang  tumbuh  dengan  sangat  cepat.  Sampai  saat  ini Artemia  sebagai pakan   alami   belum   dapat   digantikan   oleh   pakan   lainnya.Artemia   biasanya diperjual belikan dalam bentuk kista, sehingga sebagai pakan alami Artemia merupakan   pakan   yang   paling   mudah   dan   praktis,   karena   hanya   tinggal menetaskan  kista  saja.Akan  tetapi,  menetaskan  kista  Artemia  bukan  suatu  hal yang dengan begitu saja dapat dilakukan oleh setiap orang.Sebab  membutuhkan suatu  keterampilan   dan  pengetahuan  tentang  penetasan  itu  sendiri.Kegagalan dalam menetaskan  kista Artemia barakibat fatal terhadap larva ikan yang sedang dipelihara(Suara Merdeka, 2002).
A.      Klasifikasi Artemia
Menurut  Bougis (1979)  dalam (Dwirastina.  2011)  adalah sebagai  berikut: Phylum       :Anthropoda Kelas          : Crustacea Subkelas     : Branchiopoda Ordo           : Anostraca Familia       : Artemidae Genus         : Artemia Spesies       : Artemia salina
Gambar 3. Artemia
B.      Morfologi Artemia
Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius mengalami  moulting. Artemia dewasa  memiliki  panjang  8-10  mm ditandai  dengan  terlihat  jelas tangkai  mata pada kedua  sisi bagian kepala, antena  berfungsi  untuk sensori.Pada  jenis jantan antena berubah menjadi alat penjepit (muscular grasper), sepasang penis terdapat pada  bagian  belakang  tubuh.Pada  jenis  betina  antena  mengalami penyusutan(Suara  Merdeka, 2002).
Kista artemiayang  ditetaskan  pada salinitas 15 -35 ppt akan menetas dalam waktu  24-36  jam.  Larva  artemia  yang  baru  menetas  dikenal  dengan nauplius.Nauplius  dalam pertumbuhannya  mengalami  15 kali perubahan  bentuk, masing-masing  perubahan  merupakan  satu tingkatan yang disebut instar.Artemia salina  dewasa  (San  Francisco  ras)  tumbuh  selama  5 -6  minggu  pada  80 -  liter akuarium  digunakan  untuk  mengisolasi  hemoglobin  ekstraseluler  (Dwirastina, 2011).
C.     Ekologi Artemia
Menurut Handayani  dan Mufti(2005)  artemiasecara  umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 derajat celcius.Kista  artemia kering tahan terhadap suhu  -273  hingga  100oC.  Artemia  dapatditemui  di  danau  dengan  kadar  garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang baik pada kadargaram 30-50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan  kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt.
D.     Siklus Hidup Artemia
Siklus  hidup  artemia  bisa  dimulai  dari  saat  menetasnya  kista  atau  telur. Setelah 15 – 20 jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange  kecoklatan  akibat  masih  mengandung  kuning  telur.  Artemia  yang  baru menetas  tidak akan  makan,  karena  mulut  dan anusnya  belum terbentuk  dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva  kedua.  Dalam  fase  ini  mereka  akan  mulai  makan,  dengan  pakan  berupa mikro  alga,  bakteri,  dan  detritus  organik  lainnya.  Pada  dasarnya  mereka  tidak akan  peduli  (tidak  pemilih)   jenis  pakan  yang  dikonsumsinya   selama   bahan tersebut  tersedia  di air  dengan  ukuran  yang  sesuai.  Naupli  akan  berganti  kulit sebanyak  15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia  dewasa rata-rata  berukuran  sekitar  8 mm,  meskipun  demikian  pada  kondisi  yang  tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya   akan  m                                                                   a s  pada   fase  naupli (Dwirastina, 2011).
Gambar 4. Siklus Hidup Artemia
Tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, betina Artemia bisa mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari.Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari)  mereka  bisa  memproduksi   naupli  rata-rata  sebanyak  10  -11  kali.Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii  atau  kista  sebanyak  300  ekor  (butir)  per  4  hari.  Kista  akan  terbentuk apabila  lingkungannya  berubah  menjadi  sangat  salin  dan  bahan  pakana  sangat kurang  dengan  fluktuasi  oksigen  sangat  tinggi  antara  siang  dan  malam  hari. Artemia  dewasa  toleran  terhadap  selang  suhu  -18  hingga  40  °C  (Dwirastina, 2011). Sedangkan tempertur optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25–30 °C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing -masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 – 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya  mati.Variable  lain yang penting adalah pH, cahaya  dan oksigen.  pH dengan  selang 8 -9 merupakan  selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia.  Cahaya  minimal  diperlukan  dalam  proses  penetasan  dan akan  sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup artemia.Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan  artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu (Handayani dan Mufti, 2005).
Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi  mikro  algae.  Pada  kondisi  yang  ideal  seperti  ini, Artemia  akan tumbuh  dan  beranak-pinak  dengan  cepat.  Sehingga  suplai  Artemia  untuk  ikan yang  kita  pelihara  bisa  terus  berlanjut  secara  kontinyu.  Apabila  kadar  oksigen dalam air rendah, dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat,  artemia  akan  memakan  bakteria,  detritus,  dan sel -sel kamir  (yeast). Pada kondisi demikian  mereka akan memproduksi  hemoglobin  sehingga tampak berwarna  merah  atau  orange.  Apabila  keadaan  ini terus  berlanjut  mereka  akan mulai memproduksi kista (Dwirastina, 2011).
Daphnia
A.      Klasifikasi Daphnia
Menurut  Pennak  (1953)  dan Ivleva  (1973)  dalam  Casmuji  (2002)  adalah sebagai berikut : Philum             : Arthropoda Kelas               : Crustacea Subkelas          : Branchiopoda Divisio            : Oligobranchiopoda Ordo                : Cladocera Famili              : Daphnidae Genus              : Daphnia Spesies            : Daphnia.
Gambar 5.Dapnia
B.      Morfologi Daphnia
Daphnia  memiliki  ukuran  1 -3  mm,  tubuh  lonjong,  pipih,  terdapat  ruas- ruas/segmen meskipun ruas ini tidak terlihat. Pada bagian kepala terdapat sebuah mata   majemuk,   ocellus   (kadang-kadang),    dan   lima   pasang   alat   tambahan (Casmuji,  2002),  yang  pertama  disebut  antena  pertama,  kedua  disebut  antena kedua  yang  mempunyai   fungsi  utama  sebagai  alat  gerak.  Tiga  pasang  yang terakhir  adalah  bagian-bagian  dari  mulut  (Mokoginta,  2003).  Umumnya  cara berenang  Daphnia  tersendat-sendat   (intermitenly),  tetapi  ada  beberapa  spesies yang tidak bisa berenang dan bergerak dengan merayap karena telah beradaptasi untuk hidup di lumut dan sampah daun-daun yang berasal dari dalam hutan tropik (Suwignyo, 1989 dalam Casmuji 2002).
Pembagian  segmen  tubuh  Daphniahampir   tidak  terlihat.  Kepala  dengan bentuk  membungkuk  ke arah  tubuh  bagian  bawah  melalui  lekukan  yang  jelas. Pada  beberapa   spesies  sebagian  besar  anggota  tubuh  Daphnia  tertutup  oleh karapas, dengan enam pasang kaki semu yang berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang paling terlihat adalah mata, antena dan sepasang seta. Bagian karapas tembus  cahaya  dan pada  beberapa  jenis Daphnia  bagian  dalam tubuhnya  dapat dilihat dengan jelas melalui mikroskop. Bagian tubuh Daphnia. tertutup oleh cangkang dari khitin yang transparan. Daphnia. mempunyai warna yang berbeda- beda  tergantung  habitatnya.  Spesies  daerah  limnetik  biasanya  tidak  mempunyai warna atau berwarna muda, sedangkan di daerah litoral, kolam dangkal, dan dasar perairan  berwarna  lebih  gelap.  Pigmentasi  terdapat  baik  pada  bagian  karapa s maupun jaringan tubuh (Casmuji, 2002).
Daphnia termasuk hewan filter feeder, memakan berbagai macam macam bakteri,  ragi,  alga  bersel  tunggal,  detritus,  dan  bahan  organic  terlarut  (Rodina dalam  Casmuji,   2002).  Daphnia   muda   berukuran   panjang  kurang  dari  satu millimeter menyaring partikel kecil ukuran 20-30 mikrometer, sedangkan yang dewasa   dengan   ukuran   2 -3   mm   dapat   menagkap   partikel   sebesar   60-140 mikrometer (Fasil’eva dalamCasmuji, 2002).
C.     Habitat Daphnia
Daphnia adalah jenis zooplankton yang hidup di air tawar, mendiami kolam- kolam atau danau-danau. Daphnia dapat hidup di daerah tropis dan subtropis. Kehidupan Daphnia dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain: suhu,  oksigen  terlarut  dan  pH.  Daphnia  dapat beradaptasi   dengan  baik  pada perubahan lingkungan hidupnya dan termasuk dalam ketegori hewan eutropik dan tahan  terhadap  fluktuasi  suhu  harian  atau  tahunan.  Kisaran  suhu  yang  dapat ditolerir   bervariasi   sesuai  adaptasinya   pada  lingkungan   tertentu   (Mokoginta, 2003).
Daphnia dapat hidup dalam air yang kandungan oksigen terlarutnya  sangat bervariasi  yaitu  dari hampir  nol  sampai  lewat  jenuh.  Ketahanan  Daphnia.  pada perairan  yang  miskin  oksigen  mungkin  disebabkan oleh  kemampuannya  dalam mensintesis  haemoglobin.  Dalam kenyataannya,  laju pembentukan  haemoglobin berhubungan dengan kandungan oksigen lingkungannya. Naiknya kandungan haemoglobin   dalam   darah   Daphnia.   dapat   juga   diakibatkan   oleh   naiknya temperatur, atau tingginya kepadatan populasi. Untuk dapat hidup dengan baik Daphnia  memerlukan  oksigen  terlarut  yang  cukup  besar  yaitu  di atas 3,5 ppm
Referensi
- Agustin, F. & Rahardja,S. 2013. Teknik Pembenihan Ikan Tawes (Puntius Javanicus) dengan Sistem Induksi di Balai Pembenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Muntilan, Kecamatan Muntilan,Kabupaten Magelang. Jurnal of Aquaculture and Fish Health, ISSN 2301-7309. Vol. 2 / No. 2, Juni 2013
 - Amri & Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Agromedia. Jakarta.
 - Effendi. 1997. Biologi Perikanan, Yayasan Pustaka Nusantara. Jakarta.
 - Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta
 - Susanto, H. 2003. Usaha Pembenihan Dan Pembesaran Tawes. Penebar Swadaya. Jakarta.
 





Tidak ada komentar:
Posting Komentar