Produk perikanan memiliki sumber nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama kandungan protein dan asam lemak tak jenuhnya (lihat Komposisi Kimiawi Ikan), dengan mengkonsumsi produk perikanan diharapkan kebutuhan protein intake masyarakat dapat terpenuhi.
Produk perikanan termasuk highly perishable food dikarenakan komposisi biokimiawinya. Kandungan pada tubuh ikan yang didominasi oleh air, protein dan lemak menjadikan produk perikanan cepat busuk atau mudah rusak setelah dipanen maupun ditangkap.
Selain faktor dari dalam tersebut, faktor luar seperti temperatur, ketersediaan oksigen, cahaya, peralatan yang kurang saniter dan higienis, kesalahan penanganan bahan baku dan lain sebagainya juga dapat mempengaruhi daya awet dan kesegaran produk.
Faktor dari dalam seperti :
1). Kadar air tinggi pada ikan menjadikan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk maupun patogen. Selain dipengaruhi oleh faktor biologis (mikroba) kerusakan produk perikanan juga dapat disebabkan oleh proses kimiawi.
2). Kadar lemak tinggi pada beberapa spesies ikan menyebabkan ikan cepat mengalami oksidasi (ketengikan), proses ini lebih cepat berlangsung apabila terdapat katalisator berupa udara, kenaikan suhu maupun dari logam yang berunsur besi maupun turunannya.
3). Proses autolisa atau pembusukan yang disebabkan oleh enzim yang secara alamiah terdapat pada tubuh ikan. Ikan mati proses metabolisme pada tubuh ikan tidak dapat berjalan seperti pada kondisi ikan hidup. Komponen makro nutrient seperti lemak dan protein akan terurai menjadi komponen yang lebih sederhana yang mengarah pada pembentukan komponen yang tidak dikehendaki seperti amonia penyebab bau busuk merupakan hasil perombakan protein.
Penyebab pertama pembusukan ikan setelah mati tidak dapat diketahui, apakah proses pembusukan secara biologis atau kimiawi maupun autolisa yang terlebih dahulu tidak dapat dipastikan. Lebih detail proses kemunduran ikan dapat dilihat pada Biokimia Hasil Perikanan.
Dua aspek penting dari produk perikanan, 1) kandungan nutrisi yang baik bagi kesehatan dan 2) cepat mengalami pembusukan menjadikan manusia mengembangkan teknologi pengolahan produk perikanan agar produk perikanan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian tujuan pengolahan hasil perikanan adalah :
1. Mempertahankan dan memperpanjang daya awet produk sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Daya awet yang lebih lama menjadikan produk dapat didistribusikan ke berbagai daerah yang berjauhan dengan wilayah penghasil produk perikanan.
2. Meningkatkan penerimaan produk, dengan adanya berbagai variasi hasil olahan produk perikanan menjadikan masyarakat mempunyai berbagai macam alternatif pilihan untuk mengkonsumsinya tanpa takut akan rasa “bosan”.
3. Meningkatkan nilai gisi, komponen makro nutrient seperti lemak dan protein termasuk komponen dengan berat molekul yang besar dan panjang. Komponen – komponen tersebut dapat lebih mudah dicerna dan diserap agar dimanfaatkan oleh tubuh dalam bentuk molekul yang lebih ringan atau menjadi komponen penyusunnya seperti asam amino (protein) dan asam lemak (lemak). Proses pengolahan menjadikan komponen protein dan lemak terurai menjadi komponen yang lebih sederhana atau komponen penyusunnya.
Berdasarkan karakteristik atau sifat dasar teknologi pengolahan hasil perikanan dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut :
1. Fisikawi, pengolahan yang memanfaatkan sifat fisik seperti sinar matahari, suhu (suhu rendah maupun suhu tinggi), cahaya atau sinar (iradiasi), Modified Atmosphere Packaging (MAP).
2. Kimiawi, pengolahan yang memanfaatkan bahan kimia alami seperti garam, gula, pengasapan, serta bumbu-bumbu alami maupun bahan tambahan pangan.
3. Biologi, memanfaatkan organisme maupun produk metabolisme organisme contohnya fermentasi.
4. Kombinasi dari beberapa proses tersebut diatas maupun ketiganya sekaligus.
Masing-masing jenis pengolahan menghasilkan produk dengan karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi sensoris maupun nilai nutrisinya. Setiap pengolahan tentunya mempunyai nilai positif serta negatif sehingga kedua hal tersebut tentunya perlu diketahui oleh pengolah agar manfaat dan nutrisi produk perikanan dapat dioptimalkan. Untuk itu, adanya pengetahuan tentang pengolahan hasil perikanan perlu diketahui oleh pihak yang berkecimpung di bidang ini.
1. Fisikawi
Pengolahan hasil perikanan memanfaatkan sifat-sifat fisikawi terutama penggunaan suhu merupakan prinsip dasar dalam bidang pengolahan hasil perikanan. Penggunaan suhu dikenal dengan suhu rendah (chilling dan freezing) dan suhu tinggi yang meliputi (boiling, pasteurisasi, dan sterilisasi). Berikut masing-masing pnejelasan proses tersebut.
A. Chilling
Chiling atau dalam bahasa umumnya adalah pendinginan merupakan proses pengolahan ikan yang sangat sederhana dan sering digunakan, pendinginan berprinsip menurunkan suhu serendah mungkin yang dilakukan dengan cepat. Pendinginan hanya mampu memperlambat proses pembusukan oleh bakteri maupun aktifitas enzim pembusuk. Suhu pendinginan berkisar antara (0 – 40C) dan patokan suhu ini yang dijadikan pembeda antara proses pendinginan dengan freezing atau lebih dikenal dengan pembekuan.
Media pendingin dapat berupa gas, cairan maupun padatan contohnya es, es lebih sering digunakan. Es sebagai media pendingin dapat berbentuk balok maupun curai dan dapat dibuat dari air tawar yang didinginkan, air laut yang didinginkan, dan air larutan garam yang didinginkan. Pendinginan dengan es dapat digunakan secara langsung untuk mengawetkan ikan dengan susunan (es, ikan, es, ikan dst) maupun ditambahkan dengan air (es, air, dan ikan). Kebutuhan es sebagai media pendingin ikan adalah 1 : 1 (1 kg ikan : 1 kg es).
B. Freezing
Freezing atau yang sering dikenal pembekuan adalah proses dimana suatu produk diturunkan suhunya hingga dibawah titik beku dan sebagian dari air yang terkandung didalamnya telah menjadi kristal es (Fellows, 1990). Dari pengertian tersebut penggunaan suhu lebih rendah dari -20C bahkan sampai -300C atau lebih rendah lagi digunakan dalam proses pembekuan. Titik beku air yang terkandung dalam tubuh ikan adalah 00C sehingga kondisi diluar tubuh ikan untuk mencapai titik beku tersebut haruslah lebih rendah dari 00C.
Perbedaan penggunaan suhu inilah yang menjadikan pembeda antara proses pendinginan dan pembekuan. Hal penting yang perlu diperhatikan apabila akan membekukan ikan adalah :
1. Karakteristik ikan atau bahan baku (hal ini meliputi sifat biologis, karakteristik kimiawi ikan, bentuk dan ukuran ikan, ketebalan produk, cara penanganan ikan, cara kematian ikan dan lain sebagainya).
2. Penguasaan sistem dan proses pembekuan meliputi faktor penentu laju dan waktu pembekuan, metode pindah panas dan termodinamika produk, sirkulasi, kecepatan dan distribusi medium pembeku.
3. Penguasaan peralatan dan mesin pembekuan meliputi jenis dan kapasitas mesin pembeku serta metode pengoperasiaannya.
4. Biaya produksi untuk melakukan proses pembekuan.
Pemanfaatan dengan suhu rendah selain memberikan efek positif juga dapat memberikan efek negatif, efek negatif yang dapat ditimbulkan dari proses pemanfaatan suhu rendah adalah :
Denaturasi dan agregasi protein akibat aktifitas enzim, tingkat ekstrakbilitasnya berkurang, menurunnya daya ikat air (Water Holding Capacity) daging ikan dan pada akhirnya menyebabkan perubahan tekstur dan sensori daging yang tidak diinginkan. Ikan salmon asap yang disimpan pada suhu 40C(RFS), fillet salmon yang belum diasap disimpan pada suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu 40C (BFS), dan fillet salmon yang sebelumnya disimpan pada suhu suhu -250C selama 24 jam kemudian diasap dan disimpan pada suhu -180C selama 24 jam sebelum dianalisis (AFS), semua sampel dianalisis pada hari ke – 2, 9, 16, 23, 30, 37 dan 45 hari. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan RFS dan BFS menghasilkan efek negatif pada adhesiveness dan cohesiveness (karakteristik tekstur), intensitas aroma asap, aroma amina, dan intensitas warna daging. Sedangkan perlakuan AFS mempunyai masa simpan lebih lama 45 hari dan memberikan nilai cohesiveness, firmness, dan intensitas warna yang lebih baik dibandingkan dua perlakuan sebelumnya (Martinez, 2010)
Prinsip pemanfaatan suhu pada pengolahan hasil perikanan tidak hanya sebatas penggunaan suhu rendah akan tetapi pemanfaatan suhu tinggi juga telah banyak diterapkan. Tujuan penerapan suhu tinggi adalah mematikan mikroorganisme penyebab kebusukan dan keracunan yang terkandung pada bahan (ikan) yang akan diolah, menginaktifkan enzim penyebab kerusakan ikan serta mendapatkan tekstur bahan yang diharapkan. Dalam bidang pengolahan hasil perikanan pemanfaatan suhu tinggi dikenal adanya :
C. Boiling
Boiling merupakan salah satu tehnik pengolahan ikan dengan cara merebus ikan dalam air yang telah diberi garam maupun tanpa garam. Boiling fish atau di Indonesia lebih dikenal dengan ikan pindang merupakan tehnik pengawetan ikan yang bersifat singkat. Hal ini dikarenakan bahan baku ikan yang digunakan kurang memenuhi standar, tehnik pengolahan, serta pengemasan yang masih bersifat sederhana.
Jenis ikan yang sering dijadikan pindang adalah kembung (Rastrelliger), Layang (Decapterus), Tongkol (Euthynnus) atau Caranx sp. Proses pengolahan ikan pindang pada masing-masing daerah berbeda-beda tergantung dari teknologi / peralatan yang digunakan. Secara umum proses pemindangan ikan adalah sebagai berikut :
Proses pemindangan ikan memberikan efek positif maupun negatif terhadap nutrisi, tekstur dan sensori produk. Hasil penelitian Oluwaniyi, O et al. (2010) menunjukkan bahwa Ikan Clupea harengus, Scomber scombrus, Trachurus trachurus and Urophycis tenuis yang telah dihilangkan kepala dan tulangnya dimasak selama 10 menit pada suhu 1000C hingga matang menunjukkan bahwa pemanfaatan panas dalam proses pengolahan ikan (boiling) 1). Mampu mengurangi kadar protein daging ikan yang nantinya menyebabkan kerusakan dan tidak tersediannya asam-asam amino, hal ini dikarenakan semakin lama dan tinggi temperatur yang digunakan pada proses pemindangan menyebabkan perubahan kandungan asam amino pada daging.
Berikut ini disajikan perubahan asam amino beberapa jenis ikan. (Sumber : Oluwaniyi, O et al. 2010).
Asam Amino | Clupea harengus (fresh) | Clupea harengus (boiled) | Scomber scombrus (fresh) | Scomber scombrus (boiled) | Trachurus trachurus (fresh) | Trachurus trachurus (boiled) | Urophycis tenuis (fresh) | Urophycis tenuis (Boiled) |
Lisin | 7,05 | 6,81 | 8,02 | 7,88 | 6,82 | 6,66 | 7,85 | 7,22 |
Histidin | 2,90 | 2,67 | 3,41 | 3,29 | 2,87 | 2,73 | 3,15 | 2,94 |
Arginin | 5,13 | 5,44 | 7,07 | 6,99 | 5,31 | 5,13 | 5,67 | 5,59 |
Asam Aspartat | 9,60 | 11,39 | 9,05 | 10,72 | 9,61 | 10,66 | 10,08 | 11,86 |
Threonin | 4,55 | 4,23 | 4,24 | 3,92 | 4,28 | 4,02 | 3,77 | 3,67 |
Serin | 4,20 | 4,25 | 4,83 | 4,83 | 4,52 | 4,49 | 4,05 | 4,05 |
Asam Glutamat | 13,36 | 14,58 | 13,91 | 14,99 | 12,02 | 13,21 | 11,31 | 12,40 |
Proline | 7,33 | 5,67 | 5,13 | 3,69 | 5,59 | 4,57 | 6,59 | 4,75 |
Glisin | 5,97 | 5,36 | 5,49 | 5,27 | 5,32 | 4,86 | 6,14 | 5,62 |
Alanin | 5,19 | 5,27 | 5,22 | 5,20 | 5,51 | 5,95 | 6,08 | 5,27 |
Sistein | 0,91 | 0,84 | 1,02 | 0,95 | 0,95 | 0,99 | 1,07 | 0,99 |
Valin | 4,21 | 4,46 | 5,41 | 5,30 | 4,53 | 4,37 | 4,75 | 4,59 |
Metionin | 2,53 | 2,34 | 2,48 | 2,39 | 2,30 | 2,21 | 2,62 | 2,44 |
Isoleusin | 4,22 | 4,05 | 4,77 | 4,67 | 4,57 | 4,39 | 4,22 | 3,76 |
Leusin | 7,03 | 7,13 | 6,86 | 6,93 | 7,21 | 7,32 | 7,33 | 7,43 |
Tirosin | 2,72 | 2,85 | 3,42 | 3,51 | 2,86 | 3,14 | 2,71 | 2,85 |
Fenilalanin | 4,63 | 4,78 | 4,41 | 5,41 | 4,55 | 4,63 | 4,39 | 4,63 |
Triptopan | ND | ND | ND | ND | ND | ND | ND | ND |
Total amino acid (TAA) | 91,51 | 92,12 | 94,73 | 95,94 | 88,81 | 89,32 | 91,78 | 90,05 |
%Difference | 0,67 | 128 | 0,57 | -1,88 | ||||
Total Essential Amino Acids (TEAA) | 40,73 | 40,17 | 44,04 | 44,24 | 40,94 | 40,45 | 41,86 | 40,52 |
% TEAA | 44,51% | 43,60% | 46,49% | 46,12% | 46,10% | 45,28% | 45,61% | 44,99% |
P-PER | 2,44 | 2,47 | 2,29 | 2,31 | 2,50 | 2,52 | 2,57 | 2,60 |
2). Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu
Keterangan : ND = Not determined; PER = Protein Efficeiency Ratio (kemampuan protein yang digunakan untuk pertumbuhan)
2). Ikan yang dipindang pada suhu 85-900C selama 15 menit mampu menurunkan nilai EPA dan DHA, akan tetapi EPA dan DHA ikan yang dipindang tersebut mengalami penurunan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan ikan yang digoreng menggunakan minyak bunga matahari pada suhu 150-1700C selama 15-20 menit (Gladyshev, M. I. et al. 2007).
D. Pasteurisasi
Proses pengolahan yang memanfaatkan suhu tinggi tetapi tidak melebihi titik didih air (1000 C’). Pasteurisasi digunakan untuk menginaktifkan enzim, membunuh sebagian bakteri pembusuk maupun patogen, dan mampu memperpanjang daya simpan.
Penggunaan pasteurisasi disesuaikan dengan karakteristik bahan yang akan diolah dan biasanya bahan yang dipasteurisasi tidak tahan terhadap panas. Produk perikanan yang biasa dipasteurisasi adalah rajungan, kepiting, oyster. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), bahwa suhu dalam wadah pasteurisasi rajungan 1800 – 1900 F atau 82,20 – 87,80 C selama 115 – 118 menit
E. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan pengolahan yang menggunakan suhu sangat tinggi, dapat melebihi titik didih air. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 1210C selama 15 menit dengan mengacu pada spora bakteri termophilus seperti Clostridium botulinum dan Bacillus lebih resisten pada suhu tersebut. Sterilisasi dapat merusak nilai gizi bahan yang diolah oleh karena itu dikenal adanya sterilisasi komersial. Sterilisasi komersiil merupakan tingkat sterilisasi dimana semua bakteri patogen dan pembentuk toksin, mikroorganisme jika ada dan yang dapat tumbuh dibawah penanganan dan kondisi penyimpanan normal dapat dimusnahkan.
Makanan yang telah disterilisasi komersial mungkin masih mengandung sejumlah kelompok mikroba dalam bentuk spora yang tahan panas, akan tetapi spora ini sudah inaktif atau tidak dapat membelah diri dan hanya dapat hidup bila diisolasi dan ditumbuhkan.
F. Deep Frying
Deep frying sama halnya dengan proses pengolahan ikan memanfaatkan suhu tinggi yang bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang nantinya meningkatkan daya awetnya serta memperbaiki tekstur dan citarasa produk yang dihasilkan akan tetapi yang membedakan disini adalah media perambatan panas yang digunakan berupa minyak. Minyak yang digunakan seperti minyak kelapa sawit, bunga matahari, canola, kedelai, maupunminyak sayur.
Hal yang perlu diperhatikan pada proses penggorengan adalah jenis minyak yang digunakan, suhu pemanasan dan lama waktu pemanasan karena ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan oksidasi minyak maupun lemak khususnya asam lemak seperti EPA dan DHA yang terkandung pada ikan. Penelitian Gladyshev, M. I. et al. (2007) dan Emanuelli et al. (2008) menunjukkan bahwa kandungan EPA dan DHA mengalami penurunan yang signifikan pada ikan yang digoreng jika dibandingkan dengan ikan yang diolah secara direbus maupun dipanggang.
G. Iradiasi
Prinsip pengolahan hasil perikanan dengan iradiasi adalah bahan pangan diiradiasi pengion (Cobalt 60, Celsium 137, Mesin Berkas Elektron, Sinar X) sehingga sel hidup (mikroorganisme) mengalami eksitasi, ionisasi, dan perubahan kimia yang nantinya berpengaruh terhadap proses biologis mikroorganisme sehingga makanan mempunyai daya awet yang lebih lama. Di Indonesia pengolahan ikan secara iradiasi masih jarang kita jumpai hal ini disebabkan oleh faktor sumber daya yang digunakan harus benar-benar terlatih serta mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan.
H. Modified Atsmoshere Packaging (MAP)
MAP merupakan suatu tehnik pengawetan dengan memodifikasi susunan gas khususnya oksigen yang terdapat dalam kemasan dengan tujuan menghambat atau bahkan mematikan bakteri aerobik penyebab kebusukan (Ahvenainen, R. 2003).
Referensi:
- Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging : An introducing. In R. Ahvenainen (Ed), Novel food packaging techniques (pp. 6). Boca Raton, FL : CRC Press. LLC
- Emanuelli, Tatiana., Jucieli Weber., Vivian C. Bochi., Cristiane P. Ribeiro., Andre de M. Victorio. 2008. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106 (2008) 140 – 146.
- Gladyshev, Michail. I., Nadezdha N. Suschik., Galina A. Gubanenko., Sevilia M. Demirchieva., Galina S. Kalachova. 2007. Effect of boiling and frying on the content of essential polyunsaturated fatty acids in muscle tissue of four species. Food Chemistry 101 (2007) 1694 – 1700.
- Martinez, Olaia., Jesus Salmeron, Maria D. Guillen, Carmen Casas. 2010. Effect of freezing on the phsicochemical, texture and sensorial characteristic of salmon (Salmo salar) smoked with liquid smoke flavouring. LWT – Food Science and Technology 43 (2010) 910 – 918.
- Oluwaniyi, O.O., O.O. Dosumu., G. V. Awolola. 2010. Effect of local processing methods (boilling, frying and roasting) on the amino acid composition of four marine fishes commonly consumed in Nigeria. Food Chemsitry 123 (2010) 1000 – 1006.
- Yanuar Prasetyo; https://www.academia.edu/ 8798469/ Komposisi Kimiawi Ikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar