Jumat, 27 Agustus 2021

Budidaya Ikan Tawes - Pakan Alami

Budidaya ikan tawes ini menguntungkan dilihat dari sisi ekonomi, kelestarian lingkungan, dan produksi budidaya. Ikan tawes merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai ekonomi penting dan potensial untuk dibudidayakan karena tidak membutuhkan lahan yang terlalu istimewa. Ikan tawes adalah ikan yang telah lama dibudidayakan karena cocok di Indonesia yang beriklim tropis., sehingga ikan ini dapat dibudidayakan sepanjang tahun (Cahyono, 2011). Saat ini budidaya perikanan mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan (Priyambodo, 2001).

Ikan tawes dapat dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi. Ikan ini memiliki nilai protein yaitu 13 % dan kandungan asam Lemak Omega -3 1.5/100 gram, serta disukai oleh masyarakat karena memiliki daging yang kenyal dan sedikit lemak. Disamping itu harga ikan tawes dapat terjangkau oleh masyarakat (Muthmainnah, 2008).

Menurut Ardiwinata (1981) diacu dalam Dani, P.N et al (2004) ikan tawes (Barbonymus gonionotus) merupakan ikan herbivor, daun-daunan merupakan pakan yang penting bagi tawes, pada saat embrio baru menetas larva masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur yang dapat dimanfaatkan oleh larva selama beberapa hari. Setelah itu larva ikan membutuhkan pakan dari luar yang berupa pakan alami..

Menurut Huet (1971) diacu dalam Jenitasari B.A et al (2012) makanan yang diberikan pada larva ikan sebaiknya pakan alami selain sebagai sumber karbohidrat, lemak, dan protein. Pakan alami juga memiliki asam amino dan mineral yang lengkap pada larva ikan, selain itu mudah mencerna dan tidak mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan larva. mineral yang lengkap pada larva ikan, selain itu mudah mencerna dan tidak mencemari lingkungan perairan dan media pemeliharaan larva. Sedangan ikan tawes pada waktu masih benih suka makan plankton. Setelah dewasa ikan tawes suka makan lumut dan pucuk-pucuk ganggang muda (Mudjiman, 2000).

Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya tingkat kematian dari larva ikan. Hal ini umumnya disebabkan karena kekurangan makanan pada saat kritis, yaitu pada masa penggantian dari makanan kuning telur ke makanan lain. Untuk mengatasi tingginya kematian ikan pada stadia larva ini perlu disediakan makanan yang sesuai dengan bukaan mulut larva (Haris, 1983 diacu dalam Jenitasari B.A et al, 2012).

Untuk itu perlu diperhatikan bukaan mulut benih sehingga pakan alami yang diberikan dapat dikonsumsi oleh benih. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul "Pemberian Pakan Alami yang Berbeda (Tubifek, Dapnia, Infusoria dan Artemia) terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)".

Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)

Klasifikasi Ikan Tawes
Klasifikasi ikan tawes menurut Nelson (2006), adalah sebagai berikut : Kerajaan : AnimaliaFilum : Chordata kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Superfamili : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Genus : Barbonimus Spesies : Barbonymus gonionotus Spesies : Barbonymus gonionotus

Gambar 1. Ikan Tawes

Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia terutama pulau Jawa. Hal ini juga menyebabkan tawes memiliki nama ilmiah Puntius javanicus. Namun, berubah menjadi Puntius gonionotus, dan terakhir berubah menjadi Barbonymus gonionotus. Ikan tawes memiliki nama lokal tawes (Indonesia), taweh atau tawas, lampam Jawa (Melayu). Di danau Sidendreng ikan tawes disebut bale kandea (Amri dan Khairuman, 2008).

Morfologi Ikan Tawes
Ikan tawes termasuk ke dalam famili Cyprinidae seperti ikan mas dan ikan nilem. Bentuk badan agak panjang dan pipih dengan punggung meninggi,kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter.Di bawah garis rusuk terdapat sisik 5½ buah dan 3 -3½ buah di antara garis rusuk dan permulaan sirip perut.Garis rusuknya sempurna berjumlah antara 29-31 buah.Badan berwarna keperakan agak gelap di bagian punggung.Pada moncong terdapat tonjolan-tonjolan yang sangat kecil.Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu -abu atau kekuningan, dan sirip ekor bercagak dalam dengan lobus membulat, sirip dada berwarna kuning dan sirip dubur berwarna oranye terang.Sirip dubur mempunyai 6½ jari -jari bercabang (Kottelat et al., 1993).

Habitat Hidup
Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia. Ikan tawes dalam habitat slinya adalah ikan yang berkembang biak di sungai, danau dan rawa – rawa dengan lokasi yang disukai adalah perairan dengan air yang jernih dan terdapat aliran air, mengingat ikan ini memiliki sifat biologis yang membutuhkan banyak oksigen dan hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22 – 28°C, serta pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di dasar sungai mengalir pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk(Kotelat et al., 1993).

Makan Dan Kebiasaan Makan
Makanan alami biasanya berupa plankton, baik fitoplankton atau zooplankton, kelompok cacing, tumbuhan air, organisme bentos dan ikan maupun organisme lain yang berukuran lebih kecil daripada organisme yang dipelihara. Secara ekologis pengelompokan makanan alami sebagai plankton, nekton, benthos, perifiton, epifiton dan neuston, di dalam perairan akan membentuk suatu rantai makanan dan jaringan makanan. Ikan tawes (Barbonymus gonionotus) merupakan ikan herbivor. Kebiasaan makanan ikan (food habits) adalah kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara memakan (feeding habits) adalah waktu, tempat dan caranya makanan itu didapatkan oleh ikan. Kebiasaan makanan dan cara memakan ikan secara alami bergantung pada lingkungan tempat ikan itu hidup. (Taofiqurohman et al, 2007).

Pakan Alami Ikan
Pakan alami ikan adalah organisme hidup yang juga diproduksi bersama - sama dengan spesies yang dibiakkan, atau dipelihara secara terpisah dalam unit produksi yang spesifik atau dikumpulkan dari alam liar (misalnya penangkapan ikan).Contohnya adalah organisme akuatik tingkat rendah seperti fitoplankton dan zooplankton.Jenis-jenis pakan alami yang dimakan ikan sangat bermacam- macam, bergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya.Benih ikan yang baru belajar mencari makan, pakan utamanya adalah plankton nabati (fitoplankton) namun sejalan dengan bertambah besar ikan berubah pula makanannya (Yumrawati, 2007).

Tubifek

A. BiologiCacing Sutra (Tubifex)
Cacing sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing– cacingan(Tubifex). Dalam ilmu taksonomi hewan, cacing sutra digolongkan kedalam kelompok Nematoda. Embel–embel sutra diberikan karena cacing ini memiliki tubuh yang lunak dan sangat lembut seperti halnya sutra. Sementara itu julukan cacing rambut diberikan lantaran bentuk tubuhnya yang panjang dan sangat halus tak bedanya seperti rambut (Amri dan Khairuman, 2008).

Menurut Amri dan Khairuman (2008) Klasifikasi cacing sutra (Tubifex)adalah sebagai berikut : Phylum : Annelida Class : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Famili : Tubificidae Genus : Tubifex Spesies : Tubifex

Gambar 2. Cacing Tubifek

B. Morfologi Cacing Tubifek
Menurut Amri dan Khairuman (2008) secara umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10–30 mm dengan warna tubuh kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih (2001), menyatakan Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex) ini hidup berkoloni bagian ekornya berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi langsung dari udara. Cacing sutra (Tubifex) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuh yang kecil dan tipis. Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis, pertukaran oksigen dan karbondioksida sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh darah.

Menurut Sugiarti et al(2005) Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak bolak -balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya. Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat membantu fungsi pernafasan, bahwa hampir semua oligochaeta bernafas dengan cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan insang. Cacing sutra ini bisa hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa jenis dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang pendek. Cacing sutra dapat mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna mendapatkan oksigen lebih banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat sedikit. Sekitar 90% Tubifex menempati permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenile (dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0 -2 cm, immature (0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada kedalaman 2 -4 cm.

C. Ekologi Cacing Sutra (Tubifex)
Amri dan Khairuman (2008), menjelaskan bahwa cacing sutra (Tubifex) umumnya ditemukan pada daerah air perbatasan seperti daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat, daerah endapan sedimen dan perairan oligotropis. Ditambahkan bahwa spesies cacing (Tubifex) ini bisa mentolerir perairan dengan salinitas 10 ppt. Dua faktor yang mendukung habitat hidup cacing sutra (Tubifex) ialah endapan lumpur dan tumpukan bahan organik yang banyak, dari setiap tubuh cacing sutra (Tubifex) pada bagian punggung dan perut kekar serta ujung bercabang dua tanpa rambut. Sementara sifat hidup cacing sutra (Tubifex) menunjukan organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam lumpur seperti benang kusut dan kepala terkubur serta ekornya melambai -lambai dalam air kemudian bergerak berputar-putar.

D. Habitat dan Penyebaran Cacing Sutra (Tubifex)
Amri dan Khairuman(2008) mengemukakan bahwa, habitat dan penyebaran cacing sutra (Tubifex) umumnya berada di daerah tropis. Umumnya berada disaluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang airnya mengalir perlahan, misalnya selokan tempat mengalirnya limbah dan pemukiman penduduk atau saluran pembuangan limbah peternakan. Selain itu, cacing sutra juga ditemukan di saluran pembuangan kolam, saluran pembuangan limbah sumur atau limbah rumah tangga umumnya kaya akan bahan organik karena bahan organik ini merupakan suplai makanan terbesar bagi cacing sutra ( Tubifex).

Artemia
Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias air tawar karena ukurannya yang sangat kecil.Disamping ukurannya yang kecil, nilai gizi Artemia juga sangat tinggi dan sesuai dengan kebutuhan gizi untuk larva ikan dan krustacea yang tumbuh dengan sangat cepat. Sampai saat ini Artemia sebagai pakan alami belum dapat digantikan oleh pakan lainnya.Artemia biasanya diperjual belikan dalam bentuk kista, sehingga sebagai pakan alami Artemia merupakan pakan yang paling mudah dan praktis, karena hanya tinggal menetaskan kista saja.Akan tetapi, menetaskan kista Artemia bukan suatu hal yang dengan begitu saja dapat dilakukan oleh setiap orang.Sebab membutuhkan suatu keterampilan dan pengetahuan tentang penetasan itu sendiri.Kegagalan dalam menetaskan kista Artemia barakibat fatal terhadap larva ikan yang sedang dipelihara(Suara Merdeka, 2002).

A. Klasifikasi Artemia
Menurut Bougis (1979) dalam (Dwirastina. 2011) adalah sebagai berikut: Phylum :Anthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Familia : Artemidae Genus : Artemia Spesies : Artemia salina

Gambar 3. Artemia

B. Morfologi Artemia
Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius mengalami moulting. Artemia dewasa memiliki panjang 8-10 mm ditandai dengan terlihat jelas tangkai mata pada kedua sisi bagian kepala, antena berfungsi untuk sensori.Pada jenis jantan antena berubah menjadi alat penjepit (muscular grasper), sepasang penis terdapat pada bagian belakang tubuh.Pada jenis betina antena mengalami penyusutan(Suara Merdeka, 2002).

Kista artemiayang ditetaskan pada salinitas 15 -35 ppt akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Larva artemia yang baru menetas dikenal dengan nauplius.Nauplius dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk, masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar.Artemia salina dewasa (San Francisco ras) tumbuh selama 5 -6 minggu pada 80 - liter akuarium digunakan untuk mengisolasi hemoglobin ekstraseluler (Dwirastina, 2011).

C. Ekologi Artemia
Menurut Handayani dan Mufti(2005) artemiasecara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 derajat celcius.Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100oC. Artemia dapatditemui di danau dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang baik pada kadargaram 30-50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt.

D. Siklus Hidup Artemia
Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15 – 20 jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia di air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan m a s pada fase naupli (Dwirastina, 2011).



Gambar 4. Siklus Hidup Artemia

Tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, betina Artemia bisa mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari.Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali.Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakana sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari. Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40 °C (Dwirastina, 2011). Sedangkan tempertur optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25–30 °C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing -masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 – 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati.Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan selang 8 -9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup artemia.Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu (Handayani dan Mufti, 2005).

Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat. Sehingga suplai Artemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel -sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista (Dwirastina, 2011).

Daphnia

A. Klasifikasi Daphnia
Menurut Pennak (1953) dan Ivleva (1973) dalam Casmuji (2002) adalah sebagai berikut : Philum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Branchiopoda Divisio : Oligobranchiopoda Ordo : Cladocera Famili : Daphnidae Genus : Daphnia Spesies : Daphnia.

Gambar 5.Dapnia

B. Morfologi Daphnia
Daphnia memiliki ukuran 1 -3 mm, tubuh lonjong, pipih, terdapat ruas- ruas/segmen meskipun ruas ini tidak terlihat. Pada bagian kepala terdapat sebuah mata majemuk, ocellus (kadang-kadang), dan lima pasang alat tambahan (Casmuji, 2002), yang pertama disebut antena pertama, kedua disebut antena kedua yang mempunyai fungsi utama sebagai alat gerak. Tiga pasang yang terakhir adalah bagian-bagian dari mulut (Mokoginta, 2003). Umumnya cara berenang Daphnia tersendat-sendat (intermitenly), tetapi ada beberapa spesies yang tidak bisa berenang dan bergerak dengan merayap karena telah beradaptasi untuk hidup di lumut dan sampah daun-daun yang berasal dari dalam hutan tropik (Suwignyo, 1989 dalam Casmuji 2002).

Pembagian segmen tubuh Daphniahampir tidak terlihat. Kepala dengan bentuk membungkuk ke arah tubuh bagian bawah melalui lekukan yang jelas. Pada beberapa spesies sebagian besar anggota tubuh Daphnia tertutup oleh karapas, dengan enam pasang kaki semu yang berada pada rongga perut. Bagian tubuh yang paling terlihat adalah mata, antena dan sepasang seta. Bagian karapas tembus cahaya dan pada beberapa jenis Daphnia bagian dalam tubuhnya dapat dilihat dengan jelas melalui mikroskop. Bagian tubuh Daphnia. tertutup oleh cangkang dari khitin yang transparan. Daphnia. mempunyai warna yang berbeda- beda tergantung habitatnya. Spesies daerah limnetik biasanya tidak mempunyai warna atau berwarna muda, sedangkan di daerah litoral, kolam dangkal, dan dasar perairan berwarna lebih gelap. Pigmentasi terdapat baik pada bagian karapa s maupun jaringan tubuh (Casmuji, 2002).

Daphnia termasuk hewan filter feeder, memakan berbagai macam macam bakteri, ragi, alga bersel tunggal, detritus, dan bahan organic terlarut (Rodina dalam Casmuji, 2002). Daphnia muda berukuran panjang kurang dari satu millimeter menyaring partikel kecil ukuran 20-30 mikrometer, sedangkan yang dewasa dengan ukuran 2 -3 mm dapat menagkap partikel sebesar 60-140 mikrometer (Fasil’eva dalamCasmuji, 2002).

C. Habitat Daphnia
Daphnia adalah jenis zooplankton yang hidup di air tawar, mendiami kolam- kolam atau danau-danau. Daphnia dapat hidup di daerah tropis dan subtropis. Kehidupan Daphnia dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain: suhu, oksigen terlarut dan pH. Daphnia dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan lingkungan hidupnya dan termasuk dalam ketegori hewan eutropik dan tahan terhadap fluktuasi suhu harian atau tahunan. Kisaran suhu yang dapat ditolerir bervariasi sesuai adaptasinya pada lingkungan tertentu (Mokoginta, 2003).

Daphnia dapat hidup dalam air yang kandungan oksigen terlarutnya sangat bervariasi yaitu dari hampir nol sampai lewat jenuh. Ketahanan Daphnia. pada perairan yang miskin oksigen mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam mensintesis haemoglobin. Dalam kenyataannya, laju pembentukan haemoglobin berhubungan dengan kandungan oksigen lingkungannya. Naiknya kandungan haemoglobin dalam darah Daphnia. dapat juga diakibatkan oleh naiknya temperatur, atau tingginya kepadatan populasi. Untuk dapat hidup dengan baik Daphnia memerlukan oksigen terlarut yang cukup besar yaitu di atas 3,5 ppm



Referensi
  1. Agustin, F. & Rahardja,S. 2013. Teknik Pembenihan Ikan Tawes (Puntius Javanicus) dengan Sistem Induksi di Balai Pembenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Muntilan, Kecamatan Muntilan,Kabupaten Magelang. Jurnal of Aquaculture and Fish Health, ISSN 2301-7309. Vol. 2 / No. 2, Juni 2013
  2. Amri & Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Agromedia. Jakarta.
  3. Effendi. 1997. Biologi Perikanan, Yayasan Pustaka Nusantara. Jakarta.
  4. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta
  5. Susanto, H. 2003. Usaha Pembenihan Dan Pembesaran Tawes. Penebar Swadaya. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar